Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Poster Film The Unholy Trinity (IMDb)

Dunia perfilman western memang nggak lagi semeriah dulu, tapi bukan berarti genre ini kehilangan daya tembaknya. 

The Unholy Trinity’, film petualangan bergaya koboi yang disutradarai Richard Gray, mencoba menghidupkan kembali suasana wild west klasik, lengkap dengan duel senjata, kota yang punya rahasia kelam, dan karakter-karakter nyentrik. 

Sekilas tentang Film The Unholy Trinity

Cerita bermula saat Henry Broadway (Brandon Lessard), pemuda polos yang baru mengenal ayah kandungnya, menyaksikan sang ayah dihukum gantung. Dalam detik-detik terakhir hidupnya, sang ayah (diperankan Tim Daly) bersikeras bahwa dirinya dijebak, dan meminta Henry untuk membersihkan namanya. 

Tentu saja, karena nggak punya rencana hidup lain, dan mungkin karena misi membersihkan nama ayahnya itu seru, Henry pun berangkat ke kota kecil di Montana, tahun 1888.

Di kota itu, Henry menemukan kenyataan pahit. Ayahnya dibenci warga, dan pria yang dituduh menjebaknya sudah meninggal dunia tapi dihormati bak pahlawan. 

Masuklah dua karakter yang jadi pusat ‘trinitas’ dalam judul: Gabriel Dove, sang sheriff berwibawa dengan prinsip moral kuat (diperankan Pierce Brosnan), dan St. Christopher, sosok penuh misteri yang gradasi baik-jahatnya (diperankan Samuel L. Jackson). 

Menarik ya? Lalu bagaimana dengan filmnya sendiri? Sini kepoin lebih lanjut!

Impresi Selepas Nonton Film The Unholy Trinity

Sosok Henry sendiri cukup unik. Bukannya tangguh atau sinis seperti kebanyakan protagonis western, Henry justru tampak terlalu bersih.

Bahkan saat mencoba menyelamatkan PSK lokal (diperankan Katrina Bowden), dia malah gagal karena terlalu lambat menarik pelatuk. Momen itu membuatku mikir, kalau sebelumnya Henry bukan pahlawan siap pakai, tapi sosok yang masih mencari pijakan.

Secara visual, Film The Unholy Trinity punya suasana western yang meyakinkan. Nggak terlalu mencolok, tapi cukup solid untuk membawaku ke era perbatasan Amerika akhir abad ke-19. Musik dan sinematografinya nggak mencoba terlalu keras untuk tampil epik sih, tapi cukup untuk menegaskan genre dan atmosfernya.

Film The Unholy Trinity mungkin nggak mencapai status ‘keren’, tapi di tengah kelangkaan western baru, film ini terasa seperti oase yang punya ide, punya gaya, dan sesekali menggoda lewat dialog dan dilema moralnya. 

Sayangnya memang, jika Sobat Yoursay berekspektasi kalau film ini mengandung adrenalin tinggi atau drama super menggigit, kamu mungkin akan merasa film ini terlalu jinak. 

Namun begitu, untuk penikmat genre western, ini tetap tontonan yang lebih dari kata lumayan. Apalagi dengan kehadiran aktor kaliber seperti Brosnan dan Jackson, film ini berhasil tampil lebih oke. 

Kalau aku bilang jelek untuk film ini, kayaknya nggak deh. Soalnya aku sendiri cuma penikmat film, bukan pembuat film atau kritikus profesional yang kata-katanya bisa bikin industri berguncang. Aku nggak punya latar belakang teknis buat mengupas sinematografi secara detail, atau membedah skenario dari segi struktur naratif yang kompleks. Namun sebagai penonton, aku punya perasaan dan pengalaman yang jujur setiap kali nonton film, dan itu yang jadi dasar ulasan ini.

Aku sadar, pendapatku nggak akan mengubah apa pun dalam dunia perfilman, apalagi sampai bikin sutradara galau atau studio film ragu. Eh, tapi justru karena aku cuma penonton, aku merasa punya ruang buat jujur (apa yang nyambung di hati, apa yang bikin mikir lama setelah film selesai, atau justru apa yang bikin ngantuk di tengah jalan).

Dan kalau ngomongin skor, kadang-kadang angka tuh nggak cukup buat mewakili isi perasaan setelah nonton. Bisa aja aku kasih nilai minus, tapi ternyata banyak banget yang aku suka dari filmnya. Atau sebaliknya, skornya tinggi tapi ada satu hal yang cukup ganggu dan bikin aku agak kesal pas keluar dari bioskop. Ya, skor bisa jadi petunjuk, tapi bukan akhir dari segalanya. Yang lebih penting menurutku adalah cerita di balik angka itu (kenapa aku kasih nilai segitu, apa yang membekas, dan apa yang bikin film itu layak dikenang atau mungkin dilupakan). 

Intinya, ini cuma suara satu orang yang suka nonton film. Bukan buat menghakimi, cuma ingin berbagi. Semoga bisa jadi referensi tambahan buat Sobat Yoursay yang lagi mikir, “Worth it nggak ya nonton film ini?”

Skor: 2,9/5

Athar Farha