Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ardina Praf
Buku How To B Happy (goodreads.com)

Tak bisa dimungkiri, sebagian orang merasa buku-buku self-help terasa monoton. Banyak dari kita merasa isinya hanya itu-itu saja yang dikemas dalam gaya yang berbeda. Mengulang afirmasi, melepaskan trauma, berdamai dengan masa lalu, itu beberapa kata yang sering ditemukan pada buku self help.

Nah, di sinilah buku How to Be Happy (Despite Literally Everything) karya Paul Cuffe masuk sebagai semacam penyelamat... atau setidaknya teman seperjuangan.

Ini bukan buku motivasi yang akan mengubah hidupmu secara drastis. Tapi justru karena itu, buku ini terasa begitu menyegarkan.

Buku ini bukan self-help yang menggurui. Tidak ada langkah pasti menuju bahagia yang ditawarkan Paul Cuffe. Namun, melalui ajakan untuk tetap berpikir positif, ia justru memberikan harapan.

Lewat gaya yang kadang lucu, kadang getir, dan kadang penuh canda akan absurditas hidup, ia berhasil menyentuh hati pembaca.

Ada satu bab yang kurang lebih kira-kira begini: “Turunkan Harapanmu. Belum Cukup. Turunin Lagi. Nah, Sekarang Pas.”

Dan itu bukan bercanda.

Bahwa di zaman ketika semua orang seolah “healing” dan “thriving,” kita yang masih tenggelam dalam kekhawatiran malah merasa salah tempat.

Buku ini semacam panduan untuk orang yang merasa capek terus menerus dalam kehidupannya. Mungkin kalian disini juga sering merasa berusaha keras agar tetap bahagia. Nah, buku ini hadir menjad pengingat bahwa tidak apa-apa untuk menjadi orang biasa.

Tidak perlu jadi bintang, tidak harus selalu semangat, dan boleh banget merasa kosong sambil tetap ngopi latte mahal tiap pagi.

Nasihat yang ditulis dalam buku ini juga menarik dan tidak seperti ceramah.

Justru dibungkus dalam sarkasme yang menghibur dan jujur. Misalnya, Paul bilang kadang masalahnya bukan ada di dunia ini, tapi... ya, mungkin kita sendiri. Tapi dia menyampaikannya dengan cara yang tidak bikin kita pengen ngumpet di balik selimut, malah bikin kita ketawa dan merasa “iya juga, ya.

Mulai dari menerima kenyataan bahwa kita sering gagal, bahwa rasa iri itu wajar, bahwa kadang kita cuma ingin menyerah sejenak, semua itu dibicarakan dengan kejujuran yang menyentuh.

Selain itu, buku ini juga cocok banget buat para perfeksionis yang sedang dalam masa pemulihan.

Kita yang terbiasa ingin semuanya ideal, rumah rapi, pekerjaan sukses, hubungan lancer, pasti tahu rasanya frustrasi saat semua tidak berjalan sesuai rencana.

Lewat tulisannya, Paul ngajak kita berdamai dengan realita, dan bahkan belajar menikmati hidup yang kadang absurd ini.

Apakah buku ini akan mengubah hidupmu? Kemungkinan besar tidak. Tapi apakah buku ini bisa bikin kamu merasa sedikit lebih ringan, lebih bisa tertawa di tengah kekacauan, dan sedikit lebih ramah pada diri sendiri? Sangat mungkin.

Ia adalah kemampuan untuk tetap bernapas dan melangkah, bahkan saat hari-hari terasa suram.

Buku ini juga penuh dengan refleksi kecil, tentang bagaimana secangkir kopi bisa jadi momen bahagia, bagaimana diam di tengah hujan bisa menenangkan, atau tentang betapa pentingnya memaafkan diri sendiri.

Bahasa yang digunakan ringan, kadang terasa seperti catatan harian, kadang seperti teman curhat yang sudah lama mengenal kita.

Jadi kalau kamu sedang berada di titik jenuh, merasa letih mencoba segala cara agar bahagia tapi tetap merasa kosong, mungkin buku ini bisa jadi teman baru kamu.

How to Be Happy: Despite Literally Everything bukan panduan teknis untuk memperbaiki hidup.

Dan ya, hidup emang kadang omong kosong. Tapi kita masih bisa ketawa bareng.”

Ardina Praf