Saat ulasan ini ditulis, film Pengabdi Setan 2: Communion telah ditonton lebih dari 5,5 juta kali. Angka ini melampaui jumlah penonton Pengabdi Setan (2017) yang mencapai 4 juta sekian.
Untuk sinopsis, dapat dicari dengan mudah di internet. Puja-puji kelebihan film ini pun bisa dengan mudah diperoleh lewat media sosial, terutama media sosial sutradara, produser, dan aktor aktrisnya.
Dalam ulasan ini, saya tidak akan mengulang puja-puji yang ada. Saya hanya mencoba mengkritisi isi film tersebut.
Pertama, cerita Pengabdi Setan 2: Communion tidak sepadat film sebelumnya. Di bagian tengah-tengah film, terutama: hanya berisi teror tokoh ini, teror tokoh itu. Tanpa ada muatan yang memperkokoh bangunan cerita. Barangkali kalau bagian tengah di-skip penonton dengan disambi tidur, tidak masalah.
Kedua, film ini memberi citra negatif kepada Observatorium Bosscha di Lembang. Sebab di salah satu bagian, ada tokoh Budiman dan Heru Kusuma (tentara) yang 'menemukan' banyak pocong bersujud kepada foto Raminom di ruangan Observatorium Bosscha.
Jika pemakaian Bosscha sebagai setting di film Petualangan Sherina awal tahun 2000-an, membuat observatorium tertua di Indonesia ini dikunjungi banyak orang, tampilan di Pengabdi Setan 2: Communion justru sebaliknya.
Berdasarkan penelusuran di media sosial, banyak orang yang menyatakan takut mengunjungi tempat tersebut karena kesan sebagai lokasi penyembahan setan dan sejenisnya.
Pihak pengelola Bosscha sendiri menyayangkan penayangan tempat ini tanpa perizinan atau sekadar pemberitahuan. Pihak Bosscha menyatakan bahwa observatorium ini adalah tempat belajar, bukan tempat ritual sekte pemuja setan. Observatorium Bosscha sebagai salah satu lembaga di bawah naungan ITB selalu mengedepankan sikap dan pola pikir ilmiah, bukan mistis dan supranatural.
Ketiga, sama seperti ketika menonton film The Nun, saya menyayangkan penggunaan tokoh dan simbol keagaam tertentu. Dalam keyakinan jamak orang di Indonesia (termasuk saya, tentu saja), agama adalah suci. Doa-doa dan rangkaian ritualnya adalah sarana mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus menepis segala tipu daya dan gangguan setan.
Namun dalam Pengabdi Setan (baik 1 dan 2), sama seperti The Nun, agama tidak menjadi solusi. Doa-doa dan rangkaian ritual tidak mendatangkan manfaat, utamanya dalam kaitannya dengan pengusiran setan. Memang benar, tokoh agama bukanlah manusia suci. Dia (mereka) bisa salah seperti kebanyakan kita. Namun dalam film ini justru terasa perendahan agama yang dilakukan lewat tokoh agama.
Doa dan ritual agama justru kalah dibandingkan ritual dan senjata cenayang dalam menghadapi setan dan para pengabdinya.
Sekurang-kurangnya, tiga hal itulah yang membuat Pengabdi Setan 2: Communion bukan jenis tontonan yang mencerahkan, menambah insight positif, dan bermakna. Tapi sebagai hiburan, ya ... bolehlah.