Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Athar Farha
Poster Film Barron's Cove (IMDb)

Ada satu hal yang langsung menarik perhatian saya nonton ‘Barron’s Cove’, betapa film ini mencoba menjadi banyak hal sekaligus: thriller kriminal, drama keluarga, studi karakter tentang ayah yang gagal, dan sesekali, melodrama yang meledak-ledak. Dan hasilnya?

Campuran yang nggak selalu mulus, tapi nggak bisa dibilang sepenuhnya gagal.Disutradarai dan ditulis Evan Ari Kelman, Barron’s Cove merupakan debutnya yang tayang perdana di Hamptons International Film Festival 2024.  

Dibintangi Garrett Hedlund, Christian Convery, Hamish Linklater, Stephen Lang, Brittany Snow, Raúl Castillo, Tramell Tillman, dan Marc Menchaca, memangnya seberapa menarik film ini? Yuk, kita kupas!

Sekilas tentang Film Barron’s Cove

Caleb (diperankan Garrett Hedlund), merupakan ayah tunggal dengan masa lalu kelam dengan pekerjaan berbahaya. Hidupnya berubah drastis ketika anaknya, Barron yang baru kelas 5 dasar, ditemukan tewas di rel kereta. 

Polisi, yang dikomandoi Chief Alberts (Marc Menchaca), dengan cepat menyimpulkan bahwa itu kasus bunuh diri, menyebut Barron dengan enteng sebagai anak yang "mengikat dirinya sendiri di rel".

Tentu saja, sebagai ayah, Caleb menolak percaya. Dia yakin ada sesuatu yang janggal dan berbahaya di balik kematian putranya. 

Rasa bersalah, amarah, dan ketidakpastian mendorongnya mengambil tindakan ekstrem. Caleb menculik teman sekelas Barron, Ethan (Christian Convery), yang saat itu berada di TKP. Tujuannya? Menggali kebenaran, atau mungkin membalas dendam.

Sementara itu, kita diperkenalkan dengan Benji (Stephen Lang), paman Caleb sekaligus bos dalam bisnis kotor yang nggak dijelaskan secara rinci, tapi cukup jelas berkaitan dengan kekerasan dan intimidasi. Ada juga Lyle (Hamish Linklater), ayah Ethan, politikus ambisius yang berpenampilan licin tapi menyimpan agenda gelap. Ketiganya—Benji, Lyle, dan Chief Alberts—ternyata saling terhubung dalam jejaring kekuasaan lokal yang kotor.

Masuklah Detektif Navarro (Raúl Castillo), wajah baru di departemen polisi yang mulai mencium kejanggalan. Namun, semua sudah terlambat. Caleb sudah dalam perjalanan menuju tragedi dan tubuh-tubuh mulai berjatuhan.

Impresi Selepas Nonton Film Barron's Cove 

Aku harus jujur, ‘Barron’s Cove’ nggak menawarkan cerita detektif yang rapi atau misteri yang ruwet seperti film-film David Fincher. Sebaliknya, film ini justru tertarik menyelami sisi psikologis dari seorang ayah yang tenggelam dalam rasa bersalah, dendam, dan trauma masa kecil. 

Masalahnya, alih-alih menyatu dalam narasi yang solid, film ini sering berhenti sejenak—tiga kali, tepatnya—untuk menyajikan adegan monolog panjang soal betapa buruknya ayah-ayah mereka dulu.

Kadang terasa janggal. Aku memang bisa merasakan usaha Evan Ari Kelman dalam upaya menanamkan kedalaman emosional, tapi struktur ceritanya nggak selalu mendukung. Setiap kali tensi mulai naik, film seperti menekan rem mendadak demi ruang kontemplatif, dan itu mengganggu ritmenya.

Yang paling mengejutkan buatku sebenarnya kemunculan Tramell Tillman sebagai mantan rekan militer Caleb. Meski hanya muncul singkat, kehadirannya mengembuskan kehangatan yang sangat dibutuhkan dalam film yang terlalu dingin ini. 

Bila ditilik visualnya, ‘Barron’s Cove’ memang digarap cukup bagus sama sinematografer Matthew Jensen (Wonder Woman). Ada satu adegan yang kece, misalnya siluet karakter berdiri di depan akuarium biru besar. Indah, atmosferik, tapi sayangnya emosinya terasa tipis. Seperti wallpaper cantik yang nggak punya daya tarik. 

Film ini jelas punya niat baik: membicarakan kekerasan antargenerasi, maskulinitas toksik, dan betapa rusaknya sistem hukum yang kolutif. Namun, niat nggak selalu berarti berhasil. Film ini menyajikan temanya secara gamblang, bahkan terlalu gamblang, tanpa pernah benar-benar membiarkan penonton merasakannya secara organik.

Bukannya mengembangkan misteri atau membiarkan konflik berkembang secara natural, film ini terlalu sering memberi tahu kita: “Lihat, ini trauma!” atau “Ini ayah yang buruk!” tanpa membiarkan emosi itu tumbuh sendiri.

Bila Sobat Yoursay penggemar drama kriminal yang suram, penuh karakter laki-laki hancur, dan kisah-kisah dendam pribadi, film ini tetap punya sisi menarik. Hanya saja, jangan berharap terlalu banyak dari segi konsistensi atau kedalaman ceritanya. 

Skor: 1,5/5

Athar Farha