Bandung, kota yang terkenal dengan berbagai pusat perbelanjaan fashion dan kuliner, telah lama menjadi tujuan favorit wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Dengan iklim pegunungan yang sejuk dan lembab, Bandung menawarkan banyak daya tarik selain factory outlet dan kuliner khas yang membuat kota ini dikenal sebagai Bumi Parahyangan. Keindahan alamnya juga menjadi daya tarik utama, dengan berbagai objek wisata alam yang tersebar di seluruh kota, serta ikon terkenal seperti Gedung Sate, Jalan Asia-Afrika maupun kawasan Braga.
Selain itu, Bandung juga dikenal sebagai kota yang melahirkan banyak anak muda kreatif sejak zaman dulu. Berbagai karya seni dari seniman Bandung telah menjadi legenda hingga kini. Sosok seperti Deddy Sutansyah, yang lebih dikenal dengan nama Deddy Stanzah, tentu tidak asing lagi. Selain Deddy Stanzah, kota yang dijuluki Kota Kembang ini juga melahirkan band legendaris seperti The Rollies dan Bimbo. Tak hanya itu, Bandung juga menjadi tempat kelahiran musisi fenomenal, seperti seniman kontemporer Harry Roesli.
Hingga kini, Bandung tidak pernah kekurangan band atau musisi lokal. Meskipun demikian, banyak dari mereka masih dalam proses merintis karier, mengingat perjalanan para pendahulu mereka juga memerlukan waktu dan usaha yang tidak instan. Sebut saja band-band seperti The Panturas, Juicy Luicy, White Chorus, dan masih banyak lagi.
Tidak dapat dipungkiri, banyak band asal Bandung yang juga telah meraih pengakuan di kancah internasional. Contohnya, band Mocca dan The Sigit. Lagu-lagu mereka, yang sebagian besar menggunakan bahasa Inggris, telah membuka jalan bagi mereka untuk menembus industri musik global.
Dalam peta industri musik Indonesia, Bandung bisa dianggap sebagai salah satu barometer perkembangan yang signifikan. Kota ini telah melahirkan banyak pegiat musik, serta menghasilkan berbagai karya populer yang menjadi tolok ukur produktivitas para musisi. Selain dikenal sebagai tempat lahirnya musisi hebat, Bandung juga merupakan 'produsen' seniman tanah air yang berkecimpung di berbagai bidang, seperti musik, seni peran, film dan berbagai aktivitas kesenian lainnya. Bandung telah lama menghasilkan seniman yang tidak hanya terkenal, tetapi juga berkualitas dan berbakat.
Kepudaran Iklim Berkarya di Bandung
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hamid Shirvani, Yessica Geovani Basoeki, dan Nova Chandra Aditya dari Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Unikom, pada tahun 2015 UNESCO mengumumkan bahwa Kota Bandung masuk dalam kategori kota kreatif, salah satu dari 47 kota di seluruh dunia. Karya-karya musisi Bandung juga berperan dalam mengukuhkan Bandung sebagai Kota Musik ketiga di dunia, setelah New York dan Seattle. Hal ini dikarenakan banyaknya ragam dan warna musik yang diciptakan oleh musisi Bandung. Bahkan, beberapa musisi dari luar negeri mengakui bahwa mereka juga terpengaruh oleh band-band yang berasal dari Bandung, Indonesia.
Sayangnya, posisi Bandung sebagai pusat kesenian dan budaya kini dianggap mulai memudar. Banyak pihak menilai bahwa pemangku kebijakan tidak konsisten dalam pengelolaannya. Bandung dianggap terlalu larut dalam euforia, padahal kota ini memiliki beragam potensi yang seharusnya dikelola secara lebih menyeluruh. Para seniman sudah lama mengeluhkan terbatasnya ruang-ruang pertunjukan musik di Bandung.
Bahkan jika ada, mereka harus melewati birokrasi yang dianggap "tidak nyeni" atau terlalu rumit. Kondisi ini bertentangan dengan klaim Pemkot Bandung yang menyebut kota ini sebagai kota kreatif atau bahkan barometer musik. Di masa lalu, terbatasnya ruang untuk bermusik di Bandung secara tidak langsung memicu ketegangan, yang pada akhirnya berujung pada tragedi AACC, yang terjadi akibat minimnya panggung konser musik di kota pada saat itu.
Selain karena faktor minimnya ketersediaan sarana pendukung, sebagian generasi muda Bandung saat ini cenderung lebih tertarik pada tren musik global yang mudah diakses melalui platform digital, ketimbang mengikuti scene musik lokal. Hal ini menyebabkan pergeseran dalam konsumsi musik, di mana musik internasional lebih dominan dan produk musik lokal semakin kurang mendapatkan perhatian. Dampaknya, dukungan terhadap musisi lokal semakin berkurang, dan jumlah penonton di event-event musik yang dulu menjadi agenda wajib pecinta musik Bandung pun menurun.
Di sisi lain, dukungan terhadap industri musik lokal seharusnya tidak hanya datang dari komunitas, tetapi juga harus didorong oleh pemerintah dan sektor swasta. Sayangnya, inisiatif untuk memelihara dan mengembangkan musik lokal di Bandung belum terlihat signifikan. Pemerintah kota terkesan lambat dalam mengakui dan merespons kebutuhan para musisi dan pelaku industri musik, sementara sponsor dari sektor swasta sering kali lebih tertarik mendanai event yang lebih menguntungkan secara komersial.
Bahkan, media lokal yang dulu aktif mendukung keberlangsungan musik independen di Bandung juga mengalami penurunan. Radio-radio yang dulu sering memutar karya-karya musisi Bandung kini lebih banyak menayangkan lagu-lagu populer dari musisi mainstream atau internasional. Kondisi ini semakin menyulitkan musisi lokal untuk mendapatkan eksposur yang layak.
Akibat dari sejumlah faktor tersebut, terjadi penurunan baik dalam kualitas maupun kuantitas produksi musik di Bandung. Musisi yang berusaha mempertahankan eksistensinya kini harus berjuang lebih keras untuk menarik perhatian. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh para pelaku langsung dalam industri musik, tetapi juga pada ekonomi lokal. Penutupan venue-venue musik berarti kehilangan lapangan kerja dan berkurangnya pemasukan bagi pemerintah daerah dari sektor pariwisata dan hiburan.
Jika Bandung ingin mendeklarasikan diri sebagai Kota Musik, maka musik harus menjadi sebuah ekosistem yang terintegrasi. Dari beberapa aspek, Bandung sudah sangat inklusif untuk disebut sebagai Kota Musik, namun ada satu hal yang masih belum maksimal. Meskipun banyak kegiatan musik yang digelar setiap pekannya, musisi daerah justru memilih untuk 'hijrah' ke Jakarta untuk meraih kesuksesan, alih-alih bertahan dan berkembang di Bandung yang digadang-gadang sebagai Kota Musik.
Merekam Era “Keemasan” Skena Musik Bandung
Gayung bersambut, setelah melewati dua dekade terakhir, kreativitas muda-mudi Bandung tetap tidak luntur, khususnya dalam dunia musik. Medio 90-an menjadi titik awal bagi kebangkitan independensi kreativitas generasi muda kota Kembang dalam mengekspresikan diri dan eksistensinya melalui musik. Festival-festival dan berbagai event independen pada era 90-an turut mewarnai kancah musik dengan berbagai aliran, yang diprakarsai oleh generasi baru, sekaligus membentuk ekosistem musik yang segar di Bandung.
Masa "keemasan" musik di Bandung dapat dikatakan terjadi antara tahun 1967 hingga 2007. Pada periode tersebut, Bandung sangat aktif dalam memproduksi beragam jenis musik, dan menjadi barometer perkembangan musik di Indonesia, di luar Jakarta yang memang sudah menjadi pusat industri musik. Hal ini terbukti dengan pesatnya perkembangan infrastruktur penunjang yang muncul antara tahun 70-an hingga akhir 90-an.
Infrastruktur tersebut mencakup toko-toko musik, panggung konser, studio rekaman, perusahaan-perusahaan yang mengelola dan mempromosikan musik, serta stasiun radio yang menayangkan karya-karya musisi, baik dari Bandung maupun kota lainnya. Berkembangnya infrastruktur ini menjadikan musik di Bandung sebagai prototipe musik populer di Indonesia.
Sejarah panjang Bandung sebagai kota musisi tercermin dalam buku "Ujungberung Rebel". Buku ini mengisahkan tentang Bandung dalam kancah musik metal di Indonesia dan pengaruhnya terhadap generasi muda. Keberadaan buku ini menunjukkan bahwa Bandung memiliki karya-karya dan musisi yang jumlahnya cukup signifikan untuk dibahas. Diharapkan, dengan adanya buku ini, musik akan terus menjadi salah satu sektor ekonomi kreatif di Bandung, bukan hanya musik metal, tetapi seluruh genre musik yang mencerminkan kepribadian Bandung sebagai kota musisi.
Gelanggang Olahraga (GOR) Saparua, yang terletak di sebelah Taman Maluku, menjadi simbol kebersamaan antar aliran musik underground di Bandung. Hampir setiap minggu, berbagai grup musik seperti Jasad, Burgerkill, Puppen, Full Of Hate, Runtah, Blind To See, Balcony, Jeruji, Koil, Turtle Jr., dan The Jonis tampil di arena yang dapat menampung 4.000 penonton ini. Setidaknya ada empat acara besar yang paling sukses digelar di sana, yaitu Hollabalo (1994), Bandung Berisik (1995), Bandung Underground (1996), dan Gorong-Gorong (1997).
Meskipun ada perbedaan aliran musik, hubungan antara para penggemar lintas genre ini cukup harmonis. Dalam sebuah konser yang menyajikan musik Punk, Hardcore, dan Metal, misalnya, mereka dengan tertib bertukar posisi dan memberikan ruang bagi kelompok penggemar lain ketika grup musik dengan aliran tertentu tampil di panggung. Selain itu, para penggemar musik underground ini juga sering bertukar informasi mengenai grup musik lokal dan internasional. Belakangan, mereka juga menggagas pembentukan label rekaman (NAPI Record), majalah (Ripple), dan distro (Harder dan Riotic) sebagai bentuk kontribusi mereka terhadap perkembangan musik.
Penutup dan Perenungan
Pertanyaan mengenai bagaimana mengembalikan kejayaan musik di Bandung masih terbuka. Untuk mencapainya, dibutuhkan sinergi yang kuat antara komunitas musik, pemerintah, dan sektor swasta. Pemerintah dapat memulai dengan merumuskan kebijakan yang lebih mendukung keberlanjutan venue-venue musik serta festival yang ada.
Sementara itu, komunitas musik perlu beradaptasi dan mungkin melakukan inovasi dalam cara mereka menyampaikan musik kepada publik. Ini bisa mencakup lebih banyak kolaborasi antar genre musik, serta memanfaatkan platform digital untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Kehilangan identitas musikal di Bandung harus menjadi peringatan bahwa kebudayaan, termasuk musik, dapat tergerus jika tidak ada upaya yang sadar dan terencana untuk melestarikannya. Namun, dengan langkah-langkah yang tepat, Bandung memiliki potensi besar untuk membangun kembali scene musiknya dan kembali menjadi pusat kebudayaan musik yang berpengaruh di Indonesia.
Proses ini membutuhkan kerja keras, dedikasi, dan terutama cinta terhadap musik, yang selama ini telah menjadi jantung dari kota kreatif ini. Jika setiap elemen bergerak bersama dengan visi yang jelas, Bandung bisa kembali mencetak sejarah dalam dunia musik, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.