Cerita dimulai dari sebuah kecelakaan yang hampir merenggut nyawa, Emily Bennett dan suaminya Freddie memutuskan pindah dari London ke sebuah rumah besar nan terpencil di Dartmoor, Larkin Lodge sebagai bentuk awal baru untuk pernikahan mereka yang rapuh.
Namun di balik keindahan dan kesunyian rumah itu, Emily merasakan ada sesuatu yang salah, terutama dari suite di lantai tiga yang dingin dan kosong. Begitu memasuki wilayah ini, pintu berderit, api unggun mati sendiri, dan buku-buku berjatuhan tanpa sebab, keanehan ini hanya dirasakan oleh Emily.
Emily bukan sosok narator yang sepenuhnya bisa dipercaya. Kondisi kesehatannya setelah sepsis menyebabkan efek samping halusinasi, sehingga pembaca dituntut mempertanyakan, apakah semua yang Emily alami benar-benar nyata, atau hanya bayangan dari traumanya?. Ketidakpastian ini menjadi pondasi utama ketegangan dalam cerita.
Pinborough dengan cemerlang menggabungkan elemen rumah berhantu klasik dengan horor domestic yang intim. Larkin Lodge bukan sekadar bangunan yang megah, tetapi rumah tersebut punya “kehadiran” sendiri, seolah makhluk hidup yang menyatu dengan kisah Emily dan Freddie. Nantinya kota kecil Dartmoor dan kabut tebalnya menambah atmosfer mencekam, membentuk latar yang menjadi karakter tersendiri.
Saling menyembunyikan masa lalu, Emily dan Freddie membawa rahasia ke dalam rumah yang seharusnya menjadi lahan penyembuhan. Emily pernah berselingkuh, dan Freddie punya cara pandang berbeda soal rumah baru mereka. Ketegangan rumah tangga ini membentuk lapisan psikologis, menanyakan apakah rumah yang berhantu adalah sumber masalah, atau justru hanya cerminan dari pernikahan mereka yang retak.
Pinborough menyiapkan bab-bab pendek dengan akhir yang menggantung, mengundang urgensi pembaca untuk terus membalik halaman. Idiomnya hidup, membawa kedekatan emosi dan rasa takut yang sangat langsung. Emily adalah pusat narasi, ia adalah seseorang yang rentan namun skeptis, terluka namun gigih. Kondisi fisiknya menjadi kunci ketidakpastian, apakah hal-hal mengerikan itu nyata, atau hanya refleksi trauma sepsis-nya. Di sisi lain, Freddie terlihat dingin dan sulit untuk ditembus, bagian dari ketegangan timbul karena peran minor Freddie dalam pengalaman supranatural ini.
Pinborough mengurai cerita dengan ketegangan yang kian meningkat. Awal yang lambat diganti dengan puncak ketakutan yang intens. Adegan Ouija board, pintu berderit, dan “find it” yang muncul dalam pengalaman supranatural berhasil menanam rasa ngeri, menunggu penjelasan final.
Salah satu kritik terhadap novel ini adalah akhir yang oleh beberapa pihak dinilai terlalu gelap dan tidak memuaskan. Mitologi supernatural-nya juga beberapa kali dianggap terlalu kompleks dan bisa membebani cerita utama. Meski begitu, kebanyakan pembaca justru menganggapnya jenius dan mengejutkan.
Kelebihan dari novel ini adalah atmosfer menakutkan, Larkin Lodge dan Dartmoor menciptakan mood gothic yang intens. Narator yang menarik, Emily penuh kompleksitas dan membawa konflik emosi yang kuat. Genre blend yang segar, ghost story, domestic thriller, dan psychological horror berpadu mulus. Pacing yang cepat, Bab-bab pendek dan cliffhanger terasa kuat dan memaksa pembaca terus untuk membaca.
Namun ada juga kekurangan dari novel ini, mitologi supernatural dianggap “overwrought” dan bisa membingungkan sebagian pembaca. Karakter pendukung, termasuk teman Emily, terasa kurang berkembang. Akhir cerita yang sangat gelap bisa dianggap terlalu tidak memberi ruang penebusan.
Secara keseluruhan, "We Live Here Now" adalah kontribusi kuat dalam genre domestic supernatural thriller. Dengan penggabungan atmosfer gothic yang berlapis-lapis, ketegangan psikologis, dan ketidakpastian efek kesehatan Emily, Sarah Pinborough menyajikan novel yang menggenggam emosi, ketakutan, rasa penasaran, dan simpati sambil membuat pembaca terus menebak apa yang sebenarnya terjadi.
Identitas Buku
Judul: We Live Here Now
Penulis: Sarah Pinborough
Penerbit: Flatiron Books: Pine & Cedar
Tanggal Terbit: 20 Mei 2025
Tebal: 291 Halaman
Baca Juga
-
Ulasan Novel One Golden Summer: Kisah Cinta yang Tumbuh dari Musim Panas
-
Ulasan Novel Till Summer Do Us Part: Cinta Tak Terduga di Tengah Kebohongan
-
Ulasan Novel Murder Takes A Vacation: Perjalanan Wanita Tua Pemenang Lotre
-
Ulasan Novel Serial Killer Games: Rencana Licik dalam Balutan Hiburan Sadis
-
Ulasan Novel Making Friends Can be Murder: Persahabatan yang Berujung Maut
Artikel Terkait
-
Bintangi Film Horor Hotel Sakura, Taskya Namya Malah Deg-degan Kendarai Mobil Tua
-
Ulasan Novel The Gatsby Gambit: Misteri Pembunuhan di Kapal Pesiar Mewah
-
5 Upcoming Film Horor Korea yang Paling Dinanti Tahun 2025, Penuh Teror!
-
7 Rekomendasi Film Body Horror yang Dijamin Bikin Ngilu
-
Keisya Levronka Diburu Tuyul di Film Pamali: Tumbal, Adaptasi Game Horor yang Bikin Merinding
Ulasan
-
Ulasan Novel One Golden Summer: Kisah Cinta yang Tumbuh dari Musim Panas
-
Ulasan Novel The Good Liar: Topeng Kebaikan di Lembah Para Pendusta
-
Review Film Speak No Evil, Sikap Diam yang Memberikan Masalah Baru
-
Ulasan Buku Strategi Najmah: Ketika Madrasah Tumbuh di Tangan yang Tepat
-
Tips Selesaikan Tugas di Jangan Memulai Apa yang Tidak Bisa Kamu Selesaikan
Terkini
-
3 Nama Pelatih yang Bisa Gantikan Gerald Vanenburg di Ajang Sea Games 2025
-
PPAD Jenguk Puluhan Purnawirawan TNI AD di RSPAD: Bentuk Perhatian di HUT ke-22
-
Semarak Perlombaan dan Talenta Singa di Perayaan Hari Anak Nasional 2025 Karawang
-
Choi Min Shik dan Han So Hee Siap Bintangi Film "The Intern" Versi Korea
-
Redmi Note 14 SE 5G Resmi Meluncur, Usung Mediatek Dimensity 7025 Ultra