Bagiku sendiri yang murni trah Jawa, baru sekali aku menemukan novel full berbahasa Jawa dari sekian novel-novel berbahasa Indonesia maupun terjemahan.
Sebuah novel tentang masa lampau, yang menyajikan keteguhan hidup dan semangat perjuangan sosok perempuan Jawa, di tengah situasi yang nggak menentu. Novel itu berjudul Candhikala Kapuranta.
Identitas Novel
Judul: Candhikala Kapuranta
Penulis: Sugiarta Sriwibawa
Tebal: 175 halaman
Bahasa: Bahasa Jawa
Tahun terbit: 2002
Penerbit: Pustaka Jaya, Jakarta
Selayang Pandang
Candhikala Kapuranta adalah suatu novel berbahasa Jawa karya Sugiarta Sriwibawa yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 2002. Novel setebal 175 halaman ini memiliki desain sampul yang sederhana, yakni suasana senja.
Hal ini selaras dengan judulnya, Candhikala Kapuranta yang bermakna ‘senja kemerahan’. Meski begitu, peribahasa ‘jangan menilai buku dari sampulnya’ layak disematkan kepada novel ini. Karena, di balik sampul sederhananya, buku ini berhasil membuatku bersyukur hidup sebagai perempuan Jawa di era saat ini.
Sinopsis Candhikala Kapuranta
Novel ini mengisahkan seorang remaja perempuan bernama Munah, yang berasal dari keluarga miskin. Dia adalah anak sulung dari sekian banyak bersaudara, karena pada masa itu sistem KB belum dikenal oleh masyarakat. Sehingga, lumrah sekali dalam satu keluarga memiliki banyak anak dengan rentang usia berdekatan.
Keluarga Munah sangat miskin, bahkan adik terkecilnya kekurangan gizi. Untuk sekadar membuat air tajin (air rebusan beras, rasanya tawar tapi teksturnya mirip susu) nggak bisa. Mau menyusu ke ibunya pun, dikisahkan nggak bisa saking miskinnya keluarga mereka. Alhasil, Munah ‘diusir’ untuk pergi mengabdi pada sebuah keluarga Ndoro alias bangsawan Jawa. Kasarnya, Munah bekerja menjadi pembantu.
Keluarga bangsawan Jawa tersebut memiliki bisnis penjualan candu, atau psikotropika yang mirip opium. Meski kata raya, mereka nggak memiliki anak. Hingga kematian Ndoro Putri, yang membuat Munah ‘naik pangkat’ sebagai selir Ndoro Kakung. Dari hubungan tersebut, lahirlah seorang anak perempuan bernama Asih, yang mewarisi sebagian kekayaan Ndoro Kakung.
Meski begitu, Munah tetap bekerja keras demi masa tuanya, dan Asih dikisahkan juga bekerja sebagai pemain Ludruk. Tapi, buah memang nggak jatuh jauh dari pohonnya. Asih sendiri juga dilanda dilema karena harus berhadapan dengan seorang lelaki bangsawan kaya raya.
Penilaian Pribadi
Untukku sendiri, Candhikala Kapuranta adalah 'aroma segar' yang berani berdikari dengan menawan. Novel ini menyajikan pesona tersendiri di tengah kemilau novel-novel terjemahan, novel-novel berbahasa Indonesia yang juga cakep karena mengusung latar belakang dan budaya lokal macam Laskar Pelangi, atau jejak-jejak novel berbahasa Melayu macam Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan lainnya.
Novel ini juga berani mengangkat isu kasta sosial, yang diwakili pada kegemaran kaum borjuis bangsawan dalam bermain judi, hingga mengonsumsi candu/psikotropika, di saat rakyat kecil harus berjuang demi perut mereka. Hingga adat ‘naik pangkat’ yang dialami Munah, karena diambil selir oleh Ndoro Kakung. Tanpa ikatan pernikahan, dan dengan jarak usia yang jauh sekali.
Candhikala Kapuranta mungkin menyoroti keteguhan seorang perempuan Jawa pada masa lampau, ketika derajat mereka direndahkan oleh lelaki. Sebagaimana Munah dan Asih dalam lika-liku hidup mereka dalam menghadapi para lelaki bangsawan yang ‘bangsat’ menurutku ya. Namun, novel ini juga menegaskan bahwa peribahasa wani ngalah luhur wekasane adalah benar. Bahwasanya, berani mengalah maka akan menuai sesuatu yang luhur/besar. Aku sendiri juga didoktrin peribahasa ini, dan asli, susah kali melaluinya.
Yang bisa kupetik sebagai perempuan dari Candhikala Kapuranta ini adalah, bahwa perjuangan itu nggak ada yang sia-sia. Dan, bahwa kecantikan sejati bukanlah pada rupa, melainkan hati yang teguh dan semangat hidup yang tinggi. Selain itu, syukurlah jaman sekarang baik pendidikan maupun karir bisa dilakoni oleh lelaki ataupun perempuan. Nggak seperti penuturan dalam novel, dimana kaum perempuan cenderung terbelakang karena adat dan kekacauan masa itu.
Terakhir, novel ini memang sangat unik karena dibuka dan ditutup oleh suatu plot twist, yang ngeri sekaligus lucu. Yah, benar-benar masterpiece dengan bahasa Jawa yang mudah dipahami, walau ada beberapa istilah yang kini sudah jarang terdengar lagi. So, nilai dariku, 10 dari 10.
Sekali lagi, Candhikala Kapuranta adalah masterpiece yang luar biasa. Dariku, Wangsa Manungsa trah Jawa murni.
Baca Juga
-
Ulasan Novel Edensor: Kesetiakawanan, Cinta, dan Memperjuangkan Cita-cita
-
Bertualang Seru Penuh Kejanggalan Lewat Cerpen Misteri Hutan Larangan
-
Novel Salah Asuhan: Hagemoni Kolonial, dan Keegoisan Pribumi
-
Banda Neira Kembali 'Menghidupkan' Lewat Lagu 'Mimpilah Seliar-liarnya'
-
Daytime Star: Art Dewa, Karakter Green Flag, Klise Tapi Bikin Penasaran
Artikel Terkait
Ulasan
-
Ulasan Novel The Quiet Mother: Ketika Seorang Ibu Menyimpan Rahasia Maut
-
Ulasan Novel The Housemaid: Ketika Asisten Rumah Tangga Tak Lagi Aman
-
Ulasan Novel Edensor: Kesetiakawanan, Cinta, dan Memperjuangkan Cita-cita
-
Review Film Tomb Watcher: Hantu Lunthom dan Peti Kaca yang Bikin Merinding
-
Museum Srihadi Soedarsono: Pameran Art Gallery Terbaru di Kota Bandung
Terkini
-
Futsal dan Sepak Bola, Apa Bedanya dan Kenapa Banyak yang Pindah Haluan?
-
naevis Ungkap Perjalanan Emosional di Lagu Comeback Bertajuk 'Sensitive'
-
Bantu Berikan Perlindungan untuk Anak-Anak, Mark NCT Donasi Rp 1,1 Miliar
-
Serupa Tapi Tak Sama, Ini 5 Perbedaan MotoGP dan WorldSBK
-
BRI Super League: Maxwell Souza Tebar Janji Manis usai Resmi Gabung Persija Jakarta