"Saksi Mata" adalah kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang diterbitkan pertama kali pada 1994. Kumpulan ini tidak hanya menjadi karya sastra, tetapi juga sebuah bentuk perlawanan terhadap represi dan pembungkaman kebebasan berekspresi yang terjadi pada masa Orde Baru.
Latar belakang cerpen-cerpen dalam buku ini adalah peristiwa Santa Cruz, Dili, Timor Timur tahun 1991, di mana ratusan demonstran pro-kemerdekaan ditembak oleh aparat militer Indonesia. Karena media dilarang memberitakan kejadian ini secara bebas, Seno mengambil langkah berbeda, ia menulisnya lewat sastra.
Seno terkenal dengan kalimat legendarisnya, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.” Buku ini menjadi perwujudan nyata dari prinsip tersebut. Lewat sastra, Seno mengungkap kekerasan negara dengan cara yang puitis namun mengguncang.
Cerpen pertama sekaligus yang paling ikonik adalah “Saksi Mata”. Cerita ini menggambarkan seorang saksi pembantaian yang matanya dicungkil agar tak dapat menyaksikan atau melaporkan kebenaran. Alegori ini kuat, menggambarkan bagaimana negara menumpas bukan hanya tindakan, tetapi juga kesadaran.
Cerpen-cerpen seperti “Pelajaran Sejarah”, “Sebutir Kepala dan Seekor Kucing”, serta “Kisah Mata” masing-masing menyajikan penggambaran kekerasan, penderitaan, dan absurditas negara dalam mempertahankan kuasa. Beberapa cerpen menggunakan pendekatan realisme magis, yang memperkuat nuansa sureal dan horor dari represi.
Gaya bahasa Seno dalam buku ini tajam dan puitis, tapi tidak kehilangan kekuatan kritisnya. Ia bermain dengan metafora dan ironi. Bahasa menjadi alat untuk menyampaikan trauma yang tak bisa diceritakan secara langsung dalam dunia nyata.
Sebagian besar cerpen memadukan realisme dengan elemen surealis. Seperti dalam cerpen “Saksi Mata”, mata yang dicungkil tidak hanya menyimbolkan pembungkaman, tapi juga menjadi tokoh yang hidup dalam narasi, seolah-olah kebenaran tidak bisa dibunuh begitu saja.
Banyak simbol yang digunakan, mata (kebenaran dan kesaksian), darah (pengorbanan dan kekerasan), serta diam (pembungkaman). Simbolisme ini menjadikan cerpen-cerpen dalam "Saksi Mata" kaya akan lapisan makna yang bisa digali berulang kali.
Seno secara tegas mengkritik cara kekuasaan militer menjalankan fungsinya di luar batas. Kekerasan sistematis, intimidasi terhadap warga sipil, dan pemutarbalikan fakta menjadi isu sentral dalam hampir seluruh cerpen.
Menariknya, banyak tokoh dalam buku ini tidak memiliki nama atau identitas jelas. Mereka adalah “orang biasa”, hal ini mencerminkan bahwa korban kekerasan negara bisa siapa saja, tak peduli latar belakangnya.
Tema kebenaran menjadi pertanyaan utama dalam buku ini, siapa yang layak menentukan kebenaran? Dalam “Saksi Mata”, walau narator telah dibutakan secara fisik, ia tetap bisa “melihat” dalam arti metaforis. Artinya, kebenaran tidak bisa sepenuhnya dibungkam.
Beberapa cerpen disisipi humor gelap, yang mempertegas absurditas realitas dalam negara represif. Humor ini bukan untuk membuat tertawa, tetapi menyindir situasi yang begitu tragis sampai terasa tak masuk akal.
Seno mengajak pembaca menjadi saksi bersama dirinya. Dengan teknik naratif yang tajam dan emosional, ia membangun empati terhadap mereka yang tidak bisa bersuara. Buku ini menantang pembaca untuk tidak bersikap netral dalam menghadapi kekejaman.
"Saksi Mata" tidak hanya berpengaruh dalam dunia sastra, tetapi juga menjadi artefak sejarah politik. Buku ini dibaca secara luas di kalangan akademisi, aktivis HAM, dan pembaca umum yang ingin memahami kekerasan negara lewat medium estetika.
Meskipun terbit lebih dari dua dekade lalu, isi buku ini masih relevan. Isu pembungkaman, kekerasan oleh aparat, dan pencarian keadilan terus terjadi. Buku ini menjadi pengingat bahwa sejarah bisa berulang jika kita lupa.
Seno berhasil menyampaikan fakta melalui fiksi. Teknik ini membuat buku tidak hanya menyentuh otak, tapi juga hati. Narasi-narasi yang singkat, padat, namun penuh emosi, membuat "Saksi Mata" sangat menggugah dan tak mudah dilupakan.
"Saksi Mata" adalah karya yang menunjukkan kekuatan sastra dalam mencatat sejarah dan memperjuangkan kebenaran. Seno Gumira Ajidarma tidak hanya menulis cerita, tetapi juga menyusun dokumen kemanusiaan. Buku ini wajib dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami bagaimana suara bisa tetap hidup, bahkan setelah dibungkam.
Identitas Buku
Judul: Saksi Mata
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya
Tanggal Terbit: 1 Februari 2002
Tebal: 166 Halaman
Baca Juga
-
Ulasan Cerpen Teh dan Pengkhianat:Ketika Pejuang Diperalat Menindas Sesama
-
Humor Gelap di Balik Rencana Perampokan dalam Buku 24 Jam Bersama Gaspar
-
Petualangan Dua Sahabat di Laut Papua Nugini dalam Buku The Shark Caller
-
Ulasan Novel di Balik Jendela: Rahasia Trauma yang Tersembunyi dalam Isolasi
-
Ulasan Novel The Outsider: Sisi Lain Keadilan dalam Misteri Pembunuhan
Artikel Terkait
-
Ulasan Cerpen Teh dan Pengkhianat:Ketika Pejuang Diperalat Menindas Sesama
-
Humor Gelap di Balik Rencana Perampokan dalam Buku 24 Jam Bersama Gaspar
-
Petualangan Dua Sahabat di Laut Papua Nugini dalam Buku The Shark Caller
-
Ulasan Novel di Balik Jendela: Rahasia Trauma yang Tersembunyi dalam Isolasi
-
Ulasan Novel The Outsider: Sisi Lain Keadilan dalam Misteri Pembunuhan
Ulasan
-
Review Film Tak Ingin Usai di Sini: Saat Cinta Diam-Diam Harus Rela Pergi
-
Review Film Big World dari Sudut Pandang Disabilitas, Apakah Relate?
-
Ulasan Buku The Art of Reading: Teknik Baca Kilat dan Memahami Isi Buku
-
Ulasan Cerpen Teh dan Pengkhianat:Ketika Pejuang Diperalat Menindas Sesama
-
Ulasan Film Sampai Jumpa, Selamat Tinggal: Drama Korea Rasa Indonesia
Terkini
-
Budaya Cicil Bahagia: Ketika Gen Z Menaruh Harapan pada PayLater
-
Tampil Kece Seharian dengan 5 Inspirasi Outfit Kasual ala Al Ghazali
-
Kutukan Tambang Nikel? Keuntungan Ekonomi Melambung, Kerusakan Lingkungan Menggunung
-
Di Balik Layar Drama Korea Good Boy: Para Cast Ceritakan Pengalaman Seru Selama Syuting
-
Tatap Laga Pamungkas, Timnas Indonesia Beri Kode Bakal Hadirkan Kejutan!