Transformasi Ekonomi Konvensional menuju Ekonomi Syariah

Tri Apriyani | Faruk Ahmad
Transformasi Ekonomi Konvensional menuju Ekonomi Syariah
Ilustrasi Uang. (pixabay.com/EmAji)

Dulu hingga kini, praktik transaksi konvensional yang telah diterapkan pada bank-bank konvensional. Namun saat ini juga ekonomi syariah sedang membumi, artinya banyak negara yang mulai melirik ekonomi syariah karena sebagai jalur alternatif menghindari pengaruh konvensional yang terjadi dalam sistem perekonomian saat ini.

Mayoritas masyarakat umum mengira bahwa ekonomi Islam adalah sesuatu yang baru muncul beberapa dekade yang lalu sebagai solusi ekonomi dari ekonomi sosialis yang tidak popular dan ekonomi kapitalis yang tidak menerapkan prinsip keadilan.

Padahal ekonomi Islam sudah mulai berkembang berabad-abad sebelum aliran ekonomi klasik, dan sudah banyak praktiknya berdasarkan asas transaksi syariah. Dengan demikian, ekonomi Islam datang sebagai solusi untuk menyelesaikan krisis ekonomi dunia berkepanjangan yang terjadi hingga era kini.

Berbeda dengan transaksi konvensional yang aturannya sudah diatur berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia yakni berupa hukum pidana dan perdata. Transaksi ekonomi Islam merupakan suatu ilmu dan praktek kegiatan ekonomi berdasarkan pada prinsip-prinsip ajaran Islam yakni ajaran yang sesuai dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Hadits dengan esensi tujuan ekonomi Islam yaitu mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat, tentulah dengan dasar hukum Alquran dan Hadits menjadikan segala transaksi ekonomi berbasis Islam ini terbebas dari pengaruh sistem Value of Money atau riba dan menjadikan transaksi ini halal untuk dilakukan.

Sistem transaksi ekonomi Islam merupakan perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam bukan untuk menyaingi sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis yang telah ada, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada.

Islam sebagai Rahmatan lil-‘alamin diturunkan ke muka bumi dengan tujuan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia guna mewujudkan ketentraman hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat, salah satu aspek kehidupannya ialah aspek ekonomi sebagai nilai ekonomi tertinggi.

Aturan untuk umat di sini tidak semata-mata hanya untuk umat Muslim saja, tetapi berlaku untuk seluruh umat yang ada di muka bumi. Dengan prinsip ekonomi Islam yang berorientasi pada ketentraman hidup dunia akhirat, sehingga harus ada keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia dengan kebutuhan untuk akhirat.

Di Bumi Pertiwi Indonesia, sistem ekonomi Islam telah mengalami kemajuan yang pesat. Pemerintah telah membentuk Undang-Undang yang mendukung tentang sistem ekonomi Islam mulai dibuat, seperti UU No. 7 tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana yang telah di ubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (BI) yang dalam Pasal 10, menyatakan bahwa BI dapat menerapkan kebijakan keuangan berdasarkan prinsip-prinsip Syariah.

Seiring berjalannya zaman khususnya perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat dengan ekonomi perbankan secara Islami, ekonomi Islam secara terus menerus mendapat tantangan yang sangat besar pula. Setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi ekonomi Islam, yaitu: pertama, ujian atas kredibel sistem ekonomi dan keuangannya.

Kedua, bagaimana sistem ekonomi Islam dapat meningkatkan dan menjamin atas kelangsungan hidup dan kesejahteraan seluruh umat serta dapat memajukan nilai ekonomi dalam negeri yang masih banyak yang perlu diperbaiki dan masih bernilai rendah dibandingkan dengan negara lain. Dan yang ketiga, membahas tentang aturan, hukum dan kebijakan baik dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Untuk menjawab pertanyaan itu, telah dibentuk sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang tersebut yaitu organisasi IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia)

Diwajibkan bagi orang Muslim untuk mencatat tiap-tiap transaksi yang masih belum selesai atau tuntas (not completed atau non-cash). Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282 “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya.....”.

Kandungan dalam ayat tersebut sudah jelas bahwa tujuan perintah ini untuk menjaga keadilan dan kebenaran, artinya perintah itu ditekankan pada kepentingan pertanggungjawaban (Accountability) agar seluruh pihak yang terlibat dalam praktik transaksi tidak dirugikan dan tidak menyebabkan konflik, seperti itulah prinsip keadilan. Dengan melindungi kepentingan masyarakat demi terciptanya keadilan dan kebenaran itulah merupakan prinsip-prinsip transaki yang dijelaskan dalam Alquran. Oleh karena itu, tekanan dari akuntansi bukanlah pengambilan keputusan (decision making) melainkan asas pertanggungjawaban (accountability).

Akuntabilitas

Prinsip pertanggungjawaban (accountability), merupakan konsep yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan Sang Khalik mulai dari alam kandungan.

Manusia dibebani oleh Allah SWT. Untuk menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau menunaikan amanah.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah dimuka bumi. Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggung jawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait.

Keadilan

Sesuai penjelasan sebelumnya, di dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 282 terkandung makna dari prinsip keadilan yang merupakan nilai penting dalam beretika di kehidupan sosial ekonomi dan bisnis, serta nilai inheren yang melekat dalam fitrah manusia. Artinya bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki naluri untuk berbuat adil dalam setiap aspek kehidupannya.

Pada konteks akuntansi, menegaskan kata adil dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 282, yang perlu dilakukan ketika melakukan transaksi oleh perusahan ialah harus mencatat atau menulis dengan benar. Contohnya, jika nilai transaksi adalah sebesar Rp370 juta, maka seorang pencatat (akuntan perusahaan) harus memasukkan dan mencatat dengan jumlah yang sama dan sesuai dengan nominal transaksi. Secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dengan kata lain tidak ada Window Dressing dalam praktik akuntansi perusahaan.

Validitas

Sama dengan prinsip sebelumnya, prinsip ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh, dalam akuntansi kita selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran laporan. Aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran (validity).

Dengan prinsip kebenaran akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi. Maka, pengembangan akuntansi sesuai prinsip-prinsip Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi.

Secara keseluruhan, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syari’ah dapat diterangkan. Berdasar pada nash-nash Alquran yang telah dijelaskan tentang konsep akuntansi dan prinsip-prinsip akuntansi syari’ah, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri akuntansi syari’ah sebagai berikut:

  1. Pelaporannya dilakukan secara benar dan adil
  2. Segera dalam pelaporannya
  3. Dibuat oleh ahli pada bidangnya (akuntan perusahaan)
  4. Terarah, tegas dan informatif
  5. Memuat informasi yang menyeluruh dan rinci
  6. Informasi ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dan membutuhkan
  7. Terperinci dan teliti
  8. Tidak terjadi manipulasi data (Keadilan)
  9. Dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan

Oleh: Faruq Ahmad (2018-159) Mahasiswa Akuntansi FEB UMM

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak