Belajar merupakan sebuah proses jangka panjang yang “wajib” dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya. Perintah kewajiban belajar ini sudah masyhur disebut-sebut, terutama di dalam teks-teks keagamaan. Pun ada hadits yang secara khusus menyebutkan kewajiban belajar sampai akhir hayat bagi seseorang. Kenyataannya sebaliknya, tidak sedikit orang yang memutuskan untuk berhenti belajar ketika mereka sudah tidak lagi bersekolah.
Manfaat belajar sendiri sudah tidak diragukan lagi. Saking banyaknya, tidak akan disebutkan satu per satu di sini. Insting penulis mengatakan bahwa mudahnya seseorang untuk memutuskan diri dari aktivitas belajar adalah karena kurangnya motivasi dalam diri dan tidak tahu akan dibawa kemana hasil belajar yang mereka lakukan, terutama bagi mereka yang tidak bergerak langsung di bidang yang mewajibkan belajar secara terus-menerus. Dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud mempersempit makna belajar hanya dengan belajar yang berada di ruangan kelas saja. Ya, kita bisa belajar dimana saja dan dari siapa saja.
Sebenarnya, ada dua hasil dalam proses pembelajaran, yang terlihat dan tidak terlihat. Tentu saja, orang-orang selalu menginginkan melihat hasil yang terlihat dan sering mengabaikan hasil yang tak kasat mata, tetapi tetap dirasakan manfaatnya secara langsung maupun tidak langsung.
Proses belajar secara tidak langsung ini bisa disebut sebagai head-fake learning. Penulis sendiri memahami istilah ini setelah membaca sebuah buku yang berjudul The Last Lecture karya Randy Pausch dan Jeffrey Zaslow.
Sayang sekali, kedua nama tersebut sudah meninggal dunia dan buku biografi yang menceritakan kehidupan Randy Pausch dalam meraih mimpi-mimpi masa kecilnya itu bisa dianggap sebagai karya terakhir yang mereka persembahkan kepada dunia. Semoga tulisan ini bisa menjadi sarana untuk mengantarkan pembaca pada buku yang luar biasa tadi.
Lalu, apa itu head fake learning? Mengenai hal ini Pausch memberikan definisinya sebagai berikut. Head fake learning adalah saat kita mengajarkan sesuatu pada orang lain secara tidak langsung, dan orang itu mengira dia sedang belajar hal yang lain. Head fake learning disebut juga sebagai pembelajaran yang mengecoh.
Menurutnya, ada dua jenis kecohan, yang ang pertama bermakna harfiah. Di pertandingan rugbi, head fake merujuk pada pemain yang menggerakkan kepalanya ke satu arah dengan maksud mengecoh lawan, yaitu agar kepalanya menoleh. Selanjutnya, tentu saja, dia bergerak ke arah berlawanan.
Jenis yang kedua adalah yang sangat penting – jenis yang mengajarkan seseorang, dan orang itu tidak sadar mereka sedang belajar hingga sudah larut dalam prosesnya. Jika kita ahli dalam membuat kecohan, kita pasti punya tujuan tersembunyi, yaitu membuat seseorang mempelajari sesuatu yang kita inginkan.
Cerita tentang head fake yang dialami oleh Pausch adalah ketika orang tuanya memasukkannya ke dalam tim rugbi. Alasan orang tuanya sederhana, karena Pausch anak laki-laki dan rugbi adalah permainan untuk laki-laki. Apalagi Pausch kecil dikenal sebagai anak yang sangat kutu buku, sehingga orang tuanya khawatir ia menjadi kurang bersosialisasi. Awal menjadi anggota tim dia merasa sedikit tertekan. Kemudian ia menyadari suatu hal dari permainan rugbi ini.
Bahwasanya yang sebenarnya ia dapatkan justru jauh lebih penting, melebihi dari sekedar keinginan orang tuanya: ia belajar tentang kerja tim, keuletan, sportivitas, nilai kerja keras, dan kemampuan menghadapi kesulitan. Inilah yang ia sadari sebagai head-fake learning dalam permainan rugbi.
Dalam kehidupan nyata, kita bisa menerapkan prinsip head fake learning ini pada apa saja yang kita lakukan. Baik itu dari proses kita mempelajari sesuatu, dari pengalaman yang pernah kita alami, bahkan dari kegagalan sekali pun.