Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Taman Tahura Bandung (Dk.Pribadi/Nanda)

Dalam riuhnya hari-hari yang dipenuhi notifikasi dan deadline, kita kerap lupa bahwa hidup bukan hanya tentang bergerak. Bahwa diam pun adalah bentuk perjalanan, bahwa jeda bukan tanda menyerah, melainkan perlawanan paling elegan terhadap dunia yang terlalu terburu-buru.

Kota Bandung, dalam segala romantismenya, kadang terasa seperti mesin yang tak kenal lelah. Setiap pagi, sebelum mata benar-benar terbuka, tubuh sudah diceburkan kembali ke dalam keramaian: menyelinap di antara padatnya jalan Sukajadi, menanti di lampu merah yang seolah tak habis-habis, menyerap energi dari wajah-wajah yang letih tapi tetap memaksakan senyum demi lembar rupiah.

Ada momen di mana kita mesti mengakui: bertahan tidak selalu tentang menggenggam lebih erat, tetapi juga tentang melepaskan sejenak. Bukan untuk menghindar, tetapi untuk mengingat ulang arah.

Rabu pagi itu, saya memilih langkah yang tidak biasa. Ketika mayoritas orang sedang berkutat dengan spreadsheet, e-mail, dan rapat yang saling tindih, saya bergerak ke utara kota, menuju tempat yang tak menawarkan hiburan modern, tapi menghadirkan keheningan yang jujur. Namanya, Tahura – Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda.

Sekitar tujuh kilometer dari pusat kota, melewati jalur kecil di Dago, aroma tanah basah dan desah daun mulai menyambut. Di pintu gerbangnya, udara berubah: lebih lembab, lebih pelan, seolah waktu juga ikut menanggalkan ambisinya. Di sinilah saya merasa benar-benar sampai, bukan ke suatu tempat, tapi ke dalam diri saya sendiri.

Tahura bukan destinasi untuk siapa pun yang ingin bergegas. Ia adalah ruang untuk yang rindu ditinggal oleh hiruk-pikuk. Bukan sekadar kawasan konservasi, tetapi tempat di mana kita bisa belajar ulang makna diam, hening, dan hadir sepenuhnya.

Di bawah naungan pepohonan pinus, cahaya menyusup lembut di antara sela-sela ranting, membentuk garis-garis keemasan di tanah yang lembab. Jalan setapak membawa saya menyusuri lorong waktu. Di sinilah sejarah dan alam saling menyapa. Dari hutan lindung kuno yang dulu menjadi bagian dari Gunung Pulosari, hingga akhirnya resmi menjadi hutan raya pertama di Indonesia pada tahun 1985.

Saya sempat masuk ke Goa Jepang. Dalam gelap dan dinginnya, suara langkah menjadi gema yang menggetarkan. Di dalam lorong sempit itu, tanpa sinyal, tanpa suara dari luar, saya bisa mendengar denyut hati sendiri—sesuatu yang mulai langka di zaman ini.

Tahura membuat saya berpikir ulang tentang konsep produktivitas. Kota terlalu sibuk mengajarkan kita untuk cepat, efisien, dan penuh target. Tapi di hutan ini, bahkan daun yang jatuh pun memilih waktu terbaiknya. Tak ada yang terburu. Dan justru dalam pelambatan itulah saya menemukan apa yang selama ini dicari: ketenangan yang bukan karena kabur dari realitas, tapi karena berani menyapanya dengan lebih jujur.

Di tengah perjalanan, saya bertemu shelter kecil: bangku panjang dengan atap sederhana. Saya duduk, membuka bekal—nasi hangat dan beberapa potong perkedel. Perkedel Ceu Kokom, kata orang-orang. Rasanya? Biasa saja kalau dimakan di rumah. Tapi di tengah hutan, setelah berjalan jauh, sambil memandang pepohonan dan mendengar aliran air dari kejauhan—rasanya seperti makan di meja kerajaan. Kadang, rasa nikmat bukan soal bumbu, tapi soal suasana yang membungkusnya.

Waktu di Tahura terasa lambat. Tapi justru di pelambatan itu, kita benar-benar hadir. Jam tak berdetak secepat biasanya. Satu jam bisa terasa seperti sehari—bukan karena bosan, tapi karena tubuh dan pikiran benar-benar selaras. Kita berhenti hidup di kepala, dan mulai hidup di momen ini.

Saya duduk lebih lama dari yang direncanakan. Burung kecil menari di ranting, angin menyanyikan lagu tanpa nada, dan saya, manusia yang biasanya sibuk, mendadak menjadi pengamat sederhana. Rasanya seperti kembali ke versi diri yang lebih murni. Versi yang tak lagi dihitung dari seberapa banyak pekerjaan selesai, tapi seberapa dalam kita merasa.

Keluar dari Tahura, saya tidak membawa oleh-oleh. Tidak ada suvenir plastik atau foto dengan pose sempurna. Tapi saya membawa napas yang lebih panjang, pikiran yang lebih bening, dan tubuh yang lebih ringan. Bukan karena beban hidup hilang, tapi karena saya akhirnya memberi ruang untuk bernafas, untuk tak selalu menjadi ‘efisien’.

Dan saya belajar satu hal penting: hidup bukanlah perlombaan tanpa henti. Kita tidak diciptakan hanya untuk berlari, mengejar, dan menaklukkan. Kita juga diberi kemampuan untuk berhenti, diam, dan mendengar ulang suara hati. Tahura mengajarkan saya bahwa menepi bukan bentuk kekalahan, tetapi bagian dari strategi bertahan. Dan bahwa kadang, untuk bisa melangkah lebih jauh, kita mesti berhenti sejenak dan bertanya: “Apa yang sedang saya kejar, dan apakah saya masih menginginkannya?”

Di zaman yang menuntut kita terus bergerak, menepi ke sunyi adalah tindakan revolusioner. Dan Tahura, dalam keheningannya, menyambut siapa saja yang berani melambat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Yayang Nanda Budiman