Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Fathorrozi 🖊️
Buku Telepon Telepon Hallo (Kubuku)

Beri Hanna Goejarot dalam buku kumpulan puisi Telepon Telepon Hallotak hanya bermain kata, namun ia mampu menggiring pembaca untuk melompat lebih tinggi ke angkasa, berjumpa dengan matahari.

Ia berandai tak hanya terbang mengawang bertemu dengan si raja siang, namun bahkan memantik otak kita agar berpikir bagaimana seandainya matahari digagahi, lalu apa yang akan terjadi?

Selama ini, selaku penyuka dan penikmat buku-buku sastra, terutama puisi dan cerpen, sangat jarang saya temui puisi dengan jenis dan gaya demikian liar.

Mari, kita coba baca bersama dan hayati makna salah satu barisan puisi yang mengajak kita untuk berpikir keras.

ADA DUA ORANG LAGI YANG BERCAKAP DI BAWAH MATAHARI

"Kalau aku setubuhi matahari itu bagaimana?"

"Ya, matilah kau!"

"Tidak mungkin!"

"Bagaimana bisa tidak mungkin?"

"Karena matahari tidak ditakdirkan untuk membunuh!"

"Kalau begitu, bodohlah kau! Karena manusia tidak ditakdirkan untuk setubuhi matahari."

"Tapi kita bisa sekadar membayangkan!"

"Kalau begitu aku juga bisa sekadar membayangkan kau akan mati sia-sia! Bagaimana?" (Halaman 5).

Percakapan dua orang yang sama-sama cerdas, menurut saya. Lelaki yang ingin menyetubuhi matahari meminta pendapat temannya, apa yang akan terjadi jika ia menyenggamai matahari. Terbunuh? Tidak! Sebab, matahari diciptakan bukan sebagai pembunuh.

Kedua lelaki tersebut sama-sama berandai-andai. Satunya berandai menyetubuhi matahari, salah seorang lagi berandai temannya mati terbunuh sebab perbuatannya yang sama sekali tak masuk akal itu.

Pada halaman berikutnya, kita dapat temukan pula puisi berisi dua orang lelaki yang berbincang mengenai matahari terjun bebas. Apa yang bakal terjadi? 

ADA LAGI DUA ORANG YANG BERCAKAP DI BAWAH MATAHARI

"Kalau matahari itu terjun bebas bagaimana?"

"Mustahil!"

"Kalau."

"Aku tidak mau main kalau-kalau!"

"Kalau kamu ditabraknya? Dibakarnya? Dimusnahkannya? Dihanguskannya?"

"Kalau kamu bagaimana?"

"Tidak mungkin!"

"Karena matahari tidak ditakdirkan seperti itu? Dan karena hanya kamu yang bisa sekadar menghayalkan segalanya?"

Salah satu dari mereka mengemas bulan, lalu pergi (Halaman 6).

Tak hanya sampai di sini, setelah membawa pembaca untuk berpikir bagaimana jika menyetubuhi matahari kemudian soal matahari yang terjun bebas, Beri Hanna juga menuliskan puisi perihal matahari yang seketika meledak.

Lewat tokoh bernama Setya Nopanta, Beri Hanna bertanya pengandaian tersebut. Apa yang akan terjadi jika matahari meledak? Sayangnya, yang ditanya tak gemar berselancar dalam andai-andai, jikalau, dan seumpamanya. 

SULITNYA MENGHADAPI SETYA NOPANTA

Namanya Setya Nopanta.

Orangnya keras kepala. Sukanya bertanya-tanya untuk cari-cari perkara.

Waktu itu kita sedang berdua, seperti ini;

"Kalau matahari meledak bagaimana?" kata Setya

"Kalau matahari tidak meledak bagaimana?" kilahku.

"Aku tanya kalau meledak?"

"Kalau itu seumpama, andai saja, apa mungkin, mengira-ngira, mengada-ngada, mendahului realita."

"Jika matahari meledak?" potong Setya.

"Jika aku tak mau menjawab?"

"Maka kau orang yang tak pandai berpikir!"

"Apa buktinya?"

"Kalau aku mengira kau orang yang tak mau berpikir, maka aku harus memancing bagaimana caranya? Nah, sudah kutemukan saat ini. Dengan kata kalau --kau tak mau mengandai-- itu berarti kau tak mau membuka pikiran!"

"Jika begitu maumu, begitu inginmu, begitu dugamu, terserah. Kalau itu bahagiamu, monggo, silakan saja, aku tidak peduli!" (Halaman 17).

Menariknya, dari puisi-puisi bebas tanpa batas ini, sebenarnya Beri Hanna ingin membawa pembaca untuk berpikir, kendatipun terlalu tinggi dan mustahil.

Beri Hanna tegaskan lewat puisi di atas, bahwa ia sejatinya ingin mengajak untuk membuka pikiran, bukan semata mencari kebahagiaan dengan pola pikir irasional.

Selamat membaca dan berpikir!

Identitas Buku

Judul: Telepon Telepon Hallo

Penulis: Beri Hanna Goejarot

Penerbit: Diandra Kreatif

Cetakan: I, November 2019

Tebal: 64 Halaman

ISBN: 978-623-240-189-1

Fathorrozi 🖊️