Saya itu asli orang Jawa. Menurut pribadi saya sendiri, saya perlu belajar bagaimana menghormati orang lain dengan cara berbicara yang baik. Salah satu cara yang saya gunakan adalah saat berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa yang pas dengan siapa saat saya berbicara.
Kita lihat di sekeliling lingkungan tempat tinggal, sudah banyak yang mengalami perubahan karena peradaban dunia yang maju dengan masifnya. Lebih-lebih di lingkungan kantor, terutama di kota-kota besar seperti di tempat saya bekerja. Hampir semua warga kantor dalam keseharian saat berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.
Tidak ada yang salah dengan berbahasa Indonesia. Akan tetapi, setiap daerah memiliki bahasa dan budaya yang nantinya akan memperlihatkan ke dunia, ‘oh ini lho Indonesia yang kaya dengan ragam budaya dan bahasa’. Karena keragaman ini ada beberapa bule yang tertarik memperlajari bahasa Jawa.
Ironi lagi, di dunia pendidikan yang menjadi garda terdepan dalam mendesiminasikan bahasa Jawa, justru tidak sedikit guru, bahkan kepala sekolah yang tidak begitu memahami bahasa Jawa dalam penggunaannya.
Saya kalau di dalam kelas pada saat pembelajaran, terkadang 'ketrucut' menyampaikan materi dengan berbahasa Jawa krama. Sehingga, peserta didik semua pada 'melongo' karena kebingungan atas apa yang saya utarakan. Kemudian saya dengan segera memberikan penjelasan memakai bahasa Indonesia agar maksud dan tujuan belajar tersampaikan kepada peserta didik.
Membahasakan diri sendiri tidaklah sama ketika membahasakan orang lain. Saat membahasakan orang lain, perlu ada aturannya. Kita harus menggunakan bahasa yang kastanya lebih rendah untuk diri sendiri daripada membahasakan orang lain. Jadi, membahasakan orang lain itu menggunakan yang kastanya lebih tinggi dari diri sendiri.
Dari tata cara berbicara kita telah menghormati orang lain. Contoh membahasakan diri sendiri. ’Kula uwis teka’ -- saya sudah datang. Kemudian membahasakan orang lain yang sudah datang. ‘Panjenengan sampun rawuh’ -- Anda sudah datang. Untuk diri sendiri menggunakan bahasa Jawa ngoko. Sementara untuk membahasakan orang lain menggunakan bahasa Jawa krama.
Meski sama-sama datang, tetapi dalam berbahasa Jawa penggunaanya berbeda. Bagi kalian pasti ada yang beranggapan, ‘ah basa Jawa ki ruwet’. Rumit dan tidaknya itu kembali kepada diri sendiri. Kalau kita sudah mencintai sesuatu, sesulit apapun itu akan dinikmati dan jaga kelestariannya.
Ibaratnya kalau orang sudah jatuh cinta dengan seseorang, kemudian merencanakan suatu pertemuan, mau dikata hujan deras serta angin, panas menyengat pasti akan ditempuh demi ketemu sang pujaan. Kalau orang yang tidak mencintai akan beranggapan, ngapain susah-susah kehujanan dan kepanasan. Karena memang dasarnya tidak mencintai.
Setiap hari pasti kita akan mendengar orang-orang saling berbicara. Berkomunikasi dengan sesama. Sesekali kita mendengar kata ‘inggih’ dan ‘injih’. Di dalam Bahu Sastra -- kamus bahasa Jawa kalian tidak akan menemukan makna kata ‘injih’. Sebab, kata tersebut merupakan perbendaharaan kata diaklektika di lingkungan Kraton (Yogya-Solo). Sementara kata yang baku sesuai dengan kamus adalah kata ‘inggih’.
Jujur saja, saya tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris. Bukan tidak mengenyampingkan. Setidaknya saya mengertikan sedikit-sedikit saja, itu pun saya tidak sok keminggris dalam berkomunikasi sehari-hari. Kemampuan berbahasa Inggris juga sama pentingnya. Alangkah lebih baiknya kita rawat dan lestarikan bahasa yang kita punya.
Masak iya, kita sebagai pemilik warisan peradaban dari leluhur kita tidak menghargai hasil karya mereka? Orang asing saja tertarik lho belajar bahasa Jawa. Ada orang Jepang yang pinter berbahasa Jawa yang semula Jawa ngoko sampai Jawa krama. Namanya Naohiru Katsumata. Apa lagi yang viral di jagat maya, Dave Jepchott yang dikenal dengan sebutan Cak Dave dan kakaknya yang bernama Natan Bayo. Mereka berdua berasal dari Australia.
Bule-bule itu saja tertarik mempelajari tata bahasa Jawa mulai dari ngoko hingga krama. Tidak harus kuliah lagi, ada beberapa lembaga atau komunitas mengajari kita belajar bahasa Jawa kok. Sebagai anak milenial, ayolah jangan gengsi untuk belajar berbahasa daerah yang baik dan benar. Tidak akan menurunkan drajat, harkat dan martabat jati diri bangsa di belahan dunia.