5 Fakta Tentang LPDP: Kenapa Ada Jalur Kurang Mampu dan Jalur Umum?

Lintang Siltya Utami | Oktavia Ningrum
5 Fakta Tentang LPDP: Kenapa Ada Jalur Kurang Mampu dan Jalur Umum?
Ilustrasi LPDP. [Dok. Kemenkeu]

Setiap tahun, LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) selalu memicu perdebatan. Pertanyaan klasiknya sama. Kenapa ada jalur kurang mampu dan jalur umum? Bukankah LPDP harusnya hanya untuk yang tidak mampu? Pertanyaan ini wajar, tapi sering muncul karena banyak orang belum memahami darimana uang LPDP berasal, siapa yang membiayai negara, dan tujuan besar pendidikan nasional.

Jawabannya sebenarnya sederhana: karena LPDP berasal dari pajak, dan pajak dibayar oleh semua kalangan. Termasuk orang kaya. Karena itu, di sinilah letak esensi kebijakan publik yang sering orang lupa.

LPDP bukan program amal. Ini adalah investasi negara untuk masa depan Indonesia dan dana investasi itu bersumber dari uang pajak seluruh rakyat, tanpa kecuali: orang miskin, kelas menengah, sampai para konglomerat.

1. Pajak Orang Kaya Jauh Lebih Besar dari yang Dibayangkan

Banyak yang menyangka bahwa orang kaya hidup “gratis fasilitas negara”. Padahal, justru merekalah penyumbang pajak terbesar. Semakin besar penghasilan, semakin besar pula pajak yang masuk ke kas negara. Berhenti mengira pajak itu cuma ratusan ribu atau beberapa juta rupiah per tahun. Padahal untuk kelompok berpenghasilan tinggi, pajak mereka bisa menyentuh:

  • ratusan juta per tahun,
  • bahkan miliaran rupiah,
  • belum termasuk pajak perusahaan, dividen, dan aset lainnya.

Artinya apa? Kontribusi mereka pada negara juga besar. Bukan ratusan ribu. Bukan jutaan. Sering kali miliar rupiah per tahun dari satu individu. Kumpulan pajak miliaran ini masuk ke APBN. Uang itu ikut membiayai jalan, sekolah, BPJS, subsidi, hingga salah satu pos pentingnya adalah dana abadi pendidikan, yang kemudian dikelola LPDP.

Jadi ketika negara membuka jalur umum LPDP, itu bukan bentuk “privilege untuk orang kaya”,  atau bentuk dari "ketidakadilan". Tapi konsekuensi logis dari sistem pajak modern: siapa pun yang ikut membayar negara, berhak mengakses fasilitas negara.

2. Anak Orang Kaya Pasti Enak? Nggak Selalu Begitu

Ini juga miskonsepsi klasik. Banyak yang mengira kalau orang tuanya kaya, otomatis kuliah ke luar negeri tinggal minta. Bahwa anak orang kaya pasti otomatis disokong penuh oleh orang tuanya. Padahal tidak demikian.

Banyak keluarga dengan penghasilan besar justru menerapkan pola asuh disiplin finansial sejak dini:

  • Ada yang mewajibkan: “Kalau mau kuliah S2, cari beasiswa sendiri.”
  • Ada pula yang punya prioritas lain dan tidak mau membiayai semua keinginan anak.
  • Orang tua hanya menanggung kebutuhan dasar. 
  • Prinsip membangun dari nol agar anak cepat mandiri secara finansial. 

Banyak penerima LPDP dari keluarga berada yang sejak kecil dibiasakan tidak mengandalkan uang orang tua. Mereka belajar keras, membangun portofolio, dan bersaing ketat, karena LPDP bukan beasiswa kasihan. Ini beasiswa kompetisi. Dan itu tidak salah selama mereka memenuhi kriteria seleksi yang ketat.

3. Sistem Dua Jalur Membuat LPDP Lebih Adil

LPDP didesain dengan dua jalur bukan untuk membeda-bedakan, tapi justru:

a. Menjamin inklusivitas

Jalur afirmasi atau kurang mampu membuka akses bagi mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu membiayai pendidikan tinggi.

b. Menjamin kesetaraan kontribusi

Jalur umum memberikan kesempatan kepada semua pembayar pajak—termasuk yang sudah menyumbang nominal besar setiap tahun.

c. Menjaga kualitas penerima

Karena jalur umum sangat kompetitif, negara mendapatkan SDM terbaik dari seluruh spektrum masyarakat.

Sederhananya LPDP bukan sekadar bantuan sosial. LPDP adalah investasi negara untuk mencetak SDM unggul.

4. Fakta Lapangan: LPDP Justru Memperluas Akses Pendidikan

Data LPDP menunjukkan:

  • Lebih dari 35 persen penerima LPDP berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.
  • Jalur afirmasi (daerah 3T, alumni bidikmisi, penyandang disabilitas) terus meningkat setiap tahun.
  • Setiap rupiah beasiswa sebenarnya kembali lagi ke negara dalam bentuk kontribusi akademik, riset, inovasi, dan karier profesional.

Jadi, anggapan “LPDP cuma buat yang kaya” itu mitos. Yang benar: LPDP membuka dua pintu agar semua kontribuen pajak mendapat akses, sekaligus memastikan kelompok rentan tetap diprioritaskan.

5. LPDP Bukan Soal Kaya-Miskin, Tapi Soal Kualitas dan Dampak

Lalu, jika memang kualitas dan dampak lebih penting, kenapa ada beasiswa untuk kurang mampu? Karena negara punya tanggung jawab moral memastikan akses pendidikan tinggi tidak hanya dinikmati kelompok berada. Ada banyak anak daerah, anak buruh, anak nelayan, anak yatim yang sebenarnya punya potensi luar biasa, tapi terhalang biaya.

Maka negara membuka:

  • Afirmasi penyandang disabilitas
  • Afirmasi daerah tertinggal
  • Afirmasi kurang mampu

Ini bukan tugas LPDP untuk “membatasi orang kaya”, tapi mengangkat mereka yang berpotensi namun terkendala ekonomi. Ketika seorang dokter, insinyur, ekonom, atau ilmuwan pulang membawa ilmu dari luar negeri dan menerapkannya di Indonesia, negara mendapatkan hasil entah dia dari keluarga apa pun.

Karena itu, jalur LPDP dibuat seperti sekarang. Adil, bukan berarti sama rata. LPDP bukan tentang siapa miskin atau siapa kaya. LPDP adalah tentang:

  • pajak,
  • kontribusi,
  • keadilan fiskal,
  • dan investasi negara jangka panjang.

LPDP membuka dua jalur bukan untuk memanjakan satu pihak atau mendiskriminasi yang lain, tapi untuk memastikan setiap warga negara yang berkontribusi, baik melalui pajak, potensi, maupun dedikasi. Punya akses adil terhadap kesempatan belajar yang lebih tinggi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak