Ada momen-momen dalam hidup seru banget kala menyaksikan Film How to Train Your Dragon versi animasi tahun 2010. Nggak cuma kisah persahabatan antara manusia dan naga, tapi juga tentang keberanian memilih jalan hidup dan tentang perdamaian di tengah konflik yang diwariskan turun-temurun.
Maka saat Dean DeBlois, sutradara sekaligus penulis naskah dari trilogi animasi aslinya, menyutradarai versi live-action-nya bersama DreamWorks, Marc Platt Productions, dan Universal Pictures sebagai distributor utamanya. Nggak salah bila sinefil berekspektasi tinggi.
Sayangnya, versi live-action yang tayang di bioskop Indonesia, 11 Juni 2025, tampak memecah belah ekspektasi.
Sekilas tentang Film How to Train Your Dragon (2025)
Film ini masih mengadaptasi buku anak populer karya Cressida Cowell, dan kisahnya nyaris nggak berubah dari versi animasi: Di pulau Berk, bangsa Viking hidup dalam peperangan abadi melawan para naga yang dianggap musuh alami.
Stoick the Vast (kembali diperankan Gerard Butler), sang kepala suku, bermimpi menemukan sarang naga dan menghancurkannya demi dominasi manusia atas makhluk-makhluk bersayap itu.
Namun, putranya yang kurus dan canggung, Hiccup Horrendous Haddock III (Mason Thames), nggak se-barbar seperti ayahnya. Alih-alih ingin membunuh naga, dia malah bersahabat dengan salah satu spesies paling misterius, yakni seekor Night Fury yang kemudian dia beri nama Toothless.
Toothless ditemukan saat cidera ekor. Dan dengan kecerdikan Hiccup, dia menciptakan ekor prostetik agar Toothless bisa terbang kembali. Persahabatan keduanya jadi inti dari perubahan besar dalam hubungan antara manusia dan naga di Berk. Dan kisahnya begitu mirip dengan versi animasinya.
Kemudian, semua karakter pendukung dari film animasi juga hadir kembali: Gobber (Nick Frost), Astrid (Nico Parker), Fishlegs (Julian Dennison), Snotlout (Gabriel Howell), Ruffnut (Bronwyn James), dan Tuffnut (Harry Trevaldwyn). Mereka semua remaja-remaja Viking yang menjalani pelatihan memburu naga. Hingga akhirnya Hiccup membuktikan ada jalan lain selain peperangan melawan naga, yakni hidup berdampingan dengan naga.
Tetap seru sih, tapi ….
Impresi Selepas Nonton Film How to Train Your Dragon
Sejak adegan pembuka, aku sudah menyadari satu hal penting: film ini bermain terlalu aman. Nggak ada kejutan dalam plot, nggak ada reinterpretasi tematik, dan sebagian besar dialog bahkan terasa kayak pindahan dari versi animasinya. Bukannya memperkaya atau mengimprovisasi cerita untuk konteks yang baru, film ini justru tampil kayak live-action coloring book (intinya plek ketiplek sama animasinya)
Dean DeBlois memang masih terlihat mencintai dunia ini, terlihat dari perhatiannya pada detail set, kostum, dan desain Toothless yang cukup berhasil dihidupkan lewat efek visual. Namun, meskipun CGI-nya mengesankan, terutama dalam adegan interaksi intim antara Hiccup dan Toothless, aku tetap merasa ada semacam jarak, nggak seperti versi animasi yang situasi batin mereka terhubung natural.
Film ini mungkin durasinya lebih lama dari versi animasi. Sayangnya, bukan karena kisahnya berkembang. Tambahan itu lebih tertuju pada sisipan-sisipan kecil, misalnya adegan latihan yang lebih panjang, porsi backstory Astrid, beberapa dialog baru yang nggak memperkaya apa pun.
Versi live-action ‘How to Train Your Dragon ini’ nggak menyajikan sesuatu yang baru selain visual. Nggak menggali sisi-sisi cerita yang lebih gelap atau lebih dewasa, dan nggak menawarkan alasan mengapa kisah ini perlu diceritakan ulang di tahun 2025 selain alasan komersial.
Pada akhirnya, Film How to Train Your Dragon (2025) adalah bukti kalau nggak semua kisah perlu dihidupkan kembali dengan efek visual ciamik. Kadang, justru dalam goresan animasi itulah kita menemukan kebenaran emosional yang lebih dalam.
Mungkin akan ada penonton baru, misal anak-anak yang belum pernah nonton versi animasinya yang akan menyukai film ini. Namun, bagiku, film ini terasa seperti menonton bayangan dari sesuatu yang dulu pernah bersinar terang. Dan sejujurnya, aku tetap menyukai versi ini!
Selamat nonton ya.
Baca Juga
-
Review Film Life After: Hak Hidup dan Mati yang Jadi Pertanyaan Etis
-
Review Jujur Series Smoke, Sudah Tayang di Apple TV
-
Menyusuri Misteri Film The Banished: Apa yang Dicari, Nggak Pernah Kembali
-
Review Film Cloud: Dunia Digital yang Menelan Kemanusiaan
-
Review Film Madea's Destination: Cerita dan Komedinya Begitu Hambar?
Artikel Terkait
-
Tayang Juli 2025, Ini Detail Karakter Lee Min Ho di Film Omniscient Reader
-
Review Film The Night Is Short, Walk On Girl: Malam Panjang Penuh Kejutan
-
Review Film The Phoenician Scheme: Komedi, Drama, dan Gaya Wes Anderson
-
Atiqah Hasiholan Terima Tantangan Jadi Dukun, Sampai Belajar Ilmu Hitam
-
Poster dan Trailer Film Arwah Resmi Dirilis, Siap Suguhkan Teror Mencekam Mulai 3 Juli 2025
Ulasan
-
Ulasan Buku Radikus Makankakus: Pengalaman Pribadi Dibalut Komedi
-
Review Film The Naked Gun: Komedi Slapstick yang Bikin Ngakak dan Nostalgia
-
Novel The Boldest White: Mengajarkan Anak Menjadi Pemimpin Lewat Kebaikan
-
Ulasan Novel Serial Killer Games: Rencana Licik dalam Balutan Hiburan Sadis
-
Buku The Proudest Blue: Ketika Hijab Jadi Simbol Keberanian dan Identitas
Terkini
-
Tegas! Laurent Mekies Sebut Max Verstappen adalah Inti dari Proyek Red Bull
-
Menyikapi Potensi Gempa Megathrust sebagai Kesiapsiagaan, Bukan Malapetaka
-
Book Hangover: Ketika Terjebak Satu Buku yang Tak Bisa Dilupakan
-
Sinopsis My Girlfriend is the Man, Saat Pacar Tiba-Tiba Berubah Wujud
-
BRI Super League: Eduardo Almeida Janjikan Ini Jika Semen Padang Jadi Tim Musafir