Lintang Siltya Utami | Ryan Farizzal
Poster film Wasiat Warisan (instagram.com/film_wasiatwarisan)
Ryan Farizzal

Di tengah kesibukan akhir tahun 2025, layar bioskop Indonesia diramaikan oleh film keluarga yang menghangatkan hati dan mengundang tawa: Wasiat Warisan. Film garapan sutradara Agustinus Sitorus dan diproduksi oleh PIM Pictures ini mulai tayang serentak di jaringan bioskop nasional seperti Cinema 21, XXI, CGV, serta Cinepolis sejak 4 Desember 2025.

Sejak hari pertama penayangannya, film ini langsung menuai antusiasme penonton, terutama di wilayah Sumatra Utara, berkat latar belakang budaya Batak yang autentik dan pesan universal tentang ikatan keluarga. Dengan durasi sekitar 116 menit, Wasiat Warisan bukan sekadar hiburan akhir pekan, melainkan cermin bagi siapa saja yang pernah bergulat dengan warisan masa lalu—baik yang material maupun emosional.

Sinopsis: Warisan Harta yang Memecah, Ikatan Darah yang Menyatukan

Salah satu adegan di film Wasiat Warisan (instagram.com/film_wasiatwarisan)

Cerita film ini berpusat pada tiga bersaudara Batak Toba: Tarida (Sarah Sechan), Ramona (Astrid Tiar), dan Togar (Derby Romero). Setelah kematian mendadak Pak Gomgom (Hamka Siregar) dan Mak Dame (Rita Matu Mona), orang tua mereka, ketiganya mewarisi sebuah hotel tua di tepi Danau Toba yang kini terbengkalai.

Hotel ini bukan sembarang properti; itu adalah simbol perjuangan keluarga yang dibangun dari nol oleh para leluhur. Namun, kebahagiaan warisan cepat sirna ketika muncul klaim utang dari Linda (Dharty Manullang), seorang wanita misterius yang mengancam penyitaan aset.

Di tengah tekanan finansial, rahasia wasiat terakhir Mak Dame mulai terungkap, memicu pertengkaran sengit antar saudara.

Togar, anak bungsu yang sukses di Jakarta berkat pengorbanan kakak-kakaknya, terpaksa pulang ke Samosir untuk menyatukan kembali keluarga yang retak. Tanpa spoiler, plot ini berkembang dari konflik dramatis menjadi momen-momen komedi ringan, diwarnai romansa lama yang terpendam dan elemen budaya Batak yang kaya.

Secara tema, Wasiat Warisan unggul dalam mengangkat nilai kekeluargaan Batak yang sering disalahpahami sebagai "keras" atau materialistis.

Sutradara Agustinus Sitorus, yang juga menulis skenario, berhasil menekankan bahwa ikatan darah lebih kuat dari harta benda. Simbol ulos—kain tenun tradisional Batak—digambarkan bukan hanya sebagai pakaian adat, melainkan pemersatu keluarga yang mampu meredam amarah.

Film ini juga menyentil isu migrasi perantauan, di mana Togar mewakili generasi muda Batak yang "lupa kampung halaman" karena kesibukan kota.

Elemen komedi datang dari benturan budaya, seperti adegan staf hotel (diperankan Jenda Munthe sebagai Marlon dan Vito Sinaga) yang bernyanyi lapo di saat tak tepat, atau diskusi absurd tentang lampu neon "Selamat Datang di Hotel Pariban".

Pesan utamanya sederhana tapi menggigit: warisan sejati bukan hotel mewah, tapi kenangan dan kehadiran yang kita tinggalkan bagi orang tercinta. Di era di mana konflik waris sering berujung pengadilan, film ini mengajak penonton merenungkan, "Apa yang akan kau wariskan selain uang?"

Review Film Wasiat Warisan

Salah satu adegan di film Wasiat Warisan (instagram.com/film_wasiatwarisan)

Kekuatan utama film ini juga bertumpu pada performa akting yang memikat. Derby Romero memerankan Togar dengan karisma yang luar biasa, mampu menyatukan lapisan emosi mendalam dan kelucuan khas Batak dalam satu tarikan napas. Dialek Batak Toba yang mengalir natural dari bibirnya—didukung darah Nainggolan asli yang mengalir di nadinya—membuat karakternya terasa hidup dan meyakinkan sejak menit pertama.

Sarah Sechan, satu-satunya aktor Sunda di ensemble ini, membawa kesegaran dengan Tarida yang polos tapi tegas; ia bahkan mengaku kesulitan melafalkan bahasa Batak, yang justru menambah autentisitas komedi.

Astrid Tiar sebagai Ramona memberikan kedalaman dramatis, terutama dalam adegan konfrontasi saudara, di mana ia "menampar" Derby secara literal untuk kebutuhan skenario—momen yang menjadi sorotan promosi.

Veteran seperti Rita Matu Mona dan Hamka Siregar mencuri perhatian dengan chemistry alami sebagai orang tua yang penuh kasih, meski hanya muncul di flashback.

Pendukung seperti Femila Sinukaban dan Diknal Sitorus sebagai sahabat Togar menambah warna lokal, sementara konsultan komedi Ridho Brado memastikan tawa tak terasa dipaksakan. Secara keseluruhan, ensemble ini terasa seperti reuni keluarga sungguhan, bukan akting buatan.

Secara teknis, Wasiat Warisan tampil memanjakan mata berkat sinematografi apik dari tim PIM Pictures. Keindahan Pulau Samosir terekam dengan penuh cinta: kilauan Danau Toba yang tenang bak cermin raksasa, gemerlap air mancur menari di Waterfront City Pangururan, serta jalanan berbatu kuno yang seolah berbisik menceritakan sejarah dan kenangan—semuanya disajikan dengan framing yang dramatis sekaligus hangat, membuat penonton serasa pulang kampung.

Syuting selama dua pekan di lokasi asli membuat film ini seperti iklan pariwisata yang organik, bukan promosi paksa. Soundtrack, termasuk lagu-lagu Batak tradisional dan score modern oleh komposer lokal, memperkuat nuansa hangat.

Namun, ada kelemahan minor: plot kadang terasa prediktabel, terutama resolusi konflik utang yang lebih mengandalkan kebetulan daripada twist cerdas.

Bagi penonton non-Batak, elemen budaya seperti lapo atau ulos mungkin butuh penjelasan lebih, meski subtitle yang baik sudah menangani itu. Selain itu, durasi komedi terkadang memotong momentum emosional, membuat air mataku bercampur tawa—efek yang disengaja tapi bisa lebih halus.

Wasiat Warisan adalah film penutup tahun yang sempurna: lucu, menyentuh, dan relevan bagi keluarga modern Indonesia. Dengan rating 8/10 dariku, film ini layak ditonton bersama orang tua atau saudara—bisa jadi obat rindu kampung halaman atau pengingat untuk menelepon mama.

Bagi pencinta Pariban atau film keluarga, ini adalah sajian segar dengan rasa Batak autentik. Jangan lewatkan di bioskop mulai 4 Desember 2025; tiketnya sudah laris, terutama di Medan dan Jakarta. Film ini bukan hanya hiburan, tapi wasiat bagi kita semua: pulanglah sebelum terlambat.