Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film She Rides Shotgun (IMDb)

Kadang, cerita terbaik datang dari situasi paling kacau. Dari keputusan-keputusan buruk yang sudah diambil terlalu jauh, dari masa lalu yang menuntut balas, dan dari hubungan keluarga yang tiba-tiba dipaksa tumbuh di tengah bahaya. 

Saat nonton Film She Rides Shotgun, aku merasa seperti diajak duduk di kursi penumpang mobil tua yang melaju di jalanan dengan jendela retak, radio berisik, dan entah siapa yang mengejar di belakang.

Perdana tayang di Tribeca Film Festival pada 7 Juni 2025 sebelum rilis umum pada 1 Agustus 2025. Film ini disutradarai Nick Rowland, yang sebelumnya bikin Film Calm with Horses. Kali ini dia bekerja sama dengan penulis novel Jordan Harper, yang bukunya jadi sumber adaptasi, serta penulis skenario Ben Collins dan Luke Piotrowski. Produksi ini berada di bawah naungan XYZ Films bersama beberapa rumah produksi independen lain, dan diperkuat para bintang yang di antaranya: Taron Egerton, Ana Sophia Heger, dan Rob Yang.

Berkisah tentang apa, sih? Yuk, lanjut kepoin!

Sinopsis Film She Rides Shotgun

Scene Film She Rides Shotgun (IMDb)

Nate McCluskey (Taron Egerton) baru saja keluar dari penjara. Bukan sebagai orang bebas yang siap memulai hidup baru, tapi sebagai buronan nomor satu geng Aryan Steel (kelompok supremasi kulit putih) yang nggak cuma punya anggota di jalanan, tapi juga di kantor kepolisian. 

Mereka menjatuhkan ‘green light’ pada Nate dan seluruh keluarganya, artinya siapa saja yang berafiliasi dengan geng punya izin untuk menghabisi mereka kapan saja.

Begitu Nate muncul di depan sekolah Polly (Ana Sophia Heger), dia nggak menjelaskan banyak hal. Hanya ada satu pesan, ikut dengannya, sekarang!

Polly, yang nggak bertemu ayahnya selama bertahun-tahun, kebingungan. Mobil yang mereka kendarai penuh bekas benturan, kaca pecah, dan tentunya diikuti bahaya. Ibu Polly? Nggak ada di tempat. Tujuan mereka? Nggak jelas.

Di tengah pelarian, Nate melakukan hal-hal ekstrem demi melindungi putrinya. Dia menyembunyikan identitas dengan mewarnai rambut, menyewa kamar di motel murahan, bahkan mengajari Polly bertahan hidup dengan cara yang jauh dari norma, termasuk bagaimana menggunakan tongkat bisbol untuk melumpuhkan orang.

Sementara itu, Detektif John Park (Rob Yang) sedang memburu jaringan narkoba terbesar di Santa Fe. John Park bukan tipe polisi yang mencari sensasi. Dia ingin membereskan masalah di komunitasnya, tapi jalannya dipenuhi rintangan, termasuk rekan-rekan polisi yang diam-diam tunduk pada Aryan Steel.

Saat Polly berhasil kabur sebentar dan menelepon polisi, Park yang menjawab. Kalimat pertama yang Park dengar, “Aku anak yang ada di TV itu.” Dari sinilah jalur Park dan Nate perlahan bersinggungan. Park ingin menyelamatkan anak itu, tapi tahu bila di wilayah yang disebut ‘Steel Country’, siapa pun bisa jadi musuh.

Wah, menarik sekali kisahnya, ya!

Review Film She Rides Shotgun 

Film ini memang punya banyak kekerasan. Dimulai dari darah, tulang, dan bunyi hantaman yang membuat diriku sesekali meringis. Namun, di sela-sela itu, ada momen-momen paling membekas. 

Misalnya, saat Nate dan Polly duduk di sebuah diner kumuh (menghitung sisa uang mereka). Nate kesulitan menghitung, lalu Polly mengambil alih dan menulis angka di serbet dengan serius. Nate menatapnya dengan rasa kagum bercampur bangga. Ibarat itu tatapan yang lagi ngomong, “Ini anakku.” 

Satu hal yang membuat aku betah natap layar terkait lanskap New Mexico yang ditangkap kamera. Langit yang membentang luas, gurun yang membakar mata, dan matahari terbenam yang memantulkan warna emas pada bodi mobil tua mereka. Nick Rowland dan tim produksinya juga memperhatikan detail kecil, dari kapel truk di rest area, hingga kamar motel yang dindingnya penuh mural ombak, seakan-akan menertawakan ketenangan yang nggak pernah mereka temukan.

Namun, setelah paruh kedua film, aku mulai merasa plotnya berjalan di jalur yang terlalu familier. Fokus beralih pada drama geng dan pabrik narkoba, sementara hubungan Nate–Polly jadi kurang menonjol. Aku paham ini adalah bagian penting cerita, tapi bagiku inti emosinya justru ada di interaksi mereka berdua.

Klimaksnya juga, meski nggak buruk, terasa sedikit tergesa-gesa. Untungnya, adegan penutup berhasil menebus banyak hal dan meninggalkan rasa puas sekaligus perih di hati.

Kalau Sobat Yoursay suka film kriminal dengan sentuhan emosional, tapi tetap keras kepala menolak sentimentalisme, ini tontonan yang pas. Jangan harap ada akhir yang rapi dan bahagia. Ini bukan dongeng! Semoga film ini masuk bioskop Indonesia. Selamat nonton, ya. 

Athar Farha