Bimo Aria Fundrika | Tika Maya Sari
ilustrasi pohon mahoni (Unsplash/aly)
Tika Maya Sari

Malam Jumat memang cukup identik dengan hal-hal mistis. Nggak jarang, ‘mereka’ menampakkan diri, entah gabut atau memang berniat menakuti.

“Mbak, aku pergi dulu ya,” kata Ko Liam yang sudah rapi dan meluncur dengan motor matic-nya.

“Siap.”

Hari ini, barang dari supplier datang berjibun. Aku harus mengecek stok, dan ketepatan barang dengan nota. Belum lagi konfirmasi dengan Ko Liam atas barang-barang toko apa saja yang sudah dia ambil, demi menjaga laporan audit tetap aman.

“Waduh, busi motor bebek telat,” gumamku.

Sembari mengecek barang, aku juga harus melayani pembeli yang tetap ramai bahkan menjelang azan maghrib. Kegiatan cek dan menata akhirnya selesai setelah maghrib, saking banyaknya barang datang.

“Liam sialan!” 

Beberapa kali aku mengumpat karena Ko Liam mengotori toko dengan sampah makanan dan puntung rokok. Sialnya, kadang dia sengaja menyembunyikan sampahnya di dalam etalase.

Jadilah aku bersih-bersih toko sekalian. Menyapu. Mengepel. Mengelap etalase dan merapikan meja kasir yang berantakan.

“Kok tiba-tiba hening?”

Lalu lalang kendaraan tiba-tiba terjeda. Hawa dingin nan nggak nyaman mulai menyergap.

Situasi seketika sunyi mencekam, bertepatan saat aku merapikan peralatan bersih-bersih.

Mataku lalu mengarah pada pohon mahoni depan toko. Kawasan itu gelap karena lampu jalan sedang mati. Ada cahaya memerah dari sana. Tadinya kupikir nyala lampu stop kendaraan.

Pelan tapi pasti. Dari belakang pohon mahoni berdiameter kira-kira 40cm itu, muncul sesosok yang membuatku menahan napas. Sosok putih, dengan wajah penuh darah, dan mata kosong.

Tubuhku nge-freeze. Nggak bisa digerakkan. Mata nggak bisa dikedipkan. Persis tubuh patung.

Meski dia ada di sebrang jalan raya, tepatnya mengintip dari pohon mahoni besar, dia tampak tersenyum.

Entah kenapa, nuraniku bilang itu adalah senyum perkenalan.

Perkenalan gundulmu! Aku nggak mau kenalan dengannya!

Sepersekian detik kemudian, tubuhku kembali pada kemampuannya yang semula. Bisa bergerak normal lagi.

Dengan emosi karena diliputi rasa lelah seharian bekerja, aku berjalan keluar dari toko dan berdiri di tepi jalan.

“Sialan ya, kamu! Orang kerja kok diganggu!”

Jalan raya kembali hidup. Hawa dingin dan sunyi mencekam menghilang.

“Kusamperin kamu malah ngilang. Bajigur memang!”

Kuamati terus pohon mahoni satu itu, kemudian ke mahoni-mahoni lainnya. Aman. Nggak ada yang mengintip.

“Kamu nggak tahu, aku capek seharian? Mau rehat aja malah diganggu. Sialan, kamu!”

Entah berapa menit aku mengumpat macam orang gila di tepi jalan. Hingga Ko Liam pulang dan menatapku penuh tanda tanya. Aku sendiri enggan bercerita padanya.