Lintang Siltya Utami | Ryan Farizzal
Poster film Ozora: Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel (IMDb)
Ryan Farizzal

Di saat layar bioskop akhir tahun biasanya dipenuhi film-film ringan penuh tawa dan hiburan semata, muncul sebuah karya yang nekat mengorek luka lama bangsa Indonesia: Ozora: Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel.

Disutradarai oleh duo kakak-adik Umbara Brothers, Anggy Umbara dan Bounty Umbara, film ini jauh melampaui sekadar drama kriminal—ini menjadi cermin keras yang memantulkan ketidakadilan sistemik yang hingga kini masih membayangi negeri kita.

Diadaptasi dari peristiwa nyata penganiayaan sadis terhadap Cristalino David Ozora Latumahina pada Februari 2023, film ini resmi tayang serentak di seluruh jaringan bioskop Indonesia mulai 4 Desember 2025. Pemilihan tanggal tersebut terasa sangat bermakna, seolah sengaja mengingatkan bahwa perjuangan mencari keadilan tidak pernah benar-benar berhenti, bahkan di penghujung tahun yang biasanya identik dengan perenungan dan harapan baru.

Malam Kelam di Jaksel: Ayah Biasa Jadi Pejuang Lawan Penguasa Brutal

Salah satu adegan di film Ozora: Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel (IMDb)

Cerita film ini berpusat pada Jonathan Latumahina (diperankan apik oleh Chicco Jerikho), seorang ayah biasa yang tiba-tiba dihadapkan pada mimpi buruk terbesar: anak sulungnya, David Ozora (Muzakki Ramdhan), dirundung secara sadis hingga koma.

Pelaku utama, Dennis (Erdin Werdrayana), adalah putra seorang pejabat tinggi yang menyebut dirinya "penguasa Jaksel"—sebuah sindiran pedas pada privilege kelas atas yang sering lolos dari jerat hukum.

Penganiayaan itu terjadi di sebuah kompleks elite di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, di mana kekerasan tak hanya fisik, tapi juga simbolik: bagaimana kekuasaan bisa membungkam suara korban.

Jonathan harus berjuang sendirian di rumah sakit, menghadapi biaya pengobatan selangit, tekanan dari pihak berwenang, dan rasa putus asa yang menggerogoti jiwanya. Saat kasus David viral di media sosial, solidaritas masyarakat bangkit—doa lintas agama dan aksi online menjadi senjata ampuh yang mendorong sistem hukum bergerak.

Dari segi penyajian cerita, Ozora dengan cekatan memadukan ketegangan thriller kriminal dan kedalaman drama keluarga yang menguras air mata.

Anggy Umbara—yang selama ini dikenal lewat komedi ringan macam Warkop DKI Reborn—kali ini membuktikan dirinya mampu menggali isu sosial yang berat dengan penuh ketajaman, tanpa tergelincir ke ranah sensasionalisme murahan.

Urutan penganiayaan disajikan dengan membangun rasa tegang secara perlahan, memanfaatkan close-up pada wajah-wajah penuh ketakutan serta dentuman detak jantung yang semakin keras, sehingga brutalitas peristiwa itu terasa menggigit tanpa perlu darah berlebihan.

Namun film ini tak puas hanya menjadi thriller biasa; ini melangkah lebih jauh dengan menyorot perjalanan batin Jonathan yang penuh gejolak spiritual. Puncak emosionalnya hadir saat adegan doa lintas agama—sebuah momen yang begitu mengharukan hingga mampu membuatku menahan napas sekaligus menitikan air mata.

Sementara itu, Muzakki Ramdhan yang memerankan David Ozora—karakter yang hampir tak punya dialog karena kondisi koma—sukses mencuri perhatian lewat tatapan mata yang sarat luka dan kepedihan. Penampilan perdana aktor belia ini terasa begitu alami dan menusuk, menjanjikan karier yang sangat cerah di masa depan.

Review film Ozora: Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel

Salah satu adegan di film Ozora: Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel (IMDb)

Chicco Jerikho adalah nyawa sejati dari Ozora. Memerankan Jonathan Latumahina, ia berhasil menghidupkan sosok ayah yang kelihatannya rapuh di permukaan, namun menyimpan ketegaran luar biasa di dalam dirinya—dengan penjiwaan yang begitu dalam hingga terasa seperti luka sungguhan.

Ia tidak hanya mengandalkan tangisan atau ledakan amarah yang klise; Chicco menyelam jauh ke dalam palung emosi karakternya: rasa bersalah yang menggerogoti seperti karat, ketakutan akan kehilangan anak yang menggenggam dada, serta amarah yang dipendam rapat-rapat hingga nyaris meledak. Semua itu disampaikan dengan begitu halus dan presisi, sehingga penonton tak lagi sekadar menonton—kita ikut menanggung beban berat yang dipikul Jonathan.

Ucapan “Saya juga seorang ayah” yang pernah ia lontarkan di konferensi pers ternyata bukan sekadar kalimat promosi kosong. Getaran kebapakan itu meresap ke dalam setiap pori-pori perannya, terutama pada adegan-adegan sunyi ketika ia hanya duduk di samping ranjang ICU, memandangi putranya yang tak sadarkan diri.

Di momen-momen itulah Chicco benar-benar membuat penonton tercekat—tanpa kata, tanpa gerakan berlebih, hanya tatapan yang penuh luka dan cinta yang tak pernah pudar. Itulah puncak aktingnya di film ini: kemampuan menyampaikan lautan emosi hanya dengan diam yang mengguncang.

Di sisi lain, Erdin Werdrayana berhasil menciptakan antagonis yang tidak hitam-putih. Dennis yang ia perankan bukan sekadar penjahat kartun yang mudah dibenci, melainkan anak manja dari keluarga berkuasa yang tumbuh dalam lingkungan di mana hukum hanyalah formalitas.

Ekspresi dingin, nada suara yang penuh arogansi, serta gestur kecil yang menunjukkan ia merasa “tak tersentuh” membuat penonton merasa muak sekaligus miris—bukan pada aktornya, tapi pada sistem yang memungkinkan karakter seperti Dennis ada.

Para pemeran pendukung pun tak kalah memikat. Tika Bravani sebagai sang istri memberikan kekuatan diam yang mengharukan, Donny Damara menghidupkan pejabat korup dengan aura licin yang terlalu familiar di kehidupan nyata, Annisa Kaila menambah kehangatan sebagai sahabat keluarga yang setia, sementara Mathias Muchus sebagai pengacara membawa wibawa sekaligus keraguan moral yang subtil.

Kehadiran mereka semua membuat Ozora memiliki ensemble cast yang sangat solid—sesuatu yang masih jarang ditemukan di film Indonesia kelas mainstream, dan justru menjadi salah satu kekuatan terbesar film ini.

Secara teknis, film ini kinclong. Sinematografi oleh Faozan Ubaidah menangkap nuansa gelap Jakarta Selatan—dari hiruk-pikuk jalanan hingga kamar ICU yang steril—dengan palet warna dingin yang memperkuat tema isolasi.

Editing cepat di bagian investigasi membuat thriller-nya mengalir kencang, sementara slow-motion di momen doa bersama menambah lapisan emosional. Sound design, terutama efek suara pukulan dan deru napas, terasa realistis tanpa berlebihan, didukung score orkestra yang membangun ketegangan. Durasi 109 menit terasa pas, tak ada adegan draggy yang bikin bosan.

Tapi, apa yang membuat Ozora lebih dari sekadar film bagus adalah relevansinya. Dua tahun pasca-kasus asli, di mana Mario Dandy Satrio divonis 12 tahun penjara dan ayahnya Rafael Alun Trisambodo terjerat korupsi, film ini jadi pengingat bahwa perundungan bukan isu masa lalu.

Ini mengkritik bagaimana "penguasa" Jaksel—atau siapa pun dengan koneksi—bisa memanipulasi hukum, tapi juga merayakan kekuatan rakyat: viralitas media sosial sebagai alat perlawanan.

Ini bukan propaganda; seperti kata Anggy Umbara, "Kita ceritakan apa adanya sebagai refleksi dan pembelajaran." Di era di mana kasus serupa masih muncul, Ozora mengajak kita bertanya: Sudahkah sistem berubah? Atau kita masih butuh doa dan aksi kolektif untuk keadilan?

Sayangnya, film ini tak luput dari kontroversi. Beberapa pihak menilai terlalu eksplisit dalam menggambarkan kekerasan, yang bisa traumatis bagi penonton sensitif.

Selain itu, adaptasi fiksi dari kisah nyata berisiko menyederhanakan kompleksitas hukum asli, meski tim produksi berkonsultasi langsung dengan keluarga Ozora. Tapi justru itulah kekuatannya: film ini tak netral, ia provokatif, mendorong diskusi di luar bioskop.

Secara keseluruhan, Ozora: Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel adalah masterpiece sinema Indonesia 2025. Dengan rating 8.5/10, ini layak ditonton bukan hanya untuk hiburan, tapi untuk kesadaran.

Di tengah hiruk-pikuk akhir tahun, luangkan waktu mulai 4 Desember 2025 untuk datang ke bioskop—baik XXI, CGV, atau Cinepolis—dan rasakan getarannya.

Ini film yang akan dikenang, bukan karena kontroversinya, tapi karena berani bilang: Keadilan bukan hak istimewa, tapi hak semua orang. Perjuangan Jonathan adalah perjuangan kita semua. Jangan lewatkan; ini bukan akhir, tapi panggilan untuk berubah.