Midnight in Bali, Mengulik Representasi LGBTQ+ di Perfilman Indonesia

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Midnight in Bali, Mengulik Representasi LGBTQ+ di Perfilman Indonesia
Poster Film Midnight in Bali (IMDb)

Bagaimana jika pulang ke rumah justru awal dari konflik besar? Itulah premis yang ditawarkan Film Midnight in Bali besutan Sutradara Razka Robby Ertanto. Dari balik film-filmnya: ‘Ave Maryam’ dan ‘Jakarta vs Everybody’, kali ini Razka mengajak kita menyelami kisah Bulan, sosok transgender yang harus menghadapi stigma dan bahaya setelah identitas lamanya terungkap.

Film ini membawa isu LGBTQ+ ke tengah panggung. Ya, ini langkah yang jarang terlihat di industri perfilman Indonesia. Bakal semenarik apa ya?

Dibintangi Aktor Bio One sebagai Bulan, Film Midnight in Bali juga didukung deretan aktor ternama: Luna Maya, Tatjana Saphira, Donny Damara, Carissa Perusset, hingga Ben Nugroho. Mantap deh! Nggak cuma itu, produksi film ini pun ditangani tim di balik Film Ave Maryam dan Jakarta vs Everybody. Makin mantap deh!

Representasi LGBTQ+ dalam Perfilman Indonesia 

Tema LGBTQ+ bukan hal baru di layar lebar, tapi di Indonesia, pembahasannya masih sering terbungkus stigma dan kontroversi. Intinya tabu banget buat dibahas. Film seperti ‘Arisan’ dan ‘Lovely Man’ memang pernah mencuri perhatian, tapi jumlah film tema beginian jumlahnya masih terlalu sedikit untuk bisa dianggap ‘lagi nge-trend’. Kini, ‘Midnight in Bali’ hadir untuk mengisi kekosongan itu.

Razka Robby Ertanto tampaknya memahami, bahwa, representasi LGBTQ+ dalam film bukan sekadar menampilkan karakter, melainkan menggambarkan perjalanan emosional dan sosial mereka dengan jujur. Dalam hal ini, Bulan bukan hanya sosok transgender; dia adalah seseorang yang juga memiliki impian, trauma, dan konflik begitu nyata.

Nah, Bio One, yang sebelumnya dikenal lewat berbagai peran menantang, dengan kali ini memerankan Bulan. Langkah dan pilihan perannya jelas, memperlihatkan keberanian Bio untuk keluar dari zona nyaman. Yang mana dalam film ini, berusaha menggambarkan perjuangan sosok transgender dengan lebih intens. 

Menyoroti Penerimaan Sosial

Dalam konteks budaya Indonesia yang konservatif, film ini berani menyoroti dua sisi: Perjuangan personal Bulan untuk diterima apa adanya, dan benturan dengan masyarakat yang masih memandang identitas transgender dengan curiga. Narasi semacam ini terasa relevan, apalagi di tengah masyarakat yang semakin melek isu sosial tapi masih terjebak dalam belenggu konservatif. 

Dengan latar di Bali, pulau yang dikenal terbuka terhadap wisatawan, tapi tetap kental tradisi lokal, Film Midnight in Bali jelas sedang mencoba menjembatani dua dunia. Konflik Bulan dengan orang-orang kampungnya nggak hanya jadi pusat cerita, tapi juga gambaran bagaimana budaya lokal seringnya berbenturan dengan identitas individu.

Langkah Kecil dengan Dampak Besar

Keberanian film ini mengangkat tema LGBTQ+ patut diapresiasi. Nggak hanya berpotensi membuka diskusi yang lebih luas, tapi juga ngasih ruang buat cerita-cerita yang sering terpinggirkan di layar lebar.

Melalui Film Midnight in Bali, Razka Robby Ertanto dan para pemainnya memperlihatkan pesan ke kita: Cerita yang manusiawi, seberapa pun sensitifnya, layak untuk diangkat ke layar dan disaksikan banyak orang. 

Film Midnight In Bali akan tayang perdana di International Film Festival Rotterdam 2025, setelahnya, mungkin akan tayang di bioskop kesayanganmu  (semoga). Kita tunggu kabar selanjutnya yak!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak