Perang Baliho Para Pelamar Kursi Presiden

Hernawan | Abidin
Perang Baliho Para Pelamar Kursi Presiden
Ilustrasi pemilu (Unsplash/5Element)

Tak kenal maka tak dipilih. Barangkali itulah yang ada di benak para pelamar kursi presiden, setidaknya di benak tim suksesnya. Bayangkan saja, pemilihan presiden Indonesia baru akan dihelat pada tahun 2024, namun perang baliho sudah terjadi di mana-mana.

Mencari popularitas atau mau lebih populer lagi namanya, mungkin itu yang jadi sasarannya. Baliho berbagai ukuran dari mulai yang sedang hingga sangat besar pun dipasang di berbagai titik strategis. Makin banyak baliho, makin populerlah dia. Begitu harapannya.

Adakah aturan yang dilanggar dengan pemasangan baliho para pelamar kursi presiden?

Tentu tidak ada. Semuanya legal dan boleh-boleh saja, kecuali kalau tidak bayar sewa tempat dan pajak reklame. Kalau tidak bayar sewa tempat dan pajak reklame, bisa saja nanti diturunkan oleh pemilik tempat maupun petugas yang berwenang. Berhati-hatilah wahai para tim sukses. Lantas apa masalahnya?

Tidak ada masalah. Tulisan ini hanya menawarkan opsi lain untuk para pelamar kursi presiden dan tim suksesnya agar bisa lebih populer dan berkah tentunya. Untuk mendapatkan jabatan dan amanah, tidak cukup bermodal popularitas, namun perlu keberkahan. Keberkahan dapat diraih dari amal shaleh dan do’a banyak orang.

Begini, mari kita berhitung terkait dengan biaya pembuatan spanduk, sewa tempat, pemasangan, hingga pajak reklamenya. Biaya pembuatan spanduk sangat tergantung kepada ukuran, hingga bahan yang digunakan. Kian besar dan semakin baik bahan, maka semakin mahal harganya. Ini belum termasuk biaya desainnya.

Sekarang sewa tempat. Komponen biaya sewa tempat di antaranya ukuran, fasilitas, hingga kestrategisan tempat. Semakin besar ukuran baliho, makin mahal sewa tempatnya. Demikian pula dengan fasilitas, misalnya ada lampu penerangan, bahannya dari rangka besi, maka semakin mahal juga sewanya. Terlebih dengan strategis atau tidaknya tempat tersebut. Misalnya di pinggir jalan utama dan tingkat lalu lintasnya tinggi, maka dipastikan sewanya pun makin mahal.

Biaya pemasangan bisa saja nol, kalau spanduk dipasang oleh tim sukses atau relawannya. Namun keyakinan saya, pasti tidak nol-nol banget, adalah uang kopi dan rokok yang dikeluarkan. Terlebih lagi jika pemasangan dilakukan oleh tenaga profesional, misalnya penyedia jasa tempat baliho, tentu ada rupiah tersendiri yang harus dialokasikan untuk biaya pemasangan.

Bagaimana dengan pajak reklame? Kriteria pajak reklame ditentukan oleh Nilai Sewa Reklame (NSR) yang berlaku di daerah masing-masing. NSR ditentukan oleh kategori reklame, kelas jalan, ukuran baliho, dan durasi tayang. Beruntung, untuk baliho pelamar kursi presiden ini, dikategorikan sebagai reklame non produk sehingga pajak reklamenya bisa lebih rendah.

Mari kita berhitung. Standar biaya cetak baliho ukuran 4x3 m adalah Rp. 300 ribu/lembar. Biaya sewa tempat di perkotaan kisaran Rp. 20 juta/bulan. Pajak reklame menggunakan perhitungan NSR non produk yang berlaku di DKI Jakarta. Misalkan pemasangan di jalan protokol tipe A, durasi 30 hari, NSR Rp. 25.000/m2/hari, maka pajak reklamenya Rp. 9 juta. Jadi total biaya yang harus dikeluarkan hampir Rp. 30 juta. Itu baru satu titik. Mungkinkah hanya pasang di satu titik?

Taksiran biaya perang baliho para pelamar kursi presiden sekitar Rp. 30 juta per titik. Bukan biaya yang sedikit, bahkan sangat fantastis bagi sebagian besar orang di negeri ini. Walaupun biaya di tiap daerah bisa saja berbeda-beda, namun taksirannya tidak akan jauh beda. Tidak heran, jika yang bisa ikut berperang hanyalah mereka yang memiliki amunisi berupa uang yang banyak, atau ada penyokong dana yang kuat.

Dengan cara itu, mungkin popularitas bisa mereka raih. Namun, di tengah kondisi bangsa yang sedang dilanda krisis ekonomi karena pandemi Covid-19, ada opsi lain yang bisa ditawarkan kepada para pelamar kursi presiden. Mungkin opsi ini tidak populer sehingga kurang diminati. Opsi yang dimaksud adalah mengkonversi biaya perang baliho menjadi perang peduli terhadap mereka yang terdampak oleh pandemi Covid-19.

Andaikan 50% budget untuk amunisi perang baliho, dikonversi menjadi amunisi perang kepedulian, berapa banyak warga negara yang akan terbantu? Biaya tersebut bisa dikonversi menjadi bantuan tunai langsung (BLT).

Bahkan jika mau yang lebih menantang, misalnya digunakan untuk beasiswa sekolah dan kuliah generasi penerus bangsa. Bisa juga untuk membangun industri start up atau pelatihan teknologi tepat guna lainnya.

Dengan kepedulian ini, tidak hanya popularitas yang akan diperoleh, tetapi juga keberkahan akan diraih. Mereka yang air matanya terhapus, senyumnya kembali merekah, harapannya kembali tumbuh, akan memberikan energi positif bagi para pelamar kursi presiden. Do’a akan mengalir dari mereka yang dibantu, dan timbal balik lainnya adalah pilihan pasti di tahun 2024. Perang baliho berganti menjadi perang kepedulian, itu baru oke.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak