Bimo Aria Fundrika | Gita Fetty Utami
Ilustrasi rumah tua. (Unsplash.com/ Florian van Duyn)
Gita Fetty Utami

Masa kecilku berlalu di sebuah kota kecil di Kalimantan Barat, sebut saja kota P. Tahun-tahun 80–90-an, kota itu masih lebih menyerupai bentang alam liar ketimbang pemukiman.

Hutan-hutan kecil tumbuh bebas di antara rumah-rumah jarang, sementara parit dan sungai berair kecokelatan mengalir di bawah lorong pepohonan, sunyi, tapi terasa hidup.

Saat itu ayah masih merintis usaha konfeksi di pinggir kota. Kami belum punya rumah sendiri. Mengontrak adalah satu-satunya pilihan. Salah satu rumah yang pernah kami tempati adalah rumah papan tua, berdiri di atas tanah gambut.

Dari pintu depan menuju jalan raya, hanya ada satu akses: gertak, jembatan kayu sempit, sekira lima belas meter panjangnya.

Di bawahnya, parit kecil menganga, memisahkan pekarangan rumah dan dunia luar.

Rumah itu rumah panggung. Artinya, ada kolong.

Dan kolong, bagi anak kecil sepertiku, selalu menyimpan rasa ingin tahu, dan ketakutan.

Suatu hari aku mengintipnya. Dari lantai dapur yang bolong, papan kayunya sudah keropos dimakan usia. Aku menunduk perlahan. Yang terlihat hanya tanah berlumpur, basah, dan gelap. Tapi itu cukup untuk membuat ibu memekik marah. Wajahnya pucat, matanya penuh larangan.

“Jangan pernah ngintip ke situ!” bentaknya.

Tak ada penjelasan. Hanya ketakutan yang tak disamarkan. Ayah langsung menambal lubang itu hari itu juga.

Tetangga kami jauh-jauh. Dipisahkan perdu lebat dan kebun kelapa. Untuk mencari teman bermain, aku harus berjalan puluhan meter. Mungkin itu sebabnya orang-orang di sana terbiasa bicara keras—bukan marah, tapi menembus jarak.

Dan bentang alam seperti itu, tentu saja, melahirkan kisah-kisah lain. Tentang suara tawa yang mengikik dari pohon tertentu. Tentang kehadiran yang tak kasatmata tapi diyakini ada.

Aku tak sepenuhnya percaya. Sampai siang itu tiba.

Matahari tepat di atas kepala. Panasnya menekan. Aku ingin mendinginkan badan. Maka aku ke belakang rumah, tempat drum besar penampung air hujan berdiri. Air hujan yang mengendap di situ selalu dingin, menyentuh kulit saja sudah terasa lega.

Berbeda dengan air kolam di dekatnya yang hangat tersengat matahari.

Aku sendirian. Sunyi.

Hanya angin yang menggerakkan perdu, menggesekkan daun-daun.

Aku memindahkan air dari drum ke ember plastik. Cipratannya membasahi bajuku, tapi aku tak peduli. Ayah, ibu, dan adikku ada di dalam rumah.

Lalu—
sesuatu terjadi.

Aku didorong.

Bukan sentuhan ringan. Bukan sekadar tersenggol. Dorongan itu kuat, tiba-tiba, dari arah samping. Tubuhku kehilangan keseimbangan. Kakiku terpeleset dari jembatan kayu. Aku jatuh terkangkang. Pangkal kakiku menghantam tepian papan tebal—nyerinya seperti ledakan.

Aku menoleh panik. Mencari pelaku.
Tak ada siapa-siapa.

Hanya aku. Jembatan. Parit. Sunyi.

Saat berusaha bangkit, aku melihat darah mengalir. Celana pendekku memerah. Tangisku pecah. Aku berteriak memanggil ayah dan ibu sekuat tenaga.

Ibu yang pertama keluar. Wajahnya langsung berubah. Ayah menyusul, lalu menggendongku. Ibu menekan lukaku dengan tangan gemetar. Sore itu aku dibawa ke klinik. Syukurlah, lukanya tak terlalu parah.

Tapi ibu memarahiku.

Katanya aku diganggu hantu. Jin.

Karena berani main di luar rumah saat tengah hari bolong.

“Nasib baek masih bise semboh kau,” katanya tegas.

Sejak hari itu, aku tak pernah lagi bermain sendirian di belakang rumah.

Dan hingga kini, ingatan tentang dorongan tanpa wujud itu masih tinggal—
menyisakan satu pertanyaan yang tak pernah benar-benar terjawab.

(*)

Cilacap, 25/12/25