Hernawan | Miranda Nurislami Badarudin
Novel Sakura Dalam Pelukan (DocPribadi/Miranda)
Miranda Nurislami Badarudin

Di banyak cerita, kita sering mendengar kisah perjuangan seorang ibu. Ibu digambarkan sebagai pelindung, pemberi kasih sayang, sekaligus sosok yang rela berkorban habis-habisan. Tetapi bagaimana dengan ayah? Jarang sekali ada novel yang menyorot perjuangan seorang ayah dalam merawat anaknya, apalagi ketika ia harus melakukannya seorang diri.

Novel Sakura dalam Pelukan karya Auni FA menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia membawa kita masuk ke dalam kisah Farid Agung, seorang pria yang ditinggal istrinya dan harus mengurus putrinya, Rachel Intan, tanpa pendamping hidup. Dari sinilah cerita berkembang, menghadirkan kehangatan yang kadang getir, konflik yang terasa nyata, sekaligus pesan mendalam tentang arti keluarga.

Kehangatan Ayah yang Jarang Disorot

Farid tidak sempurna. Ia bukan ayah yang tahu segalanya atau selalu bisa memberikan jawaban tepat. Ada kalanya ia kikuk ketika berhadapan dengan Rachel, ada saat ia kebingungan bagaimana harus menenangkan sang putri ketika marah atau kecewa. Namun, justru dari kekurangan itulah muncul keistimewaan.

Farid selalu berusaha. Ia bangun pagi untuk menyiapkan kebutuhan Rachel, bekerja keras demi keberlangsungan hidup mereka, bahkan berusaha menggantikan peran yang dulu dipegang istrinya. Auni FA menggambarkan semua itu dengan detail yang membuat pembaca merasa dekat, seolah melihat seorang ayah yang sedang belajar dari nol tentang peran yang jarang ia jalani sepenuhnya.

Kehangatan seperti ini terasa unik, karena jarang sekali novel keluarga menyoroti sosok ayah dengan begitu intim. Di sinilah Auni FA berhasil menghadirkan sesuatu yang segar: cinta seorang ayah yang sederhana, canggung, tapi tulus.

Jarak yang Nyata antara Ayah dan Anak

Namun, kasih sayang tidak selalu mudah diterima. Rachel justru tumbuh dengan jarak yang cukup dalam terhadap ayahnya. Ia sering bersikap dingin, mudah marah, dan seakan menolak kehadiran Farid. Dari luar, sikap Rachel bisa tampak menyebalkan, tetapi semakin lama kita membaca, semakin kita sadar bahwa sikap itu bukan tanpa alasan.

Ada luka yang Rachel bawa sejak kehilangan ibunya. Ada dinding yang ia bangun untuk melindungi dirinya sendiri. Novel ini membuat kita memahami bahwa dalam hubungan keluarga, cinta tidak selalu berjalan mulus. Kadang ada jarak emosional yang tidak mudah diatasi, bahkan di antara orang-orang yang saling membutuhkan.

Kisah Rachel dan Farid terasa begitu dekat dengan kehidupan nyata. Bukankah sering kali anak-anak sulit memahami cara orang tuanya mencintai mereka? Bukankah kita pun kadang terlambat menyadari besarnya kasih sayang ketika sudah kehilangan?

Sakura sebagai Simbol Kehidupan

Judul novel ini bukan sekadar hiasan. Sakura, bunga yang mekar sebentar lalu gugur, menjadi simbol yang kuat dalam cerita. Ia melambangkan betapa singkatnya waktu yang kita miliki bersama orang yang kita cintai.

Melalui sakura, Auni FA ingin mengingatkan bahwa momen-momen kecil—seperti senyum singkat, percakapan sederhana, atau sekadar kebersamaan—sebenarnya lebih berharga daripada apa pun. Hubungan Farid dan Rachel mungkin penuh luka dan jarak, tetapi di balik itu ada keindahan yang tidak bisa diulang.

Simbolisme ini membuat novel terasa puitis. Pembaca tidak hanya mengikuti alur cerita, tapi juga diajak merenungkan hidup, tentang waktu yang terus berjalan dan orang-orang yang bisa tiba-tiba pergi.

Luka yang Tak Selalu Terlihat

Yang membuat Sakura dalam Pelukan semakin menarik adalah lapisan psikologis yang menyertainya. Rachel tidak sekadar digambarkan sebagai anak yang keras kepala. Sikapnya adalah bentuk mekanisme pertahanan diri. Ia menolak kasih sayang ayahnya karena takut kembali merasakan kehilangan yang sama.

Auni FA dengan cermat menghadirkan dinamika ini. Kita melihat bagaimana Rachel berusaha tampak tegar, padahal dalam diam ia menyimpan rindu yang tak terucap pada ibunya. Kita juga melihat bagaimana Farid berusaha mendekati Rachel, meski sering kali berakhir dengan kesalahpahaman.

Novel ini mengingatkan kita bahwa luka batin tidak selalu tampak di permukaan. Kadang, sikap dingin atau penolakan hanyalah cara seseorang berkata, “Aku butuh, tapi aku takut terluka lagi.”

Belajar Bertahan dan Mengikhlaskan

Kekuatan utama buku novel ini terletak pada pesannya yang sederhana namun menyentuh: keluarga bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang keberanian untuk bertahan.

Farid dan Rachel memang tidak digambarkan langsung rukun dan harmonis. Jalan mereka penuh kerikil, penuh air mata. Tetapi justru dari situlah kita belajar arti cinta yang sesungguhnya. Bahwa kasih sayang bisa tumbuh kembali, meski pernah retak. Bahwa ikhlas bukan berarti menyerah, melainkan berani menerima kehilangan sembari tetap membuka ruang untuk harapan baru.

Novel ini mungkin tidak menawarkan akhir yang serba manis, tetapi justru itu yang membuatnya terasa realistis. Ia menghadirkan kehidupan sebagaimana adanya: indah sekaligus rapuh, penuh luka sekaligus penuh cinta.

Dengan bahasa yang mengalir, Auni FA membuat Sakura dalam Pelukan lebih dari sekadar bacaan ringan. Ia adalah pengingat lembut tentang cinta seorang ayah, tentang luka yang perlu dipeluk, dan tentang keindahan yang kadang hadir sebentar saja, seperti sakura yang jatuh di musim semi.