Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Poster film The Green Mile (IMDb)

Ada film yang selesai ditonton, lalu pergi begitu saja dari kepala kita. Namun, ada juga yang diam-diam menetap, membekas, dan beberapa tahun kemudian masih terasa saat kita membicarakannya. 

Seperti halnya ‘The Green Mile’, yakni film yang terus membekas di benak maupun pikiran. Kok bisa? Ya, itu karena film ini nggak cuma tentang penjara, hukuman mati, atau keajaiban. Lebih dari itu, film ini bak sebuah renungan sunyi tentang manusia, sistem hukum, dan luka sejarah yang belum sembuh.

Dirilis pada 1999, ‘The Green Mile’ disutradarai Frank Darabont, sutradara yang sebelumnya sukses besar lewat film The Shawshank Redemption (1994).

Keduanya diadaptasi dari karya Stephen King, dan sama-sama mengambil latar kehidupan di penjara. Namun kali ini, Frank Darabont tampak menuturkan cerita dengan sentuhan spiritual dan emosi yang lebih menggelegak.

Film ini dibintangi Tom Hanks sebagai Paul Edgecomb, kepala sipir Death Row di penjara Cold Mountain. Akan tetapi, pusat gravitasi cerita sesungguhnya ada pada sosok John Coffey hang diperankan Michael Clarke Duncan—pria kulit hitam bertubuh (besar) yang dijatuhi hukuman mati karena dituduh membunuh dua anak perempuan kulit putih. 

Selain mereka, film ini juga diperkuat Doug Hutchison sebagai Percy Wetmore, David Morse, James Cromwell, termasuk Bonnie Hunt dan para bintang pendukung lainnya. 

Mau tahu lebih banyak detail dari film yang diproduksi sama Castle Rock Entertainment? Sini merapat dan yuk kepoin bareng!

Sekilas tentang Film The Green Mile

Kisahnya dibuka lewat narasi Paul Edgecomb di masa tua. Dia mengenang kembali masa-masa sulit di tahun 1930-an saat bertugas sebagai kepala sipir. 

Di tengah depresinya menderita infeksi yang menyakitkan, maupun harus berurusan dengan sipir lain yang kejam dan sembrono, datanglah Coffey si pria besar, pendiam, dan tampak lembut, yang muncul dengan tuduhan paling kejam yang bisa dibayangkan.

Seiring waktu, Paul dan rekan-rekannya mulai menyadari, ada yang nggak biasa pada Coffey. 

Coffey rupanya takut gelap, terus bisa menyembuhkan lho, tapi yang paling mengganggu: dia tampaknya nggak mungkin melakukan kejahatan yang dituduhkan padanya.

Sayangnya hukum—terutama di Louisiana tahun 1930-an—nggak punya ruang belas kasih, apalagi untuk membela orang kulit hitam yang ditemukan memeluk dua anak putih yang sudah nggak bernyawa.

Impresi Selepas Nonton Film The Green Mile

Judul The Green Mile merujuk pada jalur lantai berwarna hijau pucat yang dilalui para tahanan menuju ruang eksekusi listrik. Semakin jauh aku menyelami film ini, aku merasa “jalur hijau” itu bukan cuma tentang mati.

Bisa jadi, itu juga sebuah metafora dari jalan sunyi yang dipenuhi luka, kesedihan, ketidakadilan, dan kadang, secercah keajaiban yang nggak terduga.

Sebagai penonton, aku tahu yang menimpa John Coffey bukan cuma kesalahan pengadilan. Itu adalah wajah nyata dari rasisme sistemik.

Ketika warna kulit lebih bersuara daripada fakta. Ketika narasi tentang “monster kulit hitam” yang mengancam “kemurnian kulit putih” nggak pernah benar-benar mati. 

Jelas, Coffey bukan cuma korban salah tuduh; dia adalah simbol dari generasi demi generasi pria kulit hitam yang dihukum mati sama sistem yang nggak pernah adil sejak awal.

Apa yang dilakukan Frank Darabont sangat menarik. Dia menyuguhkan potret penjara dengan nuansa yang hampir ideal—sipirnya manusiawi, suasananya tenang, bahkan anehnya cukup “ramah”.

Namun, di tengah semua itu, kita tahu satu hal nggak bisa mereka ubah, yaitu sistem hukum yang secara historis memang didesain untuk nggak adil ke orang kulit hitam. Dan itu membuat aku berpikir—betapa ironisnya, bahkan ketika narasi film terasa penuh kasih, John Coffey tetap tak bisa diselamatkan.

Sebagian mungkin akan bilang film ini terlalu lembut untuk sebuah kritik sosial. Namun, justru di situlah kekuatannya. Alih-alih berteriak, film The Green Mile berbisik. Bisikan itu lebih menusuk: Bahwa sebaik apa pun individu-individu di dalam sistem, sistem itu sendiri sudah cacat sejak awal, dan John Coffey tetap jadi korban. 

Aku terdiam cukup lama saat menyaksikan adegan eksekusi terakhir Coffey. Bukan karena efek visualnya, tapi karena rasa nggak berdaya yang begitu kuat. Paul Edgecomb, meski tahu kebenaran, nggak bisa menghentikan sistem yang telah berjalan. Dan aku, sebagai penonton, tahu bahwa dunia di luar layar nggak banyak berubah sejak 1930-an.

Begitulah Sobat Yoursay. Meskipun kisahnya berakhir, luka emosional yang ditinggalkan justru baru mulai terasa. Dalam ingatan Paul Edgecomb yang panjang umur, dalam kematian Coffey yang nggak adil, dan dalam bisu yang menggema di ruang eksekusi, aku merasa film ini terus bergema.

Skor: 4,5/5

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Athar Farha