Review Film 24 Hours to Live: Tantangan perjalanan Hidup Selama 24 Jam

Ayu Nabila | aisyah khurin
Review Film 24 Hours to Live: Tantangan perjalanan Hidup Selama 24 Jam
Film 24 Hours to Live (imdb.com)

"24 Hours to Live" adalah film aksi-thriller yang dirilis pada tahun 2017, disutradarai oleh Brian Smrz dan dibintangi oleh Ethan Hawke sebagai Travis Conrad, seorang mantan pembunuh bayaran yang diberi kesempatan untuk hidup kembali selama 24 jam.

Lewat premis yang menarik dan alur penuh aksi, film ini menawarkan pengalaman menegangkan, meskipun memiliki beberapa kelemahan dalam pengembangan cerita dan karakter.

Cerita dimulai dengan Travis Conrad, seorang pria yang telah kehilangan keluarganya dan tenggelam dalam pekerjaan sebagai pembunuh bayaran untuk organisasi rahasia bernama Red Mountain.

Namun, hidupnya berubah drastis ketika dia dibangkitkan kembali dengan teknologi medis eksperimental untuk menyelesaikan misi terakhir. Konsep “hidup kembali selama 24 jam” memberikan elemen fiksi ilmiah yang menyegarkan di genre aksi.

Film ini menampilkan adegan aksi yang solid, termasuk baku tembak intens, pertarungan tangan kosong, dan pengejaran yang memacu adrenalin.

Koreografi aksi disusun dengan baik dan berhasil menjaga ketegangan sepanjang film, meskipun beberapa adegan terasa terlalu klise bagi penggemar genre ini.

Ethan Hawke membawa karisma dan intensitas pada karakter Travis Conrad. Ia berhasil menggambarkan dilema emosional seorang pria yang berjuang untuk menebus dosa-dosanya sebelum waktu habis.

Meskipun karakternya terkadang terasa dangkal karena naskah yang terbatas, penampilan Hawke tetap menjadi sorotan utama.

Salah satu aspek menarik dari 24 Hours to Live adalah eksplorasi tema penebusan dosa. Travis, yang awalnya digambarkan sebagai pembunuh tanpa hati, perlahan berubah menjadi seseorang yang ingin memperbaiki kesalahan masa lalunya.

Proses transformasi ini memberikan dimensi emosional pada cerita, meskipun tidak digali dengan mendalam.

Sebagai antagonis utama, organisasi Red Mountain kurang mampu meninggalkan kesan mendalam. Motif mereka sebagai kelompok korporasi yang kejam terasa generik dan kurang memberikan tantangan emosional bagi protagonis. Hal ini membuat konflik utama film terasa agak datar.

Meskipun film ini mencoba membangun hubungan emosional antara Travis dan karakter lain, seperti Lin (Xu Qing), hubungan ini terasa dangkal dan kurang meyakinkan. Akibatnya, momen-momen emosional yang seharusnya berdampak besar terasa hambar.

Sinematografi dalam 24 Hours to Live cukup baik, terutama dalam adegan aksi. Penggunaan warna gelap dan pencahayaan rendah menambah nuansa tegang. Musik latar juga berhasil mendukung suasana, meskipun tidak terlalu menonjol atau ikonis.

Secara keseluruhan, "24 Hours to Live" adalah film yang menghibur dengan aksi mendebarkan dan konsep unik, tetapi gagal memanfaatkan potensinya sepenuhnya.

Kekurangan dalam pengembangan karakter, pacing, dan cerita membuatnya sulit bersaing dengan film aksi-thriller lainnya. 

Film ini cocok untuk penonton yang mencari hiburan ringan dengan aksi tanpa henti, tetapi tidak banyak menawarkan hal baru bagi mereka yang menginginkan cerita mendalam dan kompleksitas emosional.

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak