Rolf Dobelli, melalui bukunya The Art of the Good Life, menyuguhkan sebuah panduan hidup yang tidak biasa.
Alih-alih menyusun teori panjang lebar atau janji-janji klise tentang bagaimana meraih kebahagiaan dan kesuksesan, Dobelli justru menawarkan 52 butir nasihat singkat yang ditulis dalam bab-bab pendek namun sarat makna. Gaya penyajiannya yang ringkas menjadikan buku ini mudah dicerna, bisa dibaca secara acak, sesuai kebutuhan atau suasana hati pembacanya.
Setiap bab dalam buku ini adalah semacam jendela kecil ke arah hidup yang lebih baik.
Dobelli tidak menuntut pembacanya untuk menerima semua ide yang ia sampaikan. Justru, ia memberikan ruang bagi kita untuk memilah dan memilih mana yang paling relevan dengan hidup masing-masing.
Setiap bab bukan sekadar bahan renungan, tapi juga ajakan halus untuk meninjau ulang pola pikir dan kebiasaan yang selama ini kita anggap tak perlu dipertanyakan. Buku ini seperti teman berbincang yang jujur dan terus terang, kadang menggugah, kadang menyentil.
Banyak buku pengembangan diri berbicara tentang kebahagiaan, kesuksesan, dan kekayaan seolah semuanya bisa diraih dengan formula yang sama. Namun Dobelli mengambil pendekatan yang lebih realistis.
Ia tidak menjual mimpi, tapi menyarankan agar kita mengenali kenyataan dengan lebih jernih. Nasihat-nasihat yang ia bagikan lebih menyerupai jalan pintas mental.
Sebuah cara pandang yang membantu kita menghadapi hidup dengan lebih jernih, bijak, dan tetap waras di tengah hiruk-pikuk dan kerumitan zaman sekarang.
Bab 14 menjadi salah satu bab yang cukup menarik. Di sini, Dobelli mengangkat pentingnya kesadaran diri. Ia mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki kompetensi yang berbeda-beda, kita semua memiliki area di mana kita unggul, dan area lain yang sebaiknya kita hindari.
Mengetahui batas ini, menurut Dobelli, bukan berarti membatasi diri, melainkan cara cerdas untuk menggunakan waktu dan energi secara efektif.
Singkatnya, hidup yang baik bukan tentang menjadi ahli dalam segala hal, tetapi tentang memahami di mana letak kekuatan kita dan mencurahkan perhatian sepenuhnya ke sana.
Bab ini terasa sangat relevan di era sekarang, ketika media sosial dan budaya hustle kerap mendorong kita untuk bisa segalanya, menjadi segalanya, dan membandingkan diri dengan siapa saja.
Dengan mengarahkan perhatian dan energi pada bidang yang benar-benar kita kuasai, hasil yang kita capai akan jauh lebih bermakna dibanding jika kita memaksakan diri terlibat dalam banyak hal hanya demi pencitraan semata.
Buku ini juga tidak terasa menggurui. Dobelli menyampaikan pemikirannya dengan gaya yang ringan, terkadang diselingi dengan anekdot atau contoh yang jenaka.
Meski ditulis dengan gaya yang ringan dan mudah diikuti, setiap bagiannya mengandung makna yang mengajak untuk berpikir lebih dalam. Semua ditulis dengan nada yang dewasa dan tidak manipulatif, membuat kita merasa bebas untuk merenung tanpa merasa digiring ke arah tertentu.
Membaca The Art of the Good Life bukan berarti kita langsung menemukan semua jawaban. Tapi seperti sedang membuka kotak alat hidup: kita mungkin tidak menggunakan semuanya, namun akan ada satu atau dua alat yang sangat berguna dalam perjalanan pribadi kita.
Buku ini cocok dibaca berulang kali, kapan saja kita merasa butuh perspektif baru atau ingin mengembalikan fokus dalam hidup.
Pada akhirnya, Dobelli tidak menawarkan gambaran hidup yang ideal tanpa cela, melainkan mengajak kita menuju kehidupan yang lebih jernih, penuh kesadaran, dan selaras dengan jati diri kita.
Buku ini cocok untuk siapa pun yang ingin mengambil jeda dari riuhnya tuntutan dunia, dan mulai menapaki hidup dengan cara yang lebih bijak dan bermakna.
Baca Juga
-
Novel Stranger, Kisah Emosional Anak dan Ayah dari Dunia Kriminal
-
Potret Kekerasan Ibu-Anak dalam Novel 'Bunda, Aku Nggak Suka Dipukul'
-
Novel The Prodigy: Menemukan Diri di Tengah Sistem Sekolah yang Rumit
-
The Killer Question: Ketika Kuis Pub Berubah Jadi Ajang Pembunuhan
-
"Bakat Menggonggong", Eksperimen Narasi yang Cerdas dan Penuh Nyinyiran
Artikel Terkait
-
Ulasan How Can I Be Grateful When I Feel So Resentful? Berdamai dengan Masa Lalu
-
Ulasan Buku Growing Pains, Menjalani Hidup Sebagai Orang Tua Tunggal
-
Wamen Veronica Tan Dorong Pengakuan Pekerja Perawatan sebagai Profesi Formal
-
Video Jambak Rambut ART Viral, Suami Siti Badriah: Kadang Gue Seret Pakai Motor
-
Buku I'm Not Lazy. I'm On Energy Saving Mode; Pelukan untuk Diri yang Kelelahan
Ulasan
-
Review Film Keadilan: The Verdict, Kasus Korupsi Diungkap Tanpa Ampun!
-
Ulasan Film Korea Firefighters: Sajikan Kisah Heroik Para Pemadam Kebakaran
-
Review Film The Ghost Game: Ketika Konten Berubah Jadi Teror yang Mematikan
-
Review Film Pangku: Hadirkan Kejutan Hangat, Rapi, dan Tulus
-
Jarak dan Trauma: Pentingnya Komunikasi Efektif dalam Novel Critical Eleven
Terkini
-
Strategi Jitu Hadapi Persaingan! Begini Langkah Berani Avery Kusumanegara Merombak Total Hotel Mereka
-
Bukan Emas, Erick Thohir Ungkap Target Timnas Indonesia di SEA Games 2025
-
Jennifer Coppen Sentil Haters usai Raih Penghargaan di TikTok Awards 2025
-
Raisa Kabur dari Wartawan di AMI Awards, Alasannya Bikin Netizen Ngakak!
-
Ungguli Severance Season 2, Debut Tayang Pluribus di Apple TV Pecah Rekor