Film “Sore: Istri dari Masa Depan” berhasil mencuri perhatian publik dengan meraih lebih dari 2 juta penonton hanya dalam 16 hari penayangan.
Capaian ini menjadi bukti bahwa film yang disutradarai oleh Yandy Laurens ini bukan hanya sekadar drama romansa biasa. Tapi juga karya sinematik yang mengusung visual memanjakan mata, cerita menyentuh, dan pendekatan artistik yang matang.
Kisah Romansa Lintas Waktu
Film ini berkisah tentang Jonathan (diperankan oleh Dion Wiyoko), seorang fotografer yang hidupnya berubah total setelah bertemu dengan Sore (diperankan oleh Sheila Dara Aisha), seorang perempuan yang mengaku datang dari masa depan dan mengaku sebagai istrinya.
Dari sinilah cerita bergulir—menggabungkan unsur romansa, fiksi ilmiah, dan spiritualitas waktu, dengan konflik emosional yang mengakar dalam.
Kehadiran Sore dalam hidup Jonathan perlahan membongkar kisah-kisah kelam, pilihan-pilihan yang tak sempat diambil, dan masa depan yang bisa saja berubah jika ia berani mencintai dan memaafkan.
Visual yang Menggetarkan, Emosi yang Menghanyutkan
Salah satu daya tarik paling kuat dalam film ini adalah penggarapan visualnya. Tidak hanya sekadar mendukung cerita, tapi justru menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman emosional penonton.
Pengambilan gambar yang sinematik, terutama adegan-adegan sore hari yang hangat namun melankolis, berhasil menciptakan suasana yang intim dan puitis.
Pemilihan Jonathan sebagai fotografer bukan sekadar elemen karakter, tetapi menjadi jantung visual film ini. Beberapa foto yang muncul dalam film adalah hasil karya asli dari Dion Wiyoko sendiri, menambah kesan personal dan otentik. Tak heran jika banyak penonton merasa seolah-olah sedang menonton puisi visual yang hidup.
Dari Film ke Buku: “Kemarin, Hari Ini, dan Selamanya”
Kekuatan visual dari film ini bahkan sampai diabadikan dalam bentuk buku berjudul “Kemarin, Hari Ini, dan Selamanya”. Buku ini merupakan kumpulan foto karya @jozz_felix yang mendokumentasikan momen-momen selama proses syuting, termasuk potret ikonik Jonathan dan Sore.
Narasi dalam buku ini ditulis oleh sang sutradara @yndlaurens dan penulis naskah @hey_mit, menjadikan buku ini bukan hanya sekadar coffee table book, tetapi juga perpanjangan emosional dari filmnya.
Buku ini disambut hangat oleh penggemar, karena mampu membawa nuansa film ke dalam bentuk dokumentasi yang bisa disentuh dan dibaca ulang. Sebuah bentuk penghormatan pada cerita, pada proses kreatif, dan pada sinema sebagai karya seni.
Syuting di Arctic: Tantangan Dingin, Hasil Menghangatkan
Salah satu kejutan terbesar dari film ini adalah adegan yang mengambil latar di kawasan es abadi, yang membuat penonton terpukau. Pemandangan Arctic yang indah bukan hanya menjadi latar belakang estetis, tetapi juga metafora dari keteguhan cinta dan kekuatan kenangan.
Di balik keindahan itu, ternyata kru dan pemeran harus menghadapi suhu ekstrem dan medan yang menantang. Namun semua tantangan itu dibayar lunas oleh hasil akhir yang memukau dan membekas.
Refleksi tentang Waktu dan Pilihan
Lebih dari sekadar kisah cinta, “Sore: Istri dari Masa Depan” mengajak penonton untuk merenungkan tentang waktu, takdir, dan pilihan-pilihan hidup. Apa jadinya jika kita bisa melihat masa depan? Apakah kita akan mengubah masa lalu? Atau justru akan lebih menghargai waktu yang ada hari ini?
Film ini menunjukkan bahwa cinta tidak hanya soal pertemuan dan perpisahan, tetapi juga tentang keikhlasan, penerimaan, dan keberanian untuk melangkah meski tahu akhir dari cerita.
Perpaduan Rasa, Cerita, dan Gambar
Dengan penyutradaraan yang halus, skenario yang menyentuh, dan gambar-gambar yang layaknya lukisan bergerak, “Sore: Istri dari Masa Depan” adalah salah satu film Indonesia yang layak dikenang.
Ia bukan hanya menyentuh hati, tapi juga mengajak berpikir, merasakan, dan mengapresiasi bahwa dalam kehidupan, yang abadi bukan hanya cinta, tetapi juga kenangan yang kita dokumentasikan—baik dalam lensa maupun dalam ingatan.