Di sebuah kota kecil bernama Harapan Hilang, hidup seorang pria bernama John. Usianya 65 tahun, pensiunan pegawai kantor yang hari-harinya diisi dengan rutinitas membosankan: bangun pagi, minum kopi hitam, membaca koran lama, dan menatap langit-langit rumahnya yang retak. Istrinya meninggal sepuluh tahun lalu, anak-anaknya sibuk di kota besar, jarang menelepon. John merasa hidupnya seperti jam rusak—masih berdetak, tapi tak ada artinya.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur atap seng rumahnya, John menemukan sebuah buku tua di rak buku warisan ayahnya. Judulnya: Tata Cara Mati dengan Bahagia. Buku itu berdebu, kulitnya kulit asli yang sudah menguning, ditulis oleh seorang filsuf tak dikenal bernama Dr. Elysium. John pun tertawa sinis.
"Mati bahagia? Siapa yang peduli dengan cara mati, selama itu cepat saja," gumamnya. Tapi rasa penasaran membuatnya membuka halaman pertama.
Buku itu bukan panduan bunuh diri biasa. Tak ada resep pil tidur atau tali gantung. Malah, isinya seperti resep memasak: langkah demi langkah untuk "menyiapkan jiwa sebelum pergi". Langkah pertama: Lepaskan Beban Lama. John pun diminta menulis surat maaf kepada semua orang yang pernah disakitinya. Ia ragu, tapi mencoba.
Malam itu, ia menulis surat untuk istri almarhum, meminta maaf karena terlalu sibuk bekerja hingga lupa romansa. Surat untuk anak-anak, mengakui kesalahannya sebagai ayah yang dingin. Ditulisnya surat itu tanpa alamat, lalu ia bakar surat-surat itu di halaman belakang. Anehnya, dada John terasa ringan, seperti batu besar yang telah terangkat.
Langkah kedua: Temukan Kembali Anak Kecil. Buku menyuruhnya melakukan hal-hal konyol yang dulu disukainya sebagai anak. John ingat masa kecilnya di desa, bermain layang-layang dan mandi di sungai.
Pagi berikutnya, ia beli layang-layang di pasar, lalu lari-lari di lapangan kosong. Orang-orang memandangnya aneh, tapi John tertawa lepas. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa hidup. Malamnya, ia mandi di sungai dekat rumah, air dingin menyegarkan tubuh tuanya.
"Ini gila," pikirnya, tapi ia tak berhenti.
Langkah ketiga: Bagikan Harta Tak Terlihat. Bukan uang, tapi pengetahuan dan cerita. John mulai mengajar anak-anak tetangga membaca. Ia ceritakan dongeng-dongeng lama, tentang pahlawan yang mati bahagia karena telah memberi.
Anak-anak itu datang setiap sore, mata mereka berbinar. John tak sadar, ia telah membangun keluarga baru. Satu anak, seorang gadis kecil bernama Lina, bilang, "Kakek, ceritamu bikin aku bahagia." John pun tersenyum, membuat hatinya hangat.
Langkah keempat: Hadapi Bayangan. John harus bertemu "bayangan" dirinya—ketakutan terdalam. Di kamar gelap, ia meditasi seperti instruksi. Bayangan muncul sebagai dirinya yang muda, marah karena hidup sia-sia.
"Kau takut mati sendirian," kata bayangan. John menangis, mengakui. Tapi ia lawan: "Aku tak sendirian lagi." Bayangan pun lenyap, meninggalkan kedamaian.
Langkah kelima: Ciptakan Warisan Abadi. Buku menyuruhnya membuat sesuatu yang bertahan setelah mati. John, yang dulu hobi melukis tapi berhenti, ambil kuas lagi. Ia lukis potret istri, anak-anak, dan desa masa kecilnya. Lukisan itu ia gantung di dinding, lalu donasikan ke perpustakaan desa. "Ini warisanku," katanya.
Sekarang, langkah terakhir: Tunggu Panggilan. Buku bilang, setelah semua langkah, mati akan datang sendiri, dengan bahagia. John tak percaya, tapi ia melanjutkan hidup. Hari-harinya berubah. Ia bangun dengan semangat, minum kopi sambil bernyanyi, ajak tetangga mengobrol. Anak-anaknya pulang, terkejut melihat ayah mereka berubah.
"Ayah, kau seperti orang baru," kata putrinya.
Suatu pagi, John duduk di teras, memandang matahari terbit. Dada terasa sesak, tapi tak sakit. Ia ingat buku itu. "Ini dia," gumamnya sambil tersenyum.
Ia panggil Lina, gadis kecil itu. "Kakek mau pergi, tapi bahagia. Ceritakan kisahku, ya."
Lina mengangguk, mata berkaca.
John merebah, mata terpejam. Di mimpi terakhir, ia lihat istri menyambut, anak-anak kecil lagi, layang-layang terbang tinggi. Tak ada penyesalan, hanya kebahagiaan yang murni. Buku itu benar—mati bahagia bukan akhir yang harus dipaksakan, tapi puncak untuk hidup seutuhnya.
Di pemakamannya, orang-orang bercerita tentang John yang berubah. Lina memegang buku tua itu, yang entah bagaimana muncul di tangannya. Ia membaca judulnya, dan tersenyum.
"Tata cara ini bukan untuk mati, tapi untuk hidup," katanya pelan.
Buku itu hilang lagi, menunggu jiwa lain yang lelah. Di kota ini, kini ada harapan baru—dari seorang pria yang mati secara bahagia.
Baca Juga
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Erick Thohir Disebut Tak Ikut Campur soal Pemilihan Pelatih Baru, Kok Bisa?
-
Ulasan Novel Pulang Nak, Ummi Rindu: Mimpi Buruk Para Anak Rantau
-
Andrew Garfield Ungkap Film Favoritnya yang Jarang Diketahui Publik
-
4 Calming Cleanser Penyelamat Atasi Iritasi Kulit Akibat Skin Barrier Rusak
-
Rahasia Sukses di Usia Muda: 7 Kisah Inspiratif dari Dunia Teknologi