Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Ardina Praf
Buku The Metamorphosis (gramedia.com)

The Metamorphosis, karya legendaris dari Franz Kafka yang membuka pintu menuju dunia absurditas dan begitu asing, tapi terasa dekat secara emosional. Cerita dibuka dengan sebuah peristiwa aneh.

Gregor Samsa, seorang pria mendapati dirinya terbangun dengan kondisi yang sudah berubah menjadi serangga. Kafka tidak menjelaskan alasan perubahan ini, dan justru di situlah kekuatan kisah ini: ia tidak berbicara soal keajaiban fisik, melainkan tentang keterasingan, kehilangan identitas, dan perubahan relasi sosial yang muncul akibat kondisi baru tersebut.

Untuk pembaca yang pertama kali membaca karya Kafka, buku ini bisa memberikan kesan yang cukup mendalam. Bukan karena transformasi fisik Gregor semata, tetapi lebih pada bagaimana peristiwa tersebut mengungkapkan sisi gelap hubungan antar manusia, terutama dalam keluarga.

Kafka menyajikan perubahan bentuk Gregor bukan sebagai inti cerita, tetapi sebagai pintu masuk menuju dinamika psikologis dan sosial yang terpendam.

Perubahan Gregor dari tulang punggung keluarga menjadi makhluk tak berdaya menggeser keseimbangan dalam rumah tangga Samsa, mengungkap siapa sebenarnya yang bersedia peduli dan siapa yang hanya bergantung.

Bagian menarik dari novel ini ketika perubahan diri Gregor memiliki dampak besar bagi kehidupan keluarganya. Dari seorang pencari nafkah yang selama ini bekerja keras sebagai salesman demi menghidupi keluarganya, Gregor menjadi sosok yang dianggap menjijikkan dan menyusahkan.

Keluarganya yang melihat perubahan Gregor justru memilih untuk menjauhinya. Tidak ada perasaan iba dan empati yang ditunjukkan oleh ayah, ibu, dan saudara perempuannya, Perlakuan keluarganya ini menunjukkan betapa kasih sayang itu langsung hilang ketika ia tidak bisa memberikan manfaat untuk keluarganya lagi.

Dengan kondisi seperti ini, keluarga Gregor menjalankan peran baru masing-masing. Mereka yang sebelumnya menggantungkan seluruh hidupnya pada Gregor kini harus mulai bekerja dan bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri.

Namun, alih-alih membangun solidaritas, yang muncul justru rasa kesal dan penolakan. Terselip ironi yang menyayat dalam kisah ini. Gregor, yang selama ini mengabdikan hidupnya demi kesejahteraan keluarga, justru disisihkan ketika ia tak lagi mampu “memberi manfaat.”

Cerita ini menyindir tajam kecenderungan manusia menilai sesama bukan berdasarkan siapa mereka, melainkan sejauh apa mereka bisa memenuhi fungsi tertentu.

Walaupun kisahnya dituturkan dengan alur yang sederhana dan langsung, The Metamorphosis sarat dengan pesan-pesan mendalam yang tersembunyi di balik absurditas ceritanya.

Di balik absurditas tubuh serangga, Kafka menyorot perasaan keterasingan, ketidakberdayaan, dan pengabaian yang kerap dirasakan oleh mereka yang berada dalam posisi lemah.

Ketika saya selesai membaca dan merenung, baru terasa betapa dalamnya pesan yang ingin disampaikan. Buku ini mengajak kita mempertanyakan ulang tentang identitas, nilai seseorang dalam masyarakat, dan batas empati manusia.

Satu hal yang terus membekas setelah membaca buku ini adalah betapa menyakitkannya respons keluarga Gregor.

Bertahun-tahun Gregor menjalani hidup dalam tekanan, bekerja tanpa henti demi menopang keluarganya, tanpa pernah banyak menuntut. Ketika nasib baik tidak berpihak kepada Gregor, ia justru dianggap beban oleh keluarganya.

Rasa sayang mereka seperti hilang dan tergantikan dengan rasa ingin menghilangkan Greogor dari keluarga ini dan berharap kehidupan kembali seperti semula.

Meski buku ini tidak tebal secara fisik, The Metamorphosis bukanlah bacaan yang ringan. Ia mengajak kita menengok sisi-sisi gelap manusia, tentang eksistensi, keterasingan, dan cinta yang bersyarat. Kafka menulisnya dengan ketenangan yang ganjil, namun justru dari situ muncul kegetiran yang menyelinap diam-diam.

Buku ini menjadi karya yang luar biasa. Bukan karena transformasi fisik yang luar biasa, tetapi karena realitas batin yang pelan-pelan terkuak, dan membuat kita bertanya: jika Gregor adalah kita, siapa sebenarnya yang akan tetap tinggal?

Ardina Praf