Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Oktavia Ningrum
Novel D'Ustaz (goodreads)

Kalau orang bilang "don't judge a book by it's cover", kayaknya kalimat itu cocok buat novel satu ini. Dengan cover ala-ala Bob Marley versi percikan warna-warni, memang cukup jadul buat era ini. Tapi jangan salah, novel satu ini bakal bikin kamu terpukau sama isinya! 

Identitas Buku

  • Penulis: Muaz Malik
  • Penerbit: The Panasdalam Publishing
  • Genre: Fiksi Indonesia
  • Tahun terbit: 2017
  • Jumlah halaman: 256 halaman

Miftah, pria hampir berusia kepala tiga, menghabiskan hari-harinya sebagai musisi yang berpindah dari satu kafe ke kafe lain, menyanyi demi sesuap nasi. Ia tak pernah membayangkan bahwa takdir akan membawanya ke jalan berbeda—bukan lagi berdiri di atas panggung dengan gitar di tangan, tetapi duduk bersila di lantai, mengajarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an kepada para pegawai sebuah kafe milik Pak Joni.

Di lingkungan barunya, orang-orang memanggilnya “Ustaz”. Namun, Miftah selalu menolak panggilan itu. Baginya, gelar ustaz terlalu berat disandang. Ia hanya seorang manusia biasa yang juga masih belajar, dengan dosa dan kelemahan yang ia sadari sendiri. Tapi siapa sangka, justru dari kesadaran akan kelemahannya itu, lahir kekuatan besar dalam dirinya: ketawakkalan, keyakinan penuh pada kuasa Allah.

Pertemuan dengan Warga yang Sarat Pelajaran

Kehadiran Miftah di kafe itu mempertemukannya dengan beragam karakter manusia. Ada Koh Pepeng, pria paruh baya yang percaya pada klenik dan seringkali membuat Miftah geleng-geleng kepala. Ada pula Mbak Pur, seorang ibu yang hatinya tak pernah tenang karena anaknya bekerja sebagai TKW di Singapura.

Namun yang paling menantang adalah ketika Miftah harus berhadapan dengan Acung, preman yang ditakuti semua orang di lingkungan itu. Sosok garang dengan tatapan tajam yang bisa membuat orang ciut nyali. Bagaimana seorang musisi keliling yang kini jadi guru ngaji bisa menghadapi sosok sekeras Acung? Di sinilah letak ujian iman dan kesabaran Miftah.

Ketika Cinta Datang Menguji Iman

Selain persoalan masyarakat, ada ujian yang lebih pelik: Novela. Kehadirannya nyaris menggoyahkan keimanan Miftah sebagai seorang guru ngaji. Miftah harus berjuang menjaga hatinya agar tidak terjerumus pada perasaan yang bisa menghapus semua nilai dakwah yang ia pegang.

Di tengah semua itu, Miftah selalu teringat pada pesan-pesan Yai Umar, gurunya semasa mondok dahulu:
"Pasrah itu bukan berarti menyerah, tapi percaya bahwa Allah selalu memberi jalan terbaik."

Hubungan Murid dan Guru Dalam Islam

Salah satu kisah paling berkesan dari perjalanan hidup Miftah adalah tentang “Empat Puluh Satu Guru”. Ia merasa, 40 murid yang ia ajar ngaji di kafe itu justru menjadi guru baginya. Dari mereka, ia belajar tentang kehidupan, perjuangan, dan kesabaran.

Kemudian datang satu orang lagi di akhir cerita—orang yang membuatnya semakin yakin bahwa setiap manusia, tanpa terkecuali, adalah guru bagi yang lain. Dari setiap cerita mereka, Miftah menemukan hikmah dan belajar menjadi manusia yang lebih baik.

Dakwah yang Tak Menggurui

Novel ini tidak sekadar bercerita tentang agama. Alih-alih menggurui, kisah-kisahnya disampaikan dengan cara yang lembut dan menyentuh. Dakwah Miftah bukan dalam bentuk ceramah panjang, tetapi lewat tindakan kecil, percakapan hangat, dan keberanian menghadapi ujian.

Melalui perjalanan Miftah, kita diingatkan bahwa:

  • Dakwah tak harus menunggu kita menjadi manusia sempurna.
  • Hidayah adalah milik Allah, tugas kita hanya berusaha dan menyampaikan.
  • Hikmah tersebar di mana-mana, bahkan di tengah orang-orang yang kita pandang jauh dari kata “taat”.
  • Dan pasrah setelah berjuang adalah bukti keimanan yang sejati.

Tentang Ustaz di Kacamata Masa Kini

"Pasrah memang begitu indah, apalagi setelah kita patah."
Kalimat ini menjadi napas dalam cerita, mengingatkan pembaca bahwa kehidupan akan terus menguji, tetapi selalu ada jalan pulang kepada-Nya.

Buku ini juga memberi refleksi bagi para guru, ustaz, atau siapa pun yang diandalkan oleh orang lain: bahwa posisi sebagai panutan seringkali membuat kita lupa untuk tetap rendah hati. Seperti Miftah, kita belajar untuk selalu menempatkan diri sebagai murid—belajar dari setiap manusia yang kita temui.

Kisah Miftah adalah potret perjuangan seorang manusia biasa yang mencoba bertahan di jalan kebaikan. Penuh hikmah, kehangatan, sekaligus drama kehidupan yang realistis. Novel ini mengajarkan kita tentang arti pasrah, sabar, dan cinta yang sejati.

Kalau kamu mencari bacaan yang menyentuh hati, ringan namun sarat makna, kisah ini layak menemanimu!

Oktavia Ningrum