Sekar Anindyah Lamase | Miranda Nurislami Badarudin
Novel Broken Angel (Dok. Pribadi/Miranda)
Miranda Nurislami Badarudin

Dalam dunia sastra populer, kisah cinta sering kali digambarkan manis, penuh kebetulan romantis, dan diakhiri bahagia. Namun, novel Broken Angel karya Umi Wandira Gajah memilih jalur berbeda. Novel ini menghadirkan cinta yang retak, dihantui rahasia masa lalu, serta dirusak oleh permainan kuasa. Di dalamnya, pembaca tidak hanya menemukan kisah romansa, tetapi juga refleksi tentang bagaimana cinta dapat berubah menjadi luka batin ketika tidak dijaga dengan benar.

Konflik yang Dibangun dari Relasi Timpang

Tokoh utama, Qiran, digambarkan sebagai sosok yang harus berhadapan dengan Vano—laki-laki yang dulu pernah dekat dengannya. Namun, hubungan mereka kini dipenuhi ketegangan. Vano, dengan kedudukannya, kerap menggunakan kuasa untuk mengatur bahkan merendahkan Qiran. Sikap ini menjadikan interaksi mereka tidak setara, jauh dari gambaran cinta yang sehat.

Inilah salah satu sisi unik Broken Angel: keberaniannya memperlihatkan cinta dalam wajah yang gelap. Umi mengajak pembaca memahami bahwa dalam kehidupan nyata, tidak semua hubungan berlandaskan kasih sayang. Ada kalanya cinta dijadikan alat untuk menguasai, bukan untuk membahagiakan.

Cinta yang Harus Dijaga, Bukan Dirusak

Judul Broken Angel sendiri membawa simbol yang kuat. “Malaikat yang rusak” seolah melambangkan cinta yang ternoda oleh ego. Penulis menekankan bahwa jika seseorang benar-benar mengerti makna cinta, ia tidak akan pernah merusaknya. Cinta sejati, menurut pesan yang disampaikan, bukanlah sekadar rasa memiliki, tetapi tanggung jawab untuk menjaga hati orang lain.

Pesan moral ini terasa sederhana, namun relevan. Novel ini menjadi pengingat bahwa cinta bisa menjadi kekuatan yang menyembuhkan, tetapi juga dapat berubah menjadi senjata yang melukai jika tidak dijalani dengan tulus.

Luka Masa Lalu yang Tidak Pernah Hilang

Salah satu kekuatan novel ini terletak pada rahasia masa lalu antara Qiran dan Vano. Dahulu mereka pernah dekat, bahkan memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman. Namun, sebuah peristiwa membuat kebersamaan itu berakhir. Luka yang tidak pernah tuntas kemudian menjelma menjadi dinding pemisah, menjadikan setiap pertemuan di masa kini penuh ketegangan.

Umi menuturkan bagian ini dengan perlahan, membangun rasa penasaran pembaca. Mengapa hubungan mereka bisa berubah sejauh ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Rahasia yang sedikit demi sedikit terungkap membuat pembaca tidak hanya terpaku pada alur, tetapi juga terhanyut dalam pertarungan batin tokoh-tokohnya.

Orang Ketiga Sebagai Ujian Cinta

Kehadiran orang ketiga dalam novel ini tidak hanya menjadi bumbu drama, melainkan elemen penting yang menguji kesungguhan Qiran dan Vano. Sosok tersebut menjadi pemicu pertanyaan besar: apakah cinta di antara mereka benar-benar ada, atau hanya bayangan masa lalu yang sulit dilepaskan?

Dengan cara ini, penulis memperlihatkan bahwa orang ketiga dapat berfungsi sebagai cermin. Ia memaksa tokoh utama untuk bercermin pada perasaan sendiri, mengukur apakah hubungan yang dijalani masih layak dipertahankan atau seharusnya dilepaskan.

Kritik atas Hubungan yang Tidak Sehat

Novel Broken Angel juga bisa dibaca sebagai kritik sosial. Lewat karakter Vano, penulis menyingkap kenyataan bahwa dalam kehidupan nyata, tidak sedikit hubungan yang berjalan dengan pola timpang. Kuasa dan dominasi sering kali menyamar sebagai cinta, padahal sejatinya menjadi belenggu bagi pasangan.

Pesan yang ingin ditegaskan Umi jelas: hubungan yang sehat tidak bisa dibangun di atas kontrol dan paksaan. Kesetaraan dan saling menghargai adalah syarat utama agar cinta benar-benar membawa kebahagiaan.

Gaya Narasi yang Emosional

Umi Wandira Gajah menulis dengan gaya yang emosional, membuat pembaca ikut larut dalam konflik batin para tokohnya. Amarah Qiran, keangkuhan Vano, getirnya rahasia, hingga detik-detik kehadiran orang ketiga—semuanya dituturkan dengan intensitas yang konsisten.

Membaca Broken Angel ibarat menaiki roller coaster emosi. Ada kalanya pembaca merasa marah, kemudian iba, lalu tersenyum getir ketika menyadari betapa rapuhnya hati manusia ketika berhadapan dengan cinta dan ego.

Kesimpulan: Cinta Sebagai Tanggung Jawab

Novel Broken Angel tidak sekadar menawarkan kisah romantis. Ia menghadirkan refleksi tentang cinta sebagai tanggung jawab besar. Penulis mengingatkan, cinta yang sejati tidak akan pernah merusak, melainkan menjaga.

Dengan memadukan konflik emosional, rahasia masa lalu, dan kritik terhadap relasi kuasa, buku novel ini berhasil memberi warna baru pada cerita cinta populer. Ia tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan arti menjaga hati dan kesetaraan dalam sebuah hubungan.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS