Pagi ini setelah sarapan Umar bersiap menuju lapangan bola, dengan baju biru putih bertulis Omar 21 baju kebanggaannya dan sepatu merah hitam yang baru saja dihadiahkan abangnya sepulang dari rantauan kota.
Belum sempurna kakinya menginjak tanah, Ibunya berteriak sambil membawa sebotol air untuknya. “Nak, jangan pulang telat ya!, kamu harus selalu bersih sebelum pergi ke masjid.” Ibu mengingatkan Umar agar selalu rapi dan wangi ketika hendak menunaikan shalat.
“Iya bu, Umar kan gak pernah pulang telat bu.” Umar menjawab dengan tersenyum sambil meraih botol air dari tangan Ibunya. Ibu Umar adalah seorang wanita salihah, selalu menjaga shalat tahajjud, dhuha, dan shalat fardhu di awal waktu. Ia yakin dengan pendidikan agama seorang anak akan berakhlak mulia. Walaupun tak menyekolah anaknya di pesantren ia berjanji pada dirinya akan selalu mendidik Umar dengan baik.
…………..
Dengan semangat yang mengebu-gebu Umar maju sebagai penyerang, bagai singa yang siap menerkam mangsa, tak sekedip pun bola dibiarkan jatuh di kaki lawan. Tendangannya yang akurat membuat kiper terpontang-panting menangkap bola.
“Yeah, akhirnya kita menang. Bertambah sudah kemahiranmu,” puji saleh kawan akrab Umar.
“Alhamdulillah, gak sia-sia aku latihan sebulan ini, hasil yang memuaskan,” katanya lirih. Selama sebulan lalu Umar terus berlatih bercita-cita menjadi pemain bola muslim layaknya Mohamed Salah, pemain bola muslim asal mesir yang menjadi idolanya. Setiap pertandingan Mohamed Salah tak pernah ia lewatkan, berita-berita baru tentangnya pun selalu diikuti. Pernah suatu ketika ia tertidur diatas sofa depan TV karena mengantuk menunggu siaran langsung pertandingan yang akan diperani pemain idolanya. Ia terkejut dari tidurnya setelah Ibu membangunkan untuk shalat subuh, Umar menghardik dirinya sendiri menyesal melewatkan pertandingan semalam.
………….
Seperti biasanya, seusai menunaikan shalat isya, Umar duduk bersama Kakek Yusuf yaitu Kakeknya Umar yang selalu memotivasinya. Kakek selalu bercerita pengalaman hidupnya di waktu muda. Kakek Yusuf merupakan seorang petualang yang berkenala ke penjuru pulau-pulau Indonesia. Seorang pelaku sejarah yang tak dikenal bahkan tak pernah disebut namanya di buku perjalanan sejarah menghabiskan masa tuanya ingin mendidik cucunya tercinta agar menjadi insan mulia.
“Malam ini Kakek punya cerita menarik yang belum pernah kakek ceritakan ke siapa pun,” kalimat godaan yang selalu ia ulangi ketika hendak bercerita.
Kakek seorang pencerita yang hebat. Ceritanya selalu menarik untuk didengar. Cerita yang membosankan saja bisa diracik menjadi lebih menarik. Entah sejak kapan, Kakeknya pandai bercerita.
“Cerita apa kali ini Kek?” tampak Umar lebih antusias, tidak sabar ingin mendengarnya.
“Sang Pahlawan Kampung,” jawab Kakek terkekeh.
“Dulu ada seorang pemuda bernama Abdullah merantau ke sebuah kota untuk belajar dan mendalami ilmu. Pemuda tersebut lahir dari keluarga miskin dan masyarakat kampungnya pun miskin. Merantau ke kota berniat ingin mengubah nasib kampung, membasmi kebodohan, dan menolong masyarakat. Mayoritas masyarakat kampungnya adalah petani, yang selalu pergi di waktu pagi dan pulang ketika matahari hendak terbenam. Sang pemuda tersebut belajar di salah satu sekolah pertanian yang terkenal, hanya berbekal sedikit uang dan beberapa pakaian. Ia bertekad menyelesaikan sekolahnya walau dengan segala keterbatasan.
Umar mencoba mencerna setiap kalimat yang disampaikan Kakek. “Apakah ia merantau hanya seorang diri, Kek?”
“Pemuda tersebut bermental baja, semangat ingin menolong masyakarat kampungnya telah mengalahkan rasa takut dan ragu-ragunya. Setelah sekian lama ia menuntut ilmu, akhirnya tiba hari kelulusannya dari sekolah. Sesuai rencana yang ia rancang, ia pulang ke kampung halamannya. Setelah sekian lama berputar waktu dan hari silih berganti, ia belum menemukan solusi untuk merealisasikan rancangannya. Ia kehabisan akal. Sampai suatu ketika ia shalat dua rakaat dan mulai bermunajat meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa, ia bertawakal berserah diri kepadanya.
“Keesokan harinya, ia bertekad kuat, yakin bahwa ia pasti bisa. Dimulai dengan ucapan bismillah, ia memulainya usahanya dengan dengan bercocok tanam di lahan warisan orang tuanya.
“Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, usahanya membuahkan hasil yang memuaskan. Setelah usahanya berkembang, ia membagi setiap hasil panen 10% untuk disumbangkan kepada masyarakat.
“Bagai hujan turun di tengah kemarau panjang, masyarakat menerimanya dengan senang hati. Lalu seiring berjalannya waktu, usahanya semakin meningkat pesat ia menambah 20% dari setiap hasil panen. Semakin meningkat usahanya semakin ia tambah sumbangannya. Hingga ia menyumbangkan seluruh keuntungan usahanya untuk masyarakat kampung kecuali sedikit dia ambil untuk keperluan keluarga dan pribadinya.
“Apa yang memotivasinya untuk berbuat demikian, Kek?, Umar terkejut mendengar cerita kakek.
“Berinvestasi dengan Allah tidak akan rugi. Kalimat ini yang ucap kali ia ulangi ketika ditanya “mengapa ia berbuat demikian?” Ia yakin dengan menyedekahkan hartanya akan dilipat gandakan oleh Allah lebih banyak, dan ia tidak akan rugi.
“Tidak berhenti sampai di situ, ia juga mendirikan beberapa sekolah, bermula dari sekolah dasar hingga universitas dengan berbagai jurusan yang berbeda-beda. Jelas, saat itu kampungnya menjadi kampung yang paling modern di antara kampung-kampung yang lain.
“Ia juga mendirikan sekolah khusus pemberdayaan wanita, para wanita baik muda ataupun tua diajarkan bermacam kerajinan dan keahlian, seperti menjahit, bertani, memasak, dan beberapa keahlian lainnya.
“Alhamdulillah, akhirnya cita-cita dan impianku terwujud. Masyakat kampungku berpendidikan dan kampungku telah modern,” gumam Abdullah dalam hati.
“Hingga datang suatu hari yang membanjiri kampung dengan air mata, yaitu, hari wafatnya Sang Pahlawan Kampung. Bagaikan lautan manusia yang hadir melayat, menshalati dan menyaksikan pemakamannya. Abdullah sang pemuda hebat yang berjuang demi masyarakat, Sang Pahlawan Kampung telah dipanggil ke sisi ilahi. Semua orang meratapi kepergiannya.
“Dan tahukah kamu siapa Sang Pahlawan Kampung tersebut? Dialah moyangmu, Umar.”