Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Poster film Lintrik: Ilmu Pemikat (Instagram.com/lintrikofficial)
Ryan Farizzal

Film horor Indonesia kembali menghadirkan warna baru dengan Lintrik: Ilmu Pemikat, sebuah karya yang nggak cuma menawarkan jumpscare, tapi juga cerita mendalam tentang cinta, obsesi, dan konsekuensi dari jalan pintas yang mengerikan.

Film ini resmi tayang di bioskop seluruh Indonesia mulai tanggal 11 September 2025, dan wow, langsung mencuri perhatian pencinta film horor dengan pendekatan yang kental akan budaya lokal Banyuwangi.

Nah karena aku baru nonton kemarin, langsung aja simak deh ulasan berikut. Apa sih yang bikin film ini spesial, tapi pembahasannya tetap santai dan tanpa spoiler berat kok. Monggo! 

Lintrik: Ilmu Pemikat mengisahkan Sari (Karina Icha), seorang wanita dari Banyuwangi yang capek banget sama kehidupan malamnya. Dia pengen move on dari masa lalu yang kelam dan balik ke cinta pertamanya, Rendy (Akbar Nasdar).

Masalahnya, Rendy sekarang udah jadi pengusaha sukses di Jakarta dan menikah dengan sahabat Sari sendiri, Nilam (Fannita Posumah). Ouch, sakit banget, 'kan?

Dalam keputusasaan, Sari dikenalin sama Rini (Meisya Amira) ke ilmu lintrik, sejenis pelet Jawa kuno yang konon super ampuh buat memikat hati orang, bahkan dari jarak jauh.

Tapi, ini bukan pelet biasa, guys. Ritual lintrik cuma bisa dilakukan oleh dukun wanita misterius (Yati Surachman) yang tinggal sendirian di tengah hutan. Dari sinilah, petualangan Sari berubah jadi perjalanan penuh misteri, konflik, dan teror yang nggak pernah dia bayangkan.

Ceritanya nggak cuma soal horor, tapi juga ngegali sisi emosional manusia. Tema cinta segitiga, pengkhianatan, dan obsesi dibungkus dengan nuansa mistis yang bikin bulu kuduk berdiri.

Film ini berhasil nyeimbangin drama psikologis dengan elemen horor, jadi aku sebagai penonton nggak cuma takut, tapi juga ikut merasakan dilema batin karakternya.

Review Film Lintrik: Ilmu Pemikat

Tangkapan layar salah satu adegan di trailer film Lintrik: Ilmu Pemikat (youtube.com/Rumah Semut Film)

Salah satu poin kuat Lintrik: Ilmu Pemikat adalah cara film ini mengangkat budaya lokal Banyuwangi. Dari hutan De Djawatan, Patung Terakota, sampai pantai eksotis, lokasi syutingnya benar-benar bikin suasana autentik.

Bahasa Osing, tradisi lokal, bahkan festival budaya Banyuwangi dimasukin ke dalam film, jadi aku merasa beneran dibawa ke dunia mistis Jawa Timur. Apalagi, tim produksi ngelibatin komunitas film lokal sebagai konsultan budaya, jadi detail ritual dan tradisinya terasa hidup dan nggak asal-asalan.

Sinematografinya juga patut diacungi jempol. Pencahayaan yang gelap dan moody di adegan-adegan hutan bikin suasana makin mencekam.

Ditambah lagi, scoring musiknya berhasil nambah ketegangan tanpa berlebihan. Ada momen-momen di mana suara gamelan tiba-tiba muncul, dan itu beneran bikin jantungan! Tapi, film ini nggak cuma mengandalkan jumpscare murahan. Ketegangan psikologisnya dibangun lewat cerita dan akting, jadi horornya terasa lebih dalam.

Bicara soal akting, Karina Icha sebagai Sari bener-bener mencuri perhatian. Ini debut layar lebarnya, tapi dia berhasil menggambarkan karakter yang rapuh sekaligus nekat dengan natural. Ekspresi keputusasaannya saat terjebak antara cinta dan rasa bersalah bikin aku ikut merasakan dilemanya.

Yati Surachman sebagai dukun misterius juga nggak kalah cetar. Kehadirannya di layar bikin suasana langsung berubah jadi mencekam, apalagi dengan tatapan dan gestur yang bikin merinding.

Meisya Amira sebagai Rini juga nggak kalah keren, meski katanya dia sempet grogi akting bareng Yati. Donny Damara, sebagai aktor senior, memberikan sentuhan kelas tersendiri, meskipun perannya nggak terlalu besar.

Di balik horornya, Lintrik: Ilmu Pemikat memberikan pesan moral yang relevan banget buat zaman sekarang: jangan mencari jalan pintas buat mendapatkan apa yang kamu mau.

Sutradara Irham Acho Bahtiar bilang, film ini pengin ngingetin kita soal bahayanya solusi instan, apalagi kalau itu melibatkan hal-hal yang nggak kita pahami sepenuhnya, kayak ilmu pelet. Pesan ini disampaikan tanpa terasa menggurui, karena ceritanya sendiri udah cukup bikin kita mikir dua kali sebelum main-main sama hal-hal gaib.

Meski punya banyak kelebihan, film ini nggak sepenuhnya sempurna. Beberapa bagian ceritanya terasa agak lambat, terutama di pertengahan saat konflik baru mulai terbuka. Ada juga beberapa subplot yang kayaknya bisa dieksplor lebih dalam, tapi malah cuma disinggung sekilas.

Buat kamu yang mengharapkan horor penuh jumpscare, mungkin bakal sedikit kecewa karena film ini lebih fokus ke ketegangan psikologis ketimbang hantu yang muncul tiba-tiba. Tapi, ini justru bikin Lintrik berbeda dari film horor Indonesia pada umumnya.

Lintrik: Ilmu Pemikat adalah angin segar buat perfilman horor Indonesia. Dengan durasi 102 menit, film ini berhasil mencampurkan horor, drama, dan budaya lokal tanpa terasa dipaksain. Buat kamu yang suka cerita horor yang nggak cuma menakut-nakutin, tapi juga bikin mikir dan ngerasa baper, film ini wajib banget masuk watchlist.

Apalagi, kehadiran aktor-aktor berbakat dan penggambaran budaya Banyuwangi yang kental bikin film ini punya nilai tambah. Oh ya, film ini diberi rating 17+ oleh LSF, jadi pastiin kamu udah cukup umur ya sebelum ke bioskop!

Secara keseluruhan, Lintrik: Ilmu Pemikat adalah film horor yang nggak cuma mengandalkan ketakutan, tapi juga cerita yang kuat dan nuansa budaya yang kaya. Dengan akting yang solid, sinematografi yang apik, dan pesan moral yang ngena, film ini layak banget buat ditonton, terutama kalau kamu pengen sesuatu yang beda dari horor mainstream.

Jadi, catat tanggalnya: mulai 11 September 2025, ajak teman atau pasangan, dan siap-siap merinding sekaligus terbawa emosi sama kisah Sari dan ilmu lintriknya. Jangan lupa bawa popcorn, tapi jangan kaget kalau tiba-tiba gamelan berbunyi di tengah film!