Sekar Anindyah Lamase | Miranda Nurislami Badarudin
Novel Bapak, Kapan Kita Akan Berdamai? (Dok. Pribadi/Miranda)
Miranda Nurislami Badarudin

Ada banyak kisah tentang hubungan ayah dan anak, tapi tak semuanya berani menyingkap luka yang sering disembunyikan di balik kata “didikan”. Novel Bapak, Kapan Kita Akan Berdamai? karya Regza Sajogur melakukan hal itu—pelan, jujur, dan apa adanya. Melalui tokoh Marolop Gurning, kita diajak menyusuri jalan penuh duri antara cinta dan luka, antara masa lalu dan keinginan untuk memaafkan.

Di tangan Regza, konflik keluarga bukan hanya tentang siapa yang salah atau benar. Ia mengajak kita melihat lebih dalam: bagaimana rasa sakit bisa diwariskan, bagaimana keheningan bisa lebih bising daripada teriakan, dan bagaimana berdamai dengan masa lalu ternyata tak sesederhana yang dibayangkan.

Perjalanan yang Penuh Luka

Sejak kecil, Marolop hidup di bawah bayang-bayang ayah yang keras. Pukulan, bentakan, dan kata-kata tajam sudah jadi bagian dari hari-harinya. Tapi yang paling menyakitkan bukan hanya kekerasannya, melainkan perasaan tak pernah cukup di mata sang ayah. Ia tumbuh dengan luka yang pelan-pelan menjelma menjadi dinding—menjauhkan dirinya dari rumah, dari keluarganya, bahkan dari dirinya sendiri.

Ketika dewasa, Marolop memilih merantau ke Bogor. Ia pikir, dengan pergi jauh, semua luka itu bisa hilang. Tapi seperti bayangan, masa lalu selalu ikut ke mana pun ia pergi. Dari sinilah pembaca diajak menyadari: berdamai bukan soal melupakan, tapi berani menatap luka itu kembali. Regza menulisnya dengan gaya yang tenang tapi dalam—kita bisa merasakan sesak yang sama seperti yang dirasakan Marolop.

Tentang Ayah dan Anak yang Sama-Sama Tersesat

Novel ini bukan cuma cerita tentang anak yang membenci ayahnya. Ia juga tentang ayah yang tak tahu cara menunjukkan cinta. Dalam budaya Batak, sosok ayah sering digambarkan tegas dan kuat, karena dianggap harus memimpin keluarga. Tapi di balik itu, ada banyak hal yang tak terucap—rasa takut, tanggung jawab, bahkan trauma dari masa lalu mereka sendiri.

Regza berhasil membuat pembaca tidak hanya kasihan pada Marolop, tapi juga mencoba memahami sang ayah. Ia tidak memutihkan siapa pun, tapi juga tidak menghakimi. Ada adegan-adegan sederhana, seperti tatapan dingin atau dialog pendek, yang ternyata menyimpan makna besar: bahwa cinta kadang hadir dalam bentuk yang tidak kita mengerti saat itu.

Kental dengan Budaya Batak

Hal lain yang membuat novel ini terasa hidup adalah bagaimana Regza menghadirkan budaya Batak secara natural, tanpa dibuat-buat. Bahasa Batak muncul di sela dialog, adat dan nilai kekeluargaan terasa nyata, dan semuanya memberi warna lokal yang kuat. Kita seakan ikut duduk di ruang keluarga orang Batak, mendengar suara keras mereka yang sebenarnya penuh kasih, melihat cara mereka berpegang pada martabat dan tanggung jawab.

Budaya ini bukan sekadar latar, tapi bagian penting dari konflik. Cara ayah Marolop mendidik anaknya banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai adat tentang ketegasan dan harga diri. Kadang, apa yang dimaksud sebagai “mendidik” berubah menjadi kekerasan, dan di situlah muncul benturan antara tradisi dan perasaan manusia yang lebih lembut.

Mencari Diri dan Belajar Memaafkan

Perjalanan Marolop bukan cuma tentang menghadapi ayahnya, tapi juga tentang menemukan siapa dirinya sendiri. Ia belajar bahwa masa lalu tidak bisa dihapus, tapi bisa diterima. Ketika akhirnya ia mulai memahami kenapa ayahnya bersikap begitu, rasa benci yang selama ini menumpuk perlahan berubah jadi pengertian.

Bagian ini jadi titik paling menyentuh dalam cerita. Regza tidak membuat akhir yang manis berlebihan, tapi justru realistik dan menenangkan. Ia ingin menunjukkan bahwa berdamai bukan berarti semua luka sembuh, melainkan kita tak lagi membiarkan luka itu menguasai hidup kita.

Novel ini membuat kita merenung: berapa banyak dari kita yang menyimpan dendam lama kepada orang tua, hanya karena kita belum berani mendengar cerita dari sisi mereka?

Pesan yang Membekas

Yang membuat Bapak, Kapan Kita Akan Berdamai? begitu kuat adalah kedekatannya dengan kehidupan nyata. Banyak orang bisa melihat diri mereka di dalam Marolop—entah sebagai anak yang ingin dimengerti, atau sebagai orang tua yang mencoba sekuat tenaga meski caranya sering salah.

Regza Sajogur menulis dengan nada lembut tapi jujur. Ia tak berusaha membuat pembaca menangis, tapi setiap kata-katanya terasa tulus. Kisah ini seolah mengajarkan kita satu hal sederhana tapi penting: semua orang bisa terluka, tapi tak semua orang berani menyembuhkan.

Pada akhirnya, novel ini tidak memberi jawaban pasti kapan kita bisa berdamai. Ia hanya menunjukkan jalan—bahwa proses itu dimulai ketika kita berani berhenti berlari, menatap masa lalu, dan berkata dalam hati: aku tidak ingin membencimu lagi.

Buku Novel Bapak, Kapan Kita Akan Berdamai? adalah potret kegetiran yang hangat, tentang cinta yang salah arah, dan tentang manusia yang berusaha tumbuh meski tertatih. Ia mengingatkan kita bahwa keluarga bukan tentang siapa yang paling benar, tapi tentang siapa yang paling berani untuk memahami. Dan dalam pemahaman itulah, luka akhirnya menemukan jalan menuju damai.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS