Pernah nggak sih kamu merasa hidup ini kayak musik klasik? Ada bagian lembut yang bikin hati adem, lalu tiba-tiba muncul nada keras yang bikin kaget. Josephine Widya Wijaya berhasil menangkap rasa itu dalam novelnya Les Tempêtes de la Vie.
Novel ini pertama kali terbit tahun 2017, tapi atmosfernya membawa kita jauh ke Paris tahun 1848. Sebuah masa ketika revolusi mengguncang kota, rakyat berteriak minta kebebasan, dan di balik riuh itu, ada seorang perempuan bernama Aurore. Ia bukan sekadar pianis berbakat. Ia adalah seseorang yang tengah berjuang menembus badai hidupnya, mencari siapa dirinya yang sebenarnya, dengan musik sebagai bahasa jiwanya.
Musik yang Bicara Lebih dari Kata-kata
Kalau biasanya musik hanya jadi hiasan dalam cerita, di novel ini musik benar-benar jadi inti narasi. Setiap kali Aurore menekan tuts piano, rasanya seperti ia sedang membuka isi hatinya. Chopin yang ia mainkan bukan sekadar melodi, tapi juga cara dia menuturkan luka, cinta, bahkan keberanian.
Josephine menulis musik bukan sebagai latar, melainkan sebagai tokoh yang hidup. Kita seolah nggak cuma membaca, tapi juga “mendengar” suara-suara yang nggak bisa diucapkan dengan kata. Bagi Aurore, musik adalah jendela jiwa, tempat ia menyalurkan badai batin yang ia hadapi.
Paris dan Riuh Revolusi
Yang bikin cerita ini makin beda adalah latarnya. Tahun 1848, Paris bergolak. Rakyat menuntut kebebasan, politik kacau, dan jalanan penuh teriakan revolusi. Di tengah semua itu, Aurore harus menghadapi badai pribadinya sendiri.
Uniknya, badai sosial dan badai pribadi ini berjalan sejajar. Hidup Aurore jadi cermin dari apa yang sedang terjadi di kotanya: sama-sama penuh gejolak, sama-sama menuntut keberanian. Novel ini berhasil membuat pembaca merasakan kalau kita nggak pernah benar-benar hidup sendirian—selalu ada arus besar sejarah dan masyarakat yang ikut mengguncang kita.
Aurore: Potret Perempuan dengan Banyak Wajah
Aurore bukan tokoh roman yang sederhana. Ia kompleks, berlapis, dan penuh kejutan. Di satu sisi, dia pianis yang anggun. Di sisi lain, ia punya sisi misterius—dilukiskan lewat simbol “dansa dengan pedang”.
Josephine seperti ingin menegaskan bahwa perempuan bisa punya banyak wajah. Lembut sekaligus tangguh. Rapuh sekaligus berani. Nggak hitam-putih, tapi penuh gradasi. Dan di situlah daya tarik Aurore: dia terasa nyata, karena dia berlapis seperti manusia pada umumnya.
Gaya Puitis yang Membawa Kita ke Masa Lalu
Membaca Les Tempêtes de la Vie seperti masuk ke mesin waktu. Josephine menulis dengan gaya puitis, penuh detail klasik yang bikin Paris abad ke-19 terasa hidup. Dari gedung konser yang megah, suasana resital musik, sampai jalanan yang riuh oleh revolusi—semuanya tergambar jelas.
Atmosfer inilah yang bikin novel terasa spesial. Kita bisa merasakan kontras yang tajam: duduk di ruangan yang penuh denting piano, lalu keluar dan melihat kota terbakar oleh gejolak. Dua dunia yang berbeda, tapi sama-sama penting dalam membentuk kisah.
Badai yang Membentuk Diri
Judul novel ini sendiri, Les Tempêtes de la Vie, artinya “badai kehidupan”. Dan memang, badai menjadi simbol utama sepanjang cerita. Aurore harus melewati ruang-ruang gelap, pintu-pintu sempit, dan jalan yang penuh tekanan. Tapi dari situlah ia menemukan dirinya yang sejati.
Novel ini terasa relevan karena siapa pun pasti pernah menghadapi badai hidup. Entah itu soal cinta, pekerjaan, atau pencarian jati diri. Josephine lewat Aurore seperti mau bilang: badai memang berat, tapi justru di sanalah kita ditempa. Dari badai, kita belajar bertahan. Dari badai, kita akhirnya menemukan harmoni yang sejati.
Jadi, Apa yang Tersisa Setelah Membacanya?
Les Tempêtes de la Vie bukan cuma kisah cinta manis. Ia penuh nada, penuh riuh, dan penuh badai. Dari musik Chopin sampai jalanan Paris yang bergolak, dari Aurore yang rapuh sekaligus tangguh, sampai pertanyaan besar tentang siapa diri kita sebenarnya—semua itu bikin buku novel ini terasa hidup.
Mungkin itu kenapa selesai membacanya kita jadi mikir: oh, ternyata hidup memang kayak konser panjang. Ada bagian pelan yang bikin tenang, ada dentuman keras yang bikin kaget, dan ada saat-saat kita harus berdiri tegak meski badai datang tanpa permisi. Dan justru dari situ, kita akhirnya ngerti arti harmoni yang sebenarnya.
Baca Juga
-
Matahari Mata Hati: Mimpi yang Tumbuh dari Pesantren dan Persahabatan
-
Years Gone By: Ketika Cinta Tumbuh dari Kepura-puraan
-
Apakah Sahabat Bisa Jadi Cinta? Jawaban Umi Astuti dalam To Be Loved Up
-
Melogram: Cerita Band Sekolah yang Jadi Lebih dari Sekadar Musik
-
Outwit: Pertaruhan Ambisi dan Rahasia di Balik Nama Galaksi
Artikel Terkait
-
Matahari Mata Hati: Mimpi yang Tumbuh dari Pesantren dan Persahabatan
-
Genjot Literasi Membaca, BBW Jakarta 2025 Datang Lagi: Bakal Ada 5 Juta Buku Baru!
-
Roy Suryo Cs Bedah Buku Keliling 100 Kota, Sebut Ijazah Jokowi 99,99% Palsu dan Analogi Petruk
-
Ulasan Buku Journal of Gratitude: Syukuri Hal Sederhana untuk Hidup Bahagia
-
Serunai Maut II, Perang Terakhir di Pulau Jengka dan Simbol Kejahatan
Ulasan
-
Matahari Mata Hati: Mimpi yang Tumbuh dari Pesantren dan Persahabatan
-
Review Film Good Boy: Horor dari Sudut Pandang Seekor Anjing yang Setia
-
Menariknya Film Kang Solah from Kang Mak x Nenek Gayung, Sekuel yang Berani Ganti Sudut Pandang
-
Film Rest Area yang Terlalu Ambisius dan Lupa Caranya Memikat Penonton
-
Bukan Tentang Siapa yang Selamat, Memahami Lebih Dalam Film Tukar Takdir
Terkini
-
Ngampus Tetap On Point! Ini 4 OOTD Xaviera Putri yang Bikin Auto Stylish
-
A24 Hadirkan Rom-Com Afterlife Paling Menyentuh Lewat Film Eternity
-
Bukan Skincare Biasa! Brand Lokal Rilis Serum dari Rambutan dan Alga Hijau
-
Filosofi MBG: Kunci MAN 1 Sukabumi ke Grand Final AXIS Nation Cup 2025
-
Runway Virtual: 3 Game Fashion Show untuk Para Fashionista di Roblox