Ada yang diteriaki, dicaci maki, ada yang dilempari batu. Hancur sekali perasaan ini melihat perlakuan sekelompok makhluk yang mengatasnamakan diri manusia itu menolak pemakaman pasien COVID-19. Termasuk kemarin, ada kabar jenazah perawat yang tertular COVID-19 ditolak di tanah kelahirannya. Bahkan ada makam yang digali kembali untuk dipindahkan tempatnya. Kejadian ini menjadi berita buruk bagi kehidupan dan kemanusiaan.
Saudaraku, virus ini telah membuat kita kehilangan banyak hal. Kita kehilangan kerabat, kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, kehilangan waktu khusus untuk berjamaah ke masjid, kehilangan waktu khusus utk beribadah. Jangan sampai kita juga kehilangan rasa kemanusiaan. Kalau itu terjadi, ini tragedi yang jauh lebih buruk daripada virus itu sendiri.
Memberikan tempat untuk peristirahatan terakhir bagi saudara-saudara kita yang meninggal merupakan salah satu bentuk kepedulian kita terhadap mereka. Kita memang patut waspada terhadap penyebaran virus Corona, tetapi menolak untuk membumikan jenazah yang diduga akibat dari virus tersebut bukanlah tindakan yang tepat.
Selain tidak berhubungan dengan penyebaran virus, ini juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang kita miliki. Bayangkan apabila jenazah Anda atau keluarga Anda yang diperlakukan demikian, apakah Anda rela?
Kekhawatiran dan juga kewaspadaan tetap penting, tetapi harus dibingkai dengan ilmu pengetahuan dan juga pemahaman yang utuh.
Saudaraku jangan sampai akibat kekhawatiran kita minus pengetahuan yang memadai, kemudian kita berdosa, karena tidak menunaikan kewajiban atas hak jenazah dengan melakukan penolakan pemakaman.
Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik FK UNPAD, Yoni Fuadah Syukriani menyatakan bahwa jenazah pasien Corona dipastikan aman dan tidak akan mencemari tanah dan air.
Sampai hari ini Sabtu, 11 April 2020 pagi jumlah korban corona 103.233 orang meninggal dunia, dan 1.705.845 orang terinfeksi. Jumlah kematian yang jauh lebih besar bila dibanding cacatan sejarah korban Tha’un pada masa khalifah Umar bin Khattab RA. Muhammad Ahmad Muhammad Assayyid mencatat, 70.000 orang meninggal dunia di desa Amwas, 20 kilometer dari kawasan Baitul Maqdis (Assayyid, Hadza Huwa an-Nabi shal’am, hlm. 73).
Kita semua pasti ingat kisah Qobil yang kebingungan atas jasad Habil krn telah membunuhnya, kemudian Allah memberikan pelajaran dengan seekor gagak.
"Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak mengali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qobil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qobil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat mengguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” (QS. Al-Maidah: 31).
“Dari bumi (tanah) Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain”. (QS. Thaha: 55)
Allah juga berfirman mengenai kewajiban menguburkan jenazah dalam QS. Al- Mursalat ayat 25-26: "Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati." (Al-Mursalat: 25-26).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa kata kifatan artinya penyimpanan, bertempat di permukaan bumi orang-orang yang hidup ,dan di kuburkan di dalam bumi orang-orang yang mati. Mujahid mengatakan bahwa mayat dikebumikan hingga tidak terlihat.
Asy-Sya’bi mengatakan bahwa bagian dalam bumi untuk orang-orang mati kalian, sedangkan bagian luarnya untuk orang-orang hidup kalian. Oleh karena itu, siapakah kita berani mencegah bumi Allah SWT untuk digunakan sebagai tempat memakamkan hambanya yang telah meninggal?
Beragama tanpa kemanusiaan jauh lebih ironis dibanding kematian karena virus. Sebab, ketidakpedulian pada dimensi kemanusiaan akan dilegitimasi dengan dalil-dalil agama. Sementara agama mengajarkan kebaikan universal, cinta kasih, penghormatan, dan persaudaraan.
Tentu semuanya adalah atas kehendak Allah semata, Tuhan alam semesta. “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun”. Sesungguhnya semua milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya semua akan kembali.
Oleh : R. Wahyu Kartiko Tomo / Dokter RSA UGM