Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | aisyah khurin
Film G20 (imdb.com)

"G20" (2025) merupakan film aksi-thriller yang menempatkan panggung politik global sebagai latar utama. Disutradarai oleh Patricia Riggen dan dibintangi oleh peraih Oscar, Viola Davis, film ini menyuguhkan kisah fiksi menegangkan di tengah pertemuan puncak G20. Film ini mencoba menggabungkan ketegangan politik internasional dengan adegan aksi yang intens dan personal.

Film dimulai ketika Presiden Amerika Serikat, Danielle Sutton (Viola Davis), melakukan perjalanan ke Cape Town, Afrika Selatan, untuk menghadiri KTT G20. Acara yang seharusnya menjadi momen diplomatik penting berubah menjadi tragedi ketika sekelompok tentara bayaran menyerbu tempat pertemuan dan menyandera para pemimpin dunia.

Kelompok penyerang dipimpin oleh Edward Rutledge (Antony Starr), seorang mantan agen intelijen yang kini menjadi pemimpin militan. Ia menuntut agar negara-negara G20 mengadopsi mata uang kripto global dan mengancam akan menggunakan deepfake untuk meluncurkan propaganda yang bisa memicu kekacauan dunia.

Penampilan Viola Davis sangat mencolok dalam film ini. Sebagai Presiden Sutton, ia tidak hanya memerankan sosok kepala negara yang berwibawa, tetapi juga menunjukkan sisi aksi yang kuat. Davis, yang dikenal lewat peran-peran dramatisnya, tampil meyakinkan dalam adegan perkelahian, baku tembak, dan aksi penyelamatan yang membuat penonton terpaku.

Film ini tidak hanya menyuguhkan ketegangan dalam skala global, tetapi juga konflik personal. Presiden Sutton terjebak di antara tugasnya sebagai pemimpin dunia dan perannya sebagai ibu dan istri karena keluarganya juga menjadi bagian dari sandera. Hal ini menambah lapisan emosional yang memperkuat keterlibatan penonton terhadap karakternya.

Sinematografi oleh Checco Varese menampilkan pemandangan kota Cape Town yang memukau, kontras dengan kekacauan yang terjadi di dalam gedung konferensi. Adegan aksi dikoreografikan dengan rapi dan cukup realistis untuk membuat film ini tetap mendebarkan, meski beberapa bagian terasa agak berlebihan.

Skor musik yang diubah oleh Joseph Trapanese mampu meningkatkan atmosfer menegangkan dalam film. Musik digunakan dengan efektif untuk membangun suasana, terutama dalam adegan pelarian dan konfrontasi. Trapanese berhasil menggabungkan elemen orkestra dengan ketukan elektronik yang menciptakan nuansa modern dan menegangkan.

Salah satu aspek yang menonjol dari film ini adalah penggunaan isu deepfake sebagai alat manipulasi informasi. Rutledge menggunakan teknologi ini untuk menyebarkan video palsu dan membuat kebohongan tampak nyata. Tema ini sangat relevan dengan kekhawatiran dunia saat ini mengenai keamanan digital dan informasi palsu.

Di balik aksi dan ledakan, "G20" juga menyisipkan kritik sosial tentang ketimpangan kekuasaan global, manipulasi ekonomi melalui cryptocurrency, dan kerentanan sistem politik terhadap gangguan digital. Namun, penyampaian isu-isu ini tidak selalu digali secara mendalam, sehingga terasa seperti pelengkap semata bagi narasi aksi.

Penonton menyebut "G20" sebagai Die Hard versi diplomatik. Memang, struktur naratifnya mirip dengan seorang tokoh yang terjebak di satu lokasi yang dimana harus menyelamatkan sandera dan menghentikan penjahat sendirian. Namun, "G20" terlihat berbeda dengan menampilkan pemimpin dunia sebagai protagonis utama, sesuatu yang jarang dijumpai dalam genre ini.

Secara keseluruhan, "G20" adalah film aksi-thriller yang ambisius, dengan penampilan luar biasa dari Viola Davis sebagai kekuatan utama. Meskipun narasi kadang terasa terlalu fantastis dan naskahnya tidak selalu solid, film ini tetap menghibur dan berhasil memadukan ketegangan aksi dengan isu-isu global yang relevan. Bagi penggemar film aksi yang mencari adrenalin sekaligus ingin melihat pemimpin dunia beraksi di garis depan, "G20" adalah tontonan yang pantas dilirik.

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

aisyah khurin