Menjalani Roda Kehidupan Seperti Marcus Aurelius, Kaisar Terbaik Romawi

Tri Apriyani | Pekik
Menjalani Roda Kehidupan Seperti Marcus Aurelius, Kaisar Terbaik Romawi
Ilustrasi Filsuf Marcus Aurelius (brewminate.com)

Menjalani kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian ini butuh ketrampilan. Bila kita tidak terampil, boleh jadi kita akan terombang-ambing, terbawa arus dan gelombang pasang-surutnya kehidupan.

Salah satu jalan untuk menjadi terampil dalam menghadapi lika-liku kehidupan ini adalah dengan belajar dan menerapkan filsafat. Menjadikannya sebagai prinsip hidup.

Namun, sebelum membahasanya lebih dalam, apa yang ada dalam bayangan kamu ketika mendengar sebuah kata, "Filsafat"? Njlimet, bikin pusing atau beranggapan bahwa filsafat itu hanya dipelajari oleh orang-orang khusus dan bersifat eksklusif. Bahkan ada juga yang beranggapan bahwa filsafat adalah ilmu yang menyesatkan.

Menurut buku yang berjudul Sebelum Filsafat, karya Fahruddin Faiz, Filsafat pada hakikatnya adalah satu aktivitas: satu jalan berpikir yang menuntut kejernihan, kedalaman, dan keluasan. Karakter utama filsafat adalah berpikir secara logis dengan melakukan dua aktivitas, yakni mengajukan argumentasi, baik untuk menemukan, menyusun, atau mengkritisi kebenaran; serta menganalisis dan menegaskan kejelasan suatu konsep.

Jadi filsafat itu adalah suatu aktivitas berpikir logis. Menggunakan akal untuk mengatasi setiap persoalan hidup yang kita alami. Salah satu dari sekian banyaknya ilmu filsafat yang masih relevan dengan kehidupan sekarang adalah Filsafat Stoa.

Tokoh-tokoh Stoa kenamaan di antaranya adalah Marcus Aurelius, seorang kaisar, Seneca seorang penasihat kaisar Nero, juga politikus dan Epictetus yang merupakan seorang budak.

Kita akan mengambil satu di antara tiga Filosof Stoa yang terkenal itu. Ia adalah Marcus Aurelius, seorang kaisar sekaligus filsuf dari Romawi.

Dikala kesibukannya menjadi seorang kaisar, ia masih menyempatkan menulis di buku hariannya. Buku tersebut bernama Meditations. Sampai saat ini buku tersebut masih eksis dan sudah dibaca oleh banyak orang.

Marcus Aurelius adalah seorang Kaisar Romawi yang lahir pada tanggal 26 April 121 Masehi (M), hidup dan berkuasa di tahun 161 - 180 M. Ia diabadikan dan dikenal sebagai "Kaisar terbaik yang terakhir" yang pernah dimiliki rakyat Romawi pada saat itu, bahkan dunia.

Mengapa demikian?

Karena, meskipun dia adalah seorang kaisar dan menduduki jabatan kekuasaan yang paling tinggi di dunia, ia memerintah dan menjalankan kekaisarannya tanpa kesewenang-wenangan dan penuh kesederhanaan.

Apa yang kamu bayangkan ketika melihat sosok seorang kaisar? Bergelimang harta, memiki kuasa berkendak bebas dan kemudahan mendapatkan wanita. Iya, memang umumnya demikian. Namun, semua itu tidak berlaku bagi Marcus Aurelius. Ia jauh dari gambaran umumnya seorang pemimpin tertinggi sekelas kaisar.

Belum lagi, ia harus dihadapkan dengan begitu banyak persoalan kekaisarannya. Seperti peperangan, wabah penyakit, penyakit fisik yang dideritanya dan masih banyak lagi.

Kebiasaan yang tidak umum dikerjakan oleh seseorang yang berada di puncak kekuasaan, Marcus lakukan. Yakni, kebiasaan merenung dan interopeksi diri. Ia meyakini bahwa ada banyak hal yang berada di luar kendalinya.

Sebagai seorang kaisar yang bisa mewujudkan segala macam keinginannya, tetap saja masih ada hal-hal yang berada di luar jangkauannya.

Dari perjalanan hidupnya itu sang kaisar Romawi ini merenung dan mencerna segala hal yang terjadi untuk kemudian menjadikannya pelajaran dalam menghadapi segala kesulitan dalam hidup.

Pelajaran hidupnya itu juga bisa kamu petik hikmahnya serta bisa kamu terapkan juga dalam kehidupan sehari-hari.

Sebetulnya banyak pelajaran yang bisa diambil dari Filsuf Stoa Marcus Aurelius. Namun, penulis hanya memilih empat metode latihan atau askesis yang dilakukan oleh Marcus Aurelius, menurut Pierre Hadot yang penulis kutip dari Buku berjudul Ataraxia, karya A. Setyo Wibowo, di antaranya adalah:

1. Membebaskan diri dari persoalan orang lain

Membuang segala representasi yang mengganggu kita berkenaan dengan orang lain. Selain mengganggu kesibukan dan tugas yang sedang kita kerjakan, memperhatikan orang lain bisa menjauhkan perhatian pokok dan utama kita pada jiwa kita sendiri sebagai pusat kendali kehidupan kita.

2. Melatih konsentrasi pada masa kini

Karena masa lalu dan masa depan bukanlah milik kita lagi. Masa lalu sudah berlalu dan masa depan milik penyelenggaraan ilahi. Dengan berkonsentrasi pada masa kini kita dapat bertindak mengikuti kesalehan untuk mencintai nasib apapun yang diberikan hidup pada hari ini.

3. Segera menyadari, membuang dan tidak mengiyakan pada involuntary emotions

Involuntary emotions adalah emosi yang mendadak muncul, tiba-tiba tanpa bisa dicegah. Segera sadari, setelah itu buang dan jangan memberikan persetujuan padanya.

4. Menundukan diri pada takdir

Latihan yang keempat ini memerlukan perjuangan yang lebih keras, yakni menundukan diri pada takdir yang selalu mengalir menjadi segala sesuatunya. Bila kita memeditasikan bagaimana takdir menjalankan semuanya dan mengiyainya, maka kita benar-benar bisa bebas.

Dengan membiasakan diri dan berlatih dengan ke empat filosofi Marcus Airlius di atas, diharapkan dapat menjadikan diri kita semakin terampil dalam mengarungi hidup. Sehingga kita mampu menjalani roda kehidupan ini dengan kokoh, tangguh dan bahagia.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak