Siomay Enak di Jogja, Mempertahankan Cita Rasa Di Tengah Pandemi Melanda

Munirah | Hadid
Siomay Enak di Jogja, Mempertahankan Cita Rasa Di Tengah Pandemi Melanda
Ilustrasi Siomay. (Shutterstock)

Saat ini semua sedang diuji, sudah satu tahun lebih pandemi tak kunjung pergi. Kondisi tak lagi sama, manusia dihadapkan dengan pandangan berbeda. Ada banyak hal yang bisa kita ambil pelajaran.

Sebagai manusia yang bisa dilakukan adalah bertahan disegala kondisi ini. Mungkin ada yang bingung untuk mencukupi kebutuhan, tak bergerak juga merupakan kesalahan, oleh karena itu kita harus tetap berusaha untuk bertahan dan melakukan perencanaan baru untuk bisa beradaptasi di masa sulit ini.

Seperti biasa, setiap hari Deny membuka warung siomainya yang ada di Jalan Nologaten, Caturtungga, Sleman. Selama pandemi ini dia membuka warungnya lebih sore, ia membuka warungnya pukul dua sore menjelang orang pulang dari kantor.

Sepanjang jalan tersebut memang banyak tempat jika hanya untuk urusan mengenyangkan perut. Di sana bisa ditemui warung-warung  makan, angkringan, warung Burjo, hingga jajanan-jajanan ringan yang berada di pinggiran jalan. Jalan tersebut memang di bilang strategis, karena letaknya berada di wilayah yang padat penduduk dan juga berbagai macam kegiatan perekonomian ada di sana.

Termasuk Deny yang sudah lama berjualan di jalan yang cukup fenomenal di Jogja tersebut. Sudah bertahun-tahun dia menekuni usahanya dari menggunakan gerobak sederhana hingga mampu menyediakan tempat dan memiliki karyawan sendiri.

Tentu sudah banyak cerita yang dia rasakan, dia tahu fenomena apa saja yang ada disana. Namun, selama hampir dua tahun ini hal yang tidak biasa ia jalani, wabah pandemi Covid-19 menjadi musibah luar biasa dan tentunya berpengaruh besar terhadap sektor usaha sekalipun.

Namun Deny bukan anak kemarin sore yang baru belajar tentang cara berdagang. Dia bukan lagi  pengusaha kemarin sore yang punya ekspektasi tinggi dengan segala inovasinya dan semangat yang ber api-api, namun gagal beradaptasi melewati tentangan, Ditengah kondisi pandemi ini usahanya masih berjalan.

Kekhawatiran akan pemularn virus corona yang menular mungkin menjadi ketakutan karena membuat turun jumlah pelanggannya. Selain itu juga, berbagai pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah mempengaruhi penjualan.

Berbagai macam istilah-istilah aturan pembatasan seperti Lockdown, PSBB hingga PPKM nyatanya mampu diatasi. Pengusaha seperti Deny tidak punya waktu lama untuk berjualan, ia membuka warungnya lebih siang dan harus menutup  lebih awal akibat pembatasan yang dilakukan pemerintah.

Itu juga realita yang terjadi dengan usaha-usaha lain nya yang biasanya ramai akan pembeli yang merupakan kebahagiaan tersendiri, namun yang terjadi di beberapa tempat tersebut seperti restoran, cafe, tempat-tempa makan yang terlihat hanyalah kesunyian.

Sedih juga melihat para karyawan yang kadang tidak melalukan pelayanan apa-apa karena sepinya pembeli. Entah akan ada istilah apalagi yang muncul yang pasti bagi Deny dia telah belajar banyak dari pengalaman lamanya menghadapi situasi yang bahkan tidak disangka-sangka.

Apalagi di bulan Ramadhan kemarin menjadi tantangan tesendiri, merupakan tahun kedua Deny berjualan dengan kondisi pandemi. Harga-harga melonjak naik sudah menjadi tradisi, pada bulan Ramadhan yang lalu harga bahan-bahan pokok cukup tinggi.

Seperti hargai cabai yang sempat berada pada angka tertinginya yaitu seratus ribu rupiah per kilogram. Alasan klasik naiknya harga cabai pada saat bulan Ramadhan adalah karena kebutuhan cabai meningkat tajam sampai hari raya Idulfitri yang tentunya meyuguhkan masakan-masakan yang menggunakan olahan cabai. Tanpa cabai jualan Deny tidak akan laku, tidak mungkin seseorang menikmati siomay tanpa sambal.

Berjualan makanan merupakan pekerjaan yang gampang-gampang susah, yang perlu di perhatikan adalah bagaimana menjaga kualitas atau cita rasa dari makanan. Aneh jika suatu cita rasa makanan gampang berubah-ubah. Lidah konsumen harus bisa terbiasa terhadap rasa yang sama. Tentunya itu yang sudah dipikirkan sejak lama oleh Deny, terbukti warungnya masih ramai pembeli. Pembeli tahu cita rasa siomay yang menggoda selera.

Deny pun juga mengakui bahwa ada penurunan pembeli, terutama pesanan untuk acara-acara besar. Deny biasanya memperoleh pesanan untuk berbagai acara besar seperti pesta ulang tahun dan pernikahan sebelum pandemi. Namun karena tidak banyaknya acara besar sekarang akibat pembatasan, Deny sudah jarang mendapatkan pesanan dengan jumlah besar. “selama pandemi orderan dengan jumlah besar seperti pesanan untuk pernikahan dan ulang tahun dan acara lain sekarang jarang, engga seperti sebelum pandemi, ada tapi engga seberapa” tutur Deny saat ditanya menggenai usaha yang dia jalani.

Meskipun tidak seramai seperti sebelum pandemi, namun pelanggan yang membeli Siomaynya juga masih banyak. Sebelum pandemi banyak sekali permintaan siomay untuk berbagai macam acara, larangan pemerintah dimasa pandemi ini membuat berbagai macam kegiatan di masyarakat ditiadakan sehingga permintaan siomay juga tidak ada lagi. Namun, pelanggan yang masih datang ke warung siomainya membuktikan kesetiaan pelanggan terhadap rasa. Hal tersebutlah yang membuat Deny bersyukur.

Biasanya pelanggan bisa mengambil sambal sendri, Deny menyediakan empat khusus sambal sehingga pelangganya bisa mengambil sendiri. Namun kali ini sambal dipisahkan dan dijadikan satu dengan siomay, sehingga cabai yang digunakan tidak terlalu banyak.

Itu sebenarnya juga cara sederhana yang dilakukan supaya lebih efisien, namun bagi Deny hal tersebut lebih efisien daripada banyak cabai yang terbuang karena tidak habis. Deny tidak ingin cabai yang sudah dibeli mubazir begitu saja.

Sebagai penjual yang sudah lama malang melintang, Deny selalu meliki cara untuk bisa menjaga cita rasa makan nya. Dia tidak perduli harga cabai yang tinggi, baginya cabai adalah suatu kebutuhan yang tak tergantikan.

Tanpa cabai makanya bukan apa-apa, siomaynya tidak punya cita rasa. Orang bisa menikmati siomay yang  enak karena bumbu dan cabai untuk membuat sambal. Apalagi orang Indonesia yang sudah terbiasa dengan pedas, rasanya tidak lengkap jika makanan tidak ada kandungan pedas-pedas.

Deny tidak terlalu mencemaskan harga cabai yang naik, setiap orang pasti juga merasakan betapa susahnya ketika harga-harga serba naik. Sebagai rakyat biasa yang tidak memiliki kewenangan untuk mengatur harga dipasaran mungki salah satu cara terbaik adalah ikut alurnya saja.

Dengan naiknya harga cabai berarti itu menjadi rejeki bagi petani yang menikmati hasil dari mengolah. Toh, menanam cabai juga perlu proses. Petani tidak secara instan dalam semalam langsung bisa panen dan hargai cabai juga pasti bakal turun.

Siomay Kang Deny sepertinya masih akan menjadi salah satu rujukan utama di wilayah Caturtunggal, mengingat jarang sekali ada pedagang yang berjualan siomay yang cita rasanya sudah teruji seperti siomay miliki Deny.

Hal teraebut bisa dilihat pada review Siomay Kang Deny di Google Maps, anda akan membaca banyak pelanghan yang merasa puas dengan rasa dan harga siomay yang pas di kantong. Dia menjawab segala ketakutan yang di khawatirkan setiap pelanggan “yang terpenting kualitas harus lebih enak.

Banyak orang yang sudah merasakan bagaimana lezatnya siomay yang dia buat. Pelanggan bisa memesan dua macam jenis siomay yaitu siomay biasa dan siomay super. Barangkali dia membuat dengan perasaan yang bahagia sehingga hal tersebut bisa mempengaruhi rasa. Sesuatu yang dibuat dengan perasaan yang bahagia merupakan kunci dari kenikmatan rasa.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak