Bimo Aria Fundrika | Tika Maya Sari
Ilustrasi menangis (Unsplash)
Tika Maya Sari

Lagi-lagi, shift malam membawaku ke cerita yang tak masuk akal. Di toko Cik Zhao Fei, ada suara tangisan perempuan, datang dari tempat yang seharusnya kosong.

“Fris, lembur ya. Aku ada kepentingan.”

“Baik, Cik.”

Cik Zhao Fei pergi menjelang adzan maghrib, setelah menyodorkan seporsi mi ayam hangat. Aromanya masih mengepul ketika aku menutup pintu dan bergegas salat.

“Hawanya aman, deh. Nggak ada penampakan,” gumamku sambil tertawa kecil.

Dan memang begitu. Tak ada perempuan bergamis putih di sudut toko. Tak ada sosok putuh menari di bawah mahoni. Tak ada bau aneh yang tiba-tiba menyergap.

Udara biasa saja. Tak dingin, tak panas. Jalan raya antarprovinsi di depan toko masih ramai, suara mesin dan klakson silih berganti. Terlalu normal untuk sebuah malam yang biasanya menyisakan cerita.

Aku mengecek lantai. Barisan semut masih setia. Laron beterbangan di sekitar lampu. Oke. Aman.

Di barat meja kasir, aku menggelar sajadah. Berusaha khusyuk, meski telingaku tetap menangkap riuh sekitar: suara Bulik Lin dan suaminya dari warung nasi Padang, wajan Mak Sih yang beradu dengan spatula.

Semuanya terasa akrab. Nyata.

Lalu…

di sela takbir, terdengar isakan lirih.

Pelan. Tertahan.

Tangisan perempuan.

Suaranya seperti orang menahan sakit, rintihan yang digulung, lalu dilepaskan.

Dan yang membuat dadaku mengencang, sumbernya bukan dari luar. Bukan dari jalan. Bukan dari warung.

Suara itu datang dari seberang meja kasir. Jaraknya tak sampai satu meter.

Aku menahan napas.

“Mungkin anak kucing,” bisikku, mencoba masuk akal.

Tapi tangisan itu tak berhenti. Ia terus terdengar, menemani setiap gerak salatku, hingga salam terakhir. Padahal, sejak Cik Zhao Fei pergi, aku sendirian di dalam toko.

“Jangan ganggu, kenapa sih?!” bentakku begitu melipat mukena.

Mbok kira aku nggak capek kerja seharian?!”

Tanganku gemetar saat meraih gunting besar di bawah meja. Dengan langkah pelan, aku menyusuri sudut demi sudut toko. Rak, gudang kecil, balik pintu. Kosong. Semua kosong.

Tak ada siapa-siapa. Benar-benar hanya aku.

“Kalau mau nangis, jangan di sini!” teriakku lagi.

“Takuti sana Ko Liam! Atau Cik Zhao Fei yang cerewet itu!”

Tiba-tiba… sunyi.

Tangisan itu lenyap, seolah tak pernah ada. Toko kembali seperti semula—lampu menyala stabil, suara jalan raya masuk dari luar, udara tetap biasa.

Hingga kini, bertahun-tahun setelah malam itu, aku masih yakin: suara itu nyata. Bukan halusinasiku. Bukan juga suara Bulik Lin yang suka bercanda.

Entah siapa pemilik rintihan itu.

Dan entah mengapa, ia memilih menangis sedekat itu denganku.