Misalnya ada presiden yang juga mantan pahlawan perang, menghadiri KTT G20 di Afrika Selatan, dan tiba-tiba harus menyelamatkan dunia termasuk keluarganya sendiri. Itulah premis dari G20, film aksi-politik terbaru garapan sutradara Patricia Riggen, yang tayang di Prime Video sejak 10 April 2024.
Dibintangi Viola Davis sebagai Presiden Danielle Sutton, film ini kayak ngasih angin segar pada genre action-thriller dengan menempatkan sosok perempuan kulit hitam di pusat ledakan dan krisis global.
Diproduksi MRC Film dan beredar di bawah bendera Amazon MGM Studios, Film G20 nggak hanya menyajikan adegan-adegan menegangkan dan ledakan besar, tapi juga menyelipkan komentar-komentar sosial dan politik yang cukup lantang, terkadang malah terlalu lantang.
Sekilas tentang Film G20
Dalam film berdurasi ± 108 menit, cerita bermula dengan Presiden Danielle Sutton yang sedang dalam misi diplomatik untuk memperkenalkan rencana pemberdayaan petani miskin di Afrika lewat mata uang digital.
Sebuah solusi yang visioner, tapi tentu saja, nggak semua pihak sepakat. Ancaman datang dalam wujud pasukan tentara bayaran yang dipimpin tokoh antagonis bernama Corporal Rutledge, diperankan dengan aura bengisnya sama Antony Starr (The Boys).
Sebelum semuanya meledak, kita juga diperkenalkan dengan keluarga Danielle Sutton: Suami tercintanya, Derek (Anthony Anderson), lalu putri remaja yang cerdas sekaligus pembangkang si Serena (Marsai Martin), dan putra kecil yang suka cemas tapi manis, Demetrius (Christopher Farrar).
Konflik pribadi dan publik berpadu saat para pemimpin dunia disandera, dan Danielle Sutton harus memilih, menyelamatkan dunia atau menyelamatkan keluarganya?
Untungnya, dia nggak sendirian. Ada agen Secret Service bernama Manny Ruiz (Ramon Rodríguez), yang dengan pesonanya berhasil mencuri perhatian di setiap adegan. Mantap jiwa deh!
Impresi Selepas Nonton Film G20
Jujurly aku suka film-film laga era 90-an seperti Film Air Force One atau Film Clear and Present Danger. Nah, aku merasa Film G20 mencoba menghidupkan kembali semangat era itu. Biarpun ada momen di mana film ini terlalu berambisi menjadi lebih dari sekadar hiburan.
Skenario buatan Caitlin Parrish, Erica Weiss, Logan Miller, dan Noah Miller sarat dengan isu kontemporer, misalnya nih ada: kriptokurensi, AI deepfake, imperialisme, hingga misogynoir.
Masalahnya, alih-alih plotnya mengalir natural lewat tindakan dan dinamika karakter, pesan-pesan itu kerap datang dalam bentuk dialog yang terasa terlalu "tertulis", bukan "terucap". Bukankan show itu lebih baik ketimbang tell?
Ada satu momen ketika sosok Danielle Sutton harus menjelaskan bagaimana ekonomi dunia bisa kolaps hanya karena permainan mata uang digital, dan aku malah bertanya-tanya, apakah itu briefing ekonomi atau film laga?
Namun, aku nggak akan menyangkal, ketika aktris Viola Davis muncul di layar, aku dibuat terpaku. Meski ada beberapa adegan aksi yang terlihat dipotong cepat (mungkin untuk menyembunyikan kekurangan koreografi), karisma dan intensitas Viola Davis nggak pernah luntur. Dia membawakan karakter Danielle Sutton dengan emosi yang pas, seperti campuran antara pemimpin dunia dan sosok ibu yang khawatir.
Film ini jelas berbicara tentang dunia hari ini—politik identitas, ketimpangan global, dan perlunya solidaritas antarnegara. Bahkan lokasi film yang bertempat di Cape Town, Afrika Selatan, punya resonansi sejarah yang kuat. Sayangnya, entah kenapa, semuanya terasa sedangkal itu.
Akhir film ini, yang mencoba menawarkan harapan lewat kerja sama internasional dan penghormatan pada pemimpin perempuan kulit hitam, terasa terlalu rapi untuk situasi dunia yang begitu kompleks.
Dengan dukungan scoring music dramatis dari Joseph Trapanese dan koreografi serangan yang intens, aku bisa memaafkan beberapa kelemahan naskahnya.
Skor: 3/5
Baca Juga
-
Review Film Menjelang Magrib 2, Nggak Ada Alasan Buat Dilanjutkan!
-
Kala Film The Conjuring: Last Rites, Mengemas Lebih Dalam Arti Kehilangan
-
Kala Romansa Musikal Melenggang di Busan International Film Festival
-
Panji Tengkorak: Ambisi Besar yang Tenggelam di Tengah Keadaan
-
Saat Demokrasi Politik Jadi Teater Pencitraan
Artikel Terkait
-
18 April 2025 Memperingati Hari Apa? Berikut Latar Belakang Sejarahnya
-
5 Rekomendasi Film Sambut Akhir Pekan, Ada A Minecraft Movie hingga G20
-
Kerja Keras adalah Ibadah: Kisah Unik Komunitas Baye Fall di Senegal
-
DNA Manusia Purba dari Afrika Utara Ungkap Sejarah Tersembunyi Gurun Sahara, Apa Itu?
-
Review Film Broken Rage: Ketika Takeshi Kitano Menolak Bertele-tele
Ulasan
-
Review Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah: Drama Keluarga yang Bikin Hati Mewek
-
Ulasan Novel Tanah Para Bandit: Ketika Hukum Tak Lagi Memihak Kebenaran
-
5 Drama Korea Psikologis Thriller Tayang di Netflix, Terbaru Queen Mantis
-
Review Film Menjelang Magrib 2, Nggak Ada Alasan Buat Dilanjutkan!
-
Kala Film The Conjuring: Last Rites, Mengemas Lebih Dalam Arti Kehilangan
Terkini
-
Dari Anak Ajaib Jadi Pesakitan: Ironi Perjalanan Karier Nadiem Makarim Sebelum Terjerat Korupsi
-
Pestapora Minta Maaf soal Freeport, Gestur Kiki Ucup Dihujat: 'Minimal Tangan Jangan di Saku!'
-
Classy & Cozy, 4 OOTD Street Style Hyunjin STRAY KIDS yang Bisa Kamu Tiru
-
4 Toner Lotus Kaya Antioksidan untuk Kulit Glowing Alami dan Bebas Kusam
-
Jajaran Pemain Sudah Lengkap, Syuting Film Street Fighter Kini Dimulai