Film Maria merupakan biografi psikologis yang menyentuh tentang hari-hari terakhir Maria Callas, penyanyi opera legendaris yang dikenal sebagai La Divina.
Disutradarai oleh Pablo Larraín, yang sebelumnya sukses dengan Jackie dan Spencer, film ini mengeksplorasi perjuangan batin Callas di Paris tahun 1977, di mana ia bergulat dengan penurunan kesehatan, kecanduan obat, dan bayang-bayang masa lalunya yang gemerlap.
Untuk penulis skenarionya ditulis oleh Steven Night. Angelina Jolie memerankan peran utama, dan penampilannya menjadi sorotan, menjadikan film ini sebagai kembalinya Jolie ke layar lebar setelah absen yang panjang.
Cerita berfokus pada seminggu sebelum kematian Callas pada usia 53 tahun. Ia tinggal di apartemen mewah bersama pelayan setia Ferruccio (Pierfrancesco Favino) dan pengasuh Bruna (Alba Rohrwacher), sambil berusaha kembali bernyanyi setelah hiatus panjang akibat masalah vokal.
Film ini membuka dengan adegan dramatis di mana Callas menyanyikan Ave Maria dari Verdi’s Otello, langsung menarikku ke dunia operanya yang penuh emosi.
Larraín menggunakan campuran rekaman asli Callas dan suara Jolie yang telah dilatih selama tujuh bulan, menciptakan ilusi yang memukau meski menurutku gabungan suara lip-sync terlihat kurang sempurna.
Halusinasi akibat obat Mandrax membuat Callas berbicara dengan pewawancara imajiner (Kodi Smit-McPhee), di mana ia merefleksikan cinta toksik dengan Aristotle Onassis (Haluk Bilginer) dan obsesinya terhadap seni.
Review Film Maria
Angelina Jolie memberikan penampilan yang imperious dan mendalam, menangkap esensi Callas sebagai diva yang haus pengakuan akan tetapi rapuh secara emosional.
Matanya yang ekspresif, suara beraksen Yunani-Amerika, dan gerak tubuh yang anggun membuatnya terlihat seperti Callas yang sesungguhnya, meski wajah Jolie terlalu "polished" dibandingkan fitur unik Callas yang penuh kerentanan.
Jolie bukan hanya berakting; ia belajar opera secara fisik, menyanyi di depan ratusan kru, dan memadukan suaranya dengan rekaman Callas hingga 70% di beberapa bagian akhir.
Ini adalah performa terbaiknya sejak Changeling, yang membuatnya dinominasikan Golden Globe untuk Aktris Drama Terbaik dan berpotensi Oscar.
Jolie digambarkan sebagai queenly performance of poise and mystique, menangkap grief seorang seniman yang kehilangan suaranya.
Secara visual, film ini spektakuler berkat sinematografi Ed Lachman yang memenangkan nominasi Oscar untuk Best Cinematography.
Penggunaan hitam-putih untuk flashback menciptakan nuansa kenangan pudar, sementara warna vibrant di masa kini menekankan isolasi mewah Callas.
Kostum, termasuk bulu antik asli Callas, dan desain produksi menambah opulensi opera. Adegan fantasi seperti orkestra di jalan Paris hujan deras untuk Madama Butterfly terasa seperti mimpi buruk yang indah, mencerminkan konflik internal Callas antara kemuliaan dan kehancuran.
Namun, film ini bukan tanpa kekurangan ya, ini bisa dilihat pada narasi yang terasa lambat dan bertele-tele, lebih fokus pada tragedi daripada merayakan talenta Callas yang sebenarnya.
Lip-sync yang tidak konsisten dan elemen sensasional seperti halusinasi membuatnya terasa seperti klise biopic, kurang mendalami seni operanya secara mendalam.
Rotten Tomatoes memberi skor 63/100, dengan konsensus bahwa Jolie menyelamatkan film dari teatrikalitas yang berlebihan. Jolie sebagai "kembalinya sang ratu akting", menyoroti kompleksitas tragis Callas yang ia hidup dengan baik.
Untuk jadwal tayang di bioskop Indonesia, Maria bisa kamu tonton mulai 4 Oktober 2025 di jaringan seperti Grand City XXI Surabaya dan bioskop XXI lainnya, sebagai bagian dari rilis teatrikal terbatas pasca-streaming global di Netflix pada Desember 2024.
Film ini sangat aku rekomendasikan untuk ditonton di bioskop agar kamu bisa merasakan skala operanya, ya meskipun kamu bisa melihatnya via Netflix untuk kenyamananmu di rumah, namun kalau kamu nontonnya di bioskop ada sensasi yang berbeda, tentunya. Oh iya, untuk jadwal tayangnya sendiri kamu bisa cek di situs jadwalnonton.com
Secara keseluruhan, Maria adalah tribute yang bittersweet untuk seorang ikon, Jolie bersinar sebagai jembatan antara legenda dan realitas. Meski tidak sempurna, film ini mengingatkan kita pada harga ketenaran dan dedikasi seni.
Bagi penggemar biografi dan opera, ini wajib tonton; tapi bagi yang tidak suka opera, penampilan akting Jolie saja sudah cukup menggugah kok.
Baca Juga
-
Review Film Rest Area: Ketika Singgah Jadi Awal Petaka Maut!
-
Review Film No Other Choice: Ketika PHK Membuatmu Jadi Psikopat!
-
SMAN Raha 2: Dari Drama Penalti ke Glory AXIS Nation Cup 2025!
-
Drama dan Keringat di Tegal: SMAN 1 Cianjur Lolos ke Grand Final ANC 2025!
-
Review Film Death Whisperer 3: Hadir dengan Jumpscare Tanpa Ampun!
Artikel Terkait
-
Review Film Rest Area: Ketika Singgah Jadi Awal Petaka Maut!
-
Review Film Rangga & Cinta: Cerita dari Gen Milenial yang Melintas Dua Generasi
-
Review Film No Other Choice: Ketika PHK Membuatmu Jadi Psikopat!
-
Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat!
-
Review Film Tukar Takdir: Kisah Penyintas yang Menyayat Hati!
Ulasan
-
Serunai Maut II, Perang Terakhir di Pulau Jengka dan Simbol Kejahatan
-
Ulasan Buku Journal of Gratitude: Syukuri Hal Sederhana untuk Hidup Bahagia
-
Serunai Maut: Ketika Mitos, Iman, dan Logika Bertarung di Pulau Jengka
-
Review Film Rest Area: Ketika Singgah Jadi Awal Petaka Maut!
-
Review Film Human Resource: Saat Punya Anak Bukan Lagi Hak Personal
Terkini
-
El Putra Sarira, Wajah dan Pesona Baru dalam Film Rangga & Cinta
-
2 Hari 1 Malam di Lembang: Itinerary Anti Ribet Buat yang Butuh Healing Singkat dari Kebisingan
-
Dari Ratu Tonight Show Jadi Bintang Film Galau: Perjalanan Karier dan Cinta Enzy Storia
-
Lamarannya Viral, Erika Carlina Kantongi Restu Ibu DJ Bravy untuk Menikah?
-
Generasi Sadar Mental Health, Tapi Kenapa Masih Takut Cari Bantuan Psikolog?