Krisis merupakan suatu hal yang sangat menakutkan bagi semua negara di dunia. Dampak yang diakibatkan pun sangat beragam, mulai dari pengetatan kas sampai dengan ketidakseimbangan ekonomi makro. Untuk menghindari kondisi krisis tersebut, banyak negara-negara di dunia mulai melakukan upaya untuk mengurangi, menghilangkan, atau menghindari risiko yang berdampak pada fiskal.
Secara definisi, risiko fiskal adalah semua kejadian yang dapat memberikan tekanan pada APBN dan berpotensi untuk memperlebar defisit. Pandemi Covid-19 merupakan contoh risiko fiskal, bagaimana luar biasa pusingnya mengatur neraca keuangan negara pada saat pandemi (resiko fiskal eksternal). Sementara itu, risiko fiskal dari sisi aktivitas Pemerintah dalam rangka menjalankan kebijakan fiskal seperti kewajiban kontijensi pada penanggulangan bencana alam dan lain lain cukup lebih mudah untuk diantisipasi. Proyeksi terhadap data resiko fiskal ini tentunya menjadi satu kajian penting di dalam menyusun kerangka skenario capaian terkait pertumbuhan ekonomi.
Kondisi perekonomian yang bertumbuh dapat dilihat dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu yang lalu, dimana beliau memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2022 berada dalam rentang 4,5%—5,2%. Hal senada juga disampaikan oleh Bank Dunia yang memproyeksikan perekonomian Asia Pasifik sebesar 4%—5%. Kemudian, indikator berikutnya adalah bagaimana aktivitas ekonomi dalam negeri yang mengakar kuat melalui UMKM memiliki indikator yang positif. Data yang dikeluarkan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) yang merilis hasil survei Aktivitas Bisnis UMKM pada Kuartal I-2022. Dalam survei tersebut mengindikasikan kegiatan usaha UMKM semakin membaik dibandingkan kuartal sebelumnya, tercermin dari Indeks Bisnis (IB) UMKM kuartal I-2022 yang naik dari level 104,1 ke level 104,6. Dari sisi ini gambaran proyeksi aktifitas pertumbuhan ekonomi menunjukan sinyal yang menggembirakan (optimis). Lantas bagaimana proyeksi dan forecasting Indonesia Maju?
“Kita harus bertransformasi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern, yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa, demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” (Pidato Presiden RI pada Sidang Paripurna MPR: Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode 2019-2024, 20 Oktober 2019), begitu kalau tidak lupa, salah satu poin penting yang menjadi ukuran tentang proyeksi Indonesia Maju. Berangkat dari sana maka banyak kebijakan yang disusun untuk menyokong proyeksi transformasi tersebut. Prakondisi terhadap beragam pemikiran tentang perekonomian Indonesia pada masa mendatang, tentunya harus ditopang data sebagai pilar pendukung transformasi ekonomi menuju Indonesia Maju. Secara teori ekonomi, transformasi ekonomi (Key Performa Indicator-nya) setidaknya harus bertumpu pada tiga aspek. Pertama, mengubah ekonomi berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis produksi. Kedua, alokasi anggaran negara yang lebih tepat sasaran untuk pengentasan kemiskinan. Ketiga, mendorong pembangunan yang lebih merata di luar Pulau Jawa ( Chandra Bagus Sulistyo, Group Head of Government Program-Division of Small Business and Program BNI ). Dari tiga poin di atas, maka mudah bagi kita membaca proyeksi transformasi ekonomi yang akan dilakukan sebagai peta jalan menuju Revolusi Industri Indonesia.
Proyeksi tiga poin tersebut akan tercermin dari bagaimana negara merumuskan dan menyusun satu kebijakan anggaran tahun 2023. Karena risiko fiskal yang terjadi harus dapat diantisipasi. Misi konsolidasi fiskal yang menjadi domain untuk mengatur pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak saja akan menimbulkan persoalan opini di internal, akan tetapi juga akan berdampak terhadap cara pandang dunia internasional. Cara pandang ini menyangkut posisi Indonesia secara Geopolitik tentunya, dimana posisi SDA dan jumlah penduduk merupakan faktor pasar yang layak diperhitungkan. Misalnya bagaimana Pesan yang dikirim secara “soft” kepada dunia Internasional terkait larangan Ekspor terhadap batubara dan CPO. Pesan yang secara geopolitik berdampak terhadap cara pandang dunia kepada Indonesia yang masuk kategori emerging market. Pesan ini harus dapat ditransformasikan menjadi perubahan dari ekonomi konsumtif menjadi ekonomi berbasis produksi, artimya ditengah polarisasi global, pesan yang dikirim adalah Indonesia hadir sebagai surga investasi.
Berangkat dari satu risiko fiskal maka tentu beban berikutnya adalah bagaimana output issue tersebut menjadi satu konsolidasi fiskal. Konsolidasi fiskal ini mutlak harus menjadi satu advantage bagi publik, keuntungan yang diharapkan diterima oleh masyarakat akan menjadi pengelompokan tersendiri juga tentunya. Dalam skenario postur APBN 2023 tentunya kita harus melihat point penting ini hadir. Kehadiran negara dalam bentuk advokasi langsung kepada kelompok sosial terkecil didalam negara harus dapat diterjemahkan dengan detil dan tepat tentunya, asumsi skenario subsidi dalam APBN 2023 memang akan melambung dan semakin melambung jika kenaikan harga pertalite sebagai BBM penugasan tidak terbendung lagi. Insentif yang bertujuan untuk memutar pertumbuhan ekonomi (tertuang didalam skenario APBN 2023) ini tentunya juga akan menjadi satu faktor penting untuk menahan laju inflasi 2023, karena yang seperti kita ketahui, tidak ada lagi satu pengelolaan anggaran berbasis sharing dengan BI (Burden sharing) dalam membiayai penanganan pandemi covid 19. Pandemi memang telah menyebabkan dampak berkelanjutan (scarring effect) bagi ekonomi Indonesia.
Transformasi ekonomi memang membutuhkan kecakapan pengelolaan keuangan negara yang mumpuni. Beban APBN 2023 yang disebabkan keinginan negara untuk tetap menjaga kepentingan komunitas terkecil warga negara, yang diproyeksikan paling terdampak dari situasi polarisasi geopolitik global mutlak wajib dilakukan. Insentif untuk memutar pertumbuhan ekonomi akan berdampak siginifikan jika diimbangi kemampuan negara mengatasi lonjakan harga yang terjadi, potensi lonjakan yang terjadi ini memang akan banyak pendapat ahli soal faktor penyebabnya, akan tetapi akan menjadi absurd jika penghitungan dan analisa terhadap lonjakan yang terjadi disebabkan tidak profesional, sistematis dan terukurnya pengelolaan yang dimulai dari tidak adanya atau tidak tepatnya kebijakan yang dibuat oleh kementrian dan instansi terkait.
Di era digitalisasi dan media sosial yang berkembang sedemikian pesat ini, tentunya menjadi alat yang mudah untuk mengukur sensitifitas publik terhadap satu kebijakan negara. Banyak kebijakan “yang jika dikelola” akan menjadi konsumsi publik, dimana menjadi mudah juga bagi kita untuk mengukur sejauh mana publik terperangkap atau diperangkap oleh isue tersebut. Meskipun Ini merupakan input sebenarnya bagi satu sistem dan tata kelola penyusunan kebijakan. Contoh misalnya keputusan terhadap JHT yang dikeluarkan oleh menteri tenaga kerja menjadi satu contoh sederhana dampak sebuah kebijakan yang disusun, ataupun yang fenomenal adalah kebijakan kementrian perdagangan terkait minyak goreng yang memakan korban dengan ditetapkannya tersangka dari internal kementrian tersebut (permendag nomor 22 tahun 2022 akhirnya mencoba senapas dengan keinginan kepala negara), Ini merupakan satu shocktherapy yang tidak main main karena “utak atik” kebijakan minyak goreng ternyata berdampak terhadap sumbangan inflasi dari sektor ini cukup tinggi. Maka tindakan taktis untuk menghentikan atau melarang ekspor CPO sebenarnya adalah keputusan yang tepat, karena mitigasi terhadap resiko imerangkaknya inflasi minyak goreng berpotensi merembet kepada sektor lain yang tentunya harus sejak dini diantisipasi. Ekonomi Indonesia sekali lagi akan diuji seiring dengan munculnya potensi risiko resesi (global) yang akan melanda dunia pada 2023.
Terkait poin tentang Key Performance Indicator, langkah transformasi ekonomi dengan mendorong pertumbuhan pembangunan yang lebih merata di luar pulau jawa adalah satu kewajiban yang harus segera dipenuhi negara secepatnya. Ketergantungan pertumbuhan ekonomi nasional terhadap perkembangan ekonomi di pulau jawa sangatlah besar, ini tentunya tidak sehat, karena dampaknya terhadap stabilitas secara keseluruhan sangat terasa. Peningkatan produktivitas tenaga kerja di luar pulau jawa harus dirancang didalam ekosistem yang kondusif, ekosistem yang kondusif akan berdampak terwujudnya basis perekonomian yang produktif dan berdaya saing, yang ditandai dengan peningkatan penerimaan dari sektor manufaktur berorientasi ekspor. Kembali lagi kepada dimana kebijakan terhadap isu ini akan diputuskan. Rantai keputusan terhadap kebijakan ini memang akan jadi jalan panjang dan berliku karena biasanya posisi “rent seeker” akan selalu menunggu.
Jika melihat kerangka di atas maka sepertinya APBN kembali akan bertindak sebagai shock absorber terhadap potensi ancaman fiskal, ini yang tidak sehat, meletakkan APBN sebagai perisai gangguan likuiditas harus diikuti dengan fundamen yang juga kuat pada level APBD. Belajar dari pandemi, maka menguatkan APBD merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi. Stablitas ekonomi tidak bisa lagi tanpa adanya sinkronisasi antara APBN dan APBD. Singkat dan tegasnya adalah Pemerintah Daerah harus dapat cepat, tepat dan cermat dalam memahami Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), Pemerintah Daerah bisa memaksimalkan “local taxation power” atau pendapatan asli daerah (PAD) dan tidak melulu mengandalkan transfer dari pemerintah pusat. Dengan begitu, pemerintah daerah bisa berdikari alias mandiri bahkan membantu menjadi shock absorber, jika pemerintah pusat mesti berjibaku menghadapi shock seperti pandemi. Pemerintah Daerah bisa meningkatkan kualitas belanja daerah yang dilakukan melalui pengaturan pengelolaan belanja daerah dengan fokus belanja, mandatory spending, pengendalian belanja pegawai, penguatan belanja infrastruktur, dan SiLPA berbasis kinerja.
Berangkat dari pemikiran tersebut maka tidak bisa tidak, kebijakan APBN 2023 merupakan momentum yang tepat untuk mengujinya. Arah kebijakan fiskal 2023 fokus utamanya adalah mendorong peningkatan produktivitas untuk transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Transfromasi ekonomi ini harus didorong pada perluasan pembangunan di luar pulau jawa, data realisasi inventsasi pada kuartal I-2022 yang tersebar di Sulawesi Tengah sebesar Rp 18,9 triliun, Jawa Barat Rp 18,3 triliun, DKI Jakarta 17,4 triliun, Riau 14,6 triliun dan Maluku Utara Rp 10,8 triliun menandai bahwa cita cita untuk menata ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern mulai terpetakan, korelasi antara perbaikan tata kelola suber daya alam melalui pencabutan izin tambang akan menjadi pintu masuk untuk menciptakan basis produksi yang kondusif terhadap peningkatan produktivitas, dimana basis produksi ini mampu menghasilkan berkembangnya sektor industri manufaktur yang menghasilkan produk berorientasi ekspor. Kebijakan APBN 2023 jelas harus merupakan kebijakan yang memiliki daya dorong yang besar sebagai “a necessary condition” untuk mengatasi ketertinggalan dengan memanfaatkan jaringan kerja melalui skala kehematan dan cakupan (economies of scale and scope), hal ini mutlak dan tidak terbantahkan sebagai acuan dalam mentransformasi ekonomi Indonesia.
Dengan kata lain langkah krusial dalam jangka pendek adalah bagaimana mengembangkan industry pengolahan yang berbasis sumber daya alam secara massif di seluruh sentra produksi seperti pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian dan lainnya. Belajar dari suksesnya transformasi ekonomi pada beberapa negara maju, peranan sektor industri yang lebih dominan dibandingkan dengan sektor lainnya menjadi indikator penting laju pertumbuhan ekonomi mereka, sektor industri menjadi kunci mesin pembangunan ekonomi mereka. Contoh terdekat adalah kemajuan ekonomi Tiongkok dan Korea Selatan yang menjadikan industrialisasi sebagai salah satu pilarnya, terbukti efektif berkonstribusi memacu tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Kemajuan ekonomi Tiongkok dan Korea Selatan ini bukan ujug-ujug, tetapi disusun dengan peta jalan Revolusi yang panjang, bagaimana dengan kita ? Dasar tindakan kita secara bangsa jelas adalah menata mental, tanpa kesiapan mental maka tata jalan revolusi kita akan semakin suram. Peta jalan Revolusi Industri kita harus disusun dengan merevolusi mental kita, karena Revolusi mental merupakan pondasi transformasi ekonomi sebagai jalan menuju Revolusi Industri Indonesia.
Riza Tony Siahaan
Anggota Perhimpunan Keluarga Besar FMKR dan pemantik diskusi di kelompok kajian Indogate8