Djoko Subianto pertama kali melihat Resa Witanti di tepi warung kecil dekat sungai, sore yang biasa saja, ketika matahari belum memutuskan untuk pulang. Ia berhenti hanya karena haus, tanpa firasat apa pun. Resa sedang menyusun gelas di rak bambu.
“Tehnya satu,” kata Anto, setelah duduk.
Resa mengangguk. “Manis atau tawar?”
“Manis. Sedikit.”
Ia menuang air panas tanpa terburu-buru. Anto memperhatikan cara Resa mengaduk. Pelan, konsisten, seperti orang yang percaya bahwa segala sesuatu akan selesai asal diberi waktu.
“Kamu pendatang?” tanya Resa sambil meletakkan gelas.
“Iya. Kerja sebentar di sini,” jawab Anto. “Kamu?”
“Lahir di sini.” Resa tersenyum kecil. “Jarang yang singgah lama.”
Anto mengangguk, menyesap teh. “Rasanya pas.”
Resa tertawa singkat. “Itu pujian yang jarang.”
Sungai mengalir di belakang mereka, membawa bunyi yang tak perlu diterjemahkan. Beberapa detik hening terasa wajar, tidak canggung.
“Namamu siapa?” tanya Anto akhirnya.
“Resa.”
“Anto.”
Resa mengangguk, seperti mencatat nama itu di tempat yang aman. “Kamu mau lama di sini?”
“Belum tahu.” Anto memandang ke arah air. “Tergantung pekerjaannya.”
Resa mengikuti arah pandangnya. “Kalau sungainya naik, biasanya orang-orang pulang cepat.”
“Kalau kamu?”
“Aku tetap di warung.” Resa tersenyum. “Seseorang harus menunggu.”
Anto terdiam sejenak. “Kamu sering menunggu?”
Resa tak langsung menjawab. Ia hanya merapikan lap kain di tangannya. “Kadang.”
Saat Anto berdiri untuk membayar, Resa berkata pelan, “Besok kalau lewat lagi, teh sore lebih enak.”
Anto tersenyum. “Aku akan ingat.”
Ia benar-benar datang. Besoknya ia kembali, lalu lusa, lalu hari-hari berikutnya. Percakapan mereka tak pernah jauh. Tentang cuaca, pekerjaan, harga gula. Namun senyum Resa selalu tinggal lebih lama dari kata-kata. Dan tanpa pernah mereka ucapkan, di sanalah cinta mulai belajar hadir: sederhana, pelan, dan nyaris tak disadari.
Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, jarak di antara mereka menyempit. Mereka mulai berbagi hal-hal kecil yang biasanya disimpan sendiri.
Hujan turun sejak siang, menyisakan tanah lembap dan udara yang lebih dingin dari biasanya. Anto datang dengan ujung celana basah, langkahnya hati-hati agar tidak terpeleset. Warung sudah buka, lampu kecil di dalamnya menyala lebih awal.
“Kamu nekat,” kata Resa begitu melihatnya.
Anto tersenyum, mengibaskan air dari lengan bajunya. “Aku janji datang lebih awal.”
Resa mengambil kain lap, menyerahkannya. “Keringkan dulu.”
“Terima kasih.”
“Duduk saja.”
Anto duduk, kali ini bukan di bangku yang sama. Resa menyeduh teh tanpa ditanya. Uapnya naik perlahan, menambah hangat ruangan.
“Air sungainya tinggi,” kata Anto.
“Iya.” Resa melirik ke luar. “Hari ini deras.”
“Warungnya tetap buka.” ucap Anto
“Kalau ditutup, aku tidak ke mana-mana,” jawab Resa.
“Lebih baik menunggu di sini.” tambahnya singkat.
Anto mengangguk. Ia menatap teh di depannya. “Kamu tidak takut?”
Resa berpikir sejenak. “Takut itu ada. Tapi kalau semua ditakuti, hidup jadi sempit.”
Anto tersenyum kecil. “Kamu sering berkata begitu?”
“Tidak.” Resa tersenyum balik. “Hanya kalau hujan.”
Mereka tertawa pelan. Hujan meredam suara luar, membuat warung terasa seperti ruang kecil yang terpisah dari dunia.
“Kamu mau berapa lama di sini?” tanya Resa.
Anto menghela napas. “Belum pasti. Aku ingin menetap sebentar.”
“Sebentar itu berapa lama?” tanya Resa.
“Selama aku diterima.” ujar Anto mantap sambil menatap gadis itu dengan tatapan yang hanya ia yang tahu artinya.
Resa menatapnya, lalu berkata ringan, “Warung ini menerima siapa saja.”
Anto mengangguk. “Kalau begitu aku aman.”
Hujan kian deras. Resa menambahkan gula ke dalam teko, lalu duduk di seberang Anto untuk pertama kalinya.
“Kamu sering sendirian?” tanya Anto.
“Tidak selalu.”
“Sekarang?”
“Sekarang, iya.”
Hening jatuh, tapi tidak kosong. Lampu kecil berpendar, uap teh mengecil.
“Aku pulang nanti kalau hujan reda,” kata Anto.
“Atau tunggu di sini,” jawab Resa cepat, lalu tersenyum malu. “Maksudku—lebih aman.”
Anto menatapnya, hangat. “Aku tunggu.”
Di luar, hujan belum berniat berhenti. Di dalam, sesuatu telah mulai tumbuh. Tak diberi nama, tak disadari penuh. Namun jelas, pertemuan itu bukan lagi sekadar singgah.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ulasan Novel Kembara Rindu: Pengingat Lembut Karya Habiburrahman El Shirazy
-
Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Strategi Cerdik Rusdi Mathari
-
Ulasan Novel Duo Mama Karya Netty Virgiantini: Lika-Liku Ujian Rumah Tangga
-
Ulasan Novel Hello Karya Tere Liye: Cinta, Rumah, dan Kesalahpahaman
-
Efisiensi yang Ditinggalkan: Paspor 5 Tahun dan Cara Berpikir Negara
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
4 Clay Cleanser Ampuh Bersihkan Pori-pori untuk Kurangi Minyak dan Jerawat
-
Di Parkiran Sekolah yang Sunyi, Apa yang Sebetulnya Didengar oleh Adrian?
-
3 Rekomendasi Flatshoes Brand Lokal Kualitas Top, Cocok untuk Semua Acara!
-
Refleksi Keserakahan Manusia dan Kritik Penguasa dalam Antologi Puisi Negeri Daging Karya Gus Mus
-
Oppo Reno 15c Kini Meluncur di India, Spek Berbeda dari Versi China?