Beberapa bulan lalu, sempat terjadi kisruh sengit tentang permasalah negosiasi antara Pemerintah Provinsi NTT dengan warga lokal adat di Sumba Timur. Kisruh ini menjadi fenomena yang viral dan banyak dibicarakan di jagad maya. Mirisnya, masalah yang diperdebatkan dan yang berpotensi menjadi problem kepentingan dan keberpihakan itu, ternyata berkaitan dengan proses pembangunan. sebuah proses luhur untuk kemajuan hidup dan peradaban manusia. Adakah yang salah dengan pembangunan itu?
Pembangunan sudah hampir menjadi kata dan aksi yang populer karena sudah banyak kali diucapkan dan juga banyak didengarkan. Mereka yang mengucapkan berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, politikus, guru, dosen, para murid, tokoh agama, tokoh adat pun masyarakat umum. Saking seringnya diucapkan, pembangunan telah menjadi harapan dan sudah seperti lantunan doa, terutama bagi daerah-daerah minim pembangunan seperti daerah Timur Indonesia.
Sementara itu, di lapangan, kita juga sudah menyaksikan model-model dan aksi pembangunan. Model dan pendekatan pembangunan itu hadir dalam bentuk program atau proyek-proyek pembangunan. Program atau proyek itu meliputi ragam tahapan seperti perencanaan, eksekusi dan evaluasi pembangunan.
Fakta yang kemudian bisa dikumpulkan, baik itu di level nasional maupun di level daerah, terdapat pendekatan pembangunan dalam bentuk program atau proyek pembangunan yang direncanakan baik, tapi lemah dalam tahap eksekusi dan evaluasi. Atau ada juga proyek pembangunan yang minus pada tahap perencanaan, sehingga pada saat eksekusi program dan pendekatan pembangunan itu akhirnya babak belur dan tanpa hasil. Hal inilah yang kemudian menimbulkan proyek-proyek mandek atau proyek-proyek gatot alias gagal total tanpa dievaluasi sedikitpun secara seksama.
Di level nasional sebut saja proyek Hambalang Sport Center, yang kemudian menjadi proyek mangkrak mulai dari pemerintahan SBY. Proyek ini menjadi salah satu proyek keramat, meskipun ada banyak masalah yang ada di dalamnya, tetapi hampir tidak pernah diuraikan. Parahnya proyek mangkrak ini malah dipolitisasi untuk kepentingan elit politik tertentu. Yang rugi tentunya negara yang telah menggelontorkan dana, tetapi tidak dimanfaatkan secara baik.
Sementara itu, di level lokal, juga terdapat penyelenggaraan problematis proyek pembangunan. Penyelenggaraan proyek problematis ini lantas berbuah pada konflik-konflik horizontal antara warga atau juga konflik vertikal antara warga dan pemerintah. Kasus-kasus seperti permasalahan hak ulayat masyarakat atas tanah di Pubabu, di Kabupaten Timor Tengah Selatan, atau juga masalah pembangunan Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, dapat menjadi potret penyelenggaraan pembangunan problematis. Di sini, tentu yang dirugikan adalah negara karena telah menggelontorkan dana untuk proyek pembangunan yang juga tidak mendatangkan untung dan sejahtera bagi masyarakat.
Jika fakta-fakta yang kemudian muncul ke permukaan, bahwa pembangunan yang mestinya mendatangkan sejahtera dan berkat bagi banyak orang tetapi malahan menciptakan permasalahan, pertanyaan kemudian muncul, maka pertanyaan yang bisa dimunculkan di sini ialah, untuk siapakah sebenarnya pembangunan itu? Atau kepada siapakah pembangunan mesti berpihak?
Menoleh pada maknanya sebagai sebuah kata dan aksi, ia sudah banyak didefinisikan oleh para ahli. Dari sekian banyaknya definisi itu, terdapat dua definisi yang menarik tentang pembangunan.
Pertama pembangunan hanya dipandang dari perspektif economic growth atau pertumbuhan ekonomi. Di sini pertumbuhan ekonomilah yang menjadi fokus utama dalam pembangunan. Perspektif pembangunan yang demikian menjadi fokus dari model pembangunan gaya pertumbuhan ekonomi W.W.Rostow dalam karyanya The Stages of Economic Growth : A Non-Communist Manifesto, dari masa tradisional sampai konsumsi massal. Menurut pandangan ini, manusia akan sejahtera jika mau berarak menjadi manusia modernisasi (Rowtow, 1960).
Selain itu, ada juga model pembangunan yang diusulkan para penganut neoliberalisme. Model pembangunan itu bertumpu pada ekonomi pasar dan perdagangan bebas. Bagi mereka, kesejahteraan akan tercapai apabila semua orang diberikan kesempatan untuk berusaha dan berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Prinsip pasar bebas berlaku di sini. Negara hanya hadir sebagai regulator dan penyedia tempat lalu mengatur dan mendukung lancarnya transaksi ekonomi di pasar bebas (Pieterse, 2010).
Di pihak lain, ada model pembangunan yang lebih berfokus pada manusia. Model ini diantaranya model pembangunan alternatif, seperti yang diangkat oleh J. Friedman (1992), di mana pembangunan mesti berfokus pada pembangunan sosial dan komunitas atau dengan kata lain pembangunan mesti berfokus untuk memajukan manusia (human flourishing) Pieterse (2010). Atau model pembangunan untuk membebaskan manusia dalam prespekfi Amartya Sen, yang mana pembangunan mesti bisa memberikan kesempatan dan pilihan-pilihan yang lebih luas bagi manusia untuk memperoleh hidup yang lebih baik (Sen, 1999)
Berdasarkan pemahaman dan definisi tentang pembangunan yang diuraikan di atas, mari kita telisik pembangunan yang dibuat pemerintah, terutama di level lokal. Di manakah fokus pembangunan yang telah dibuat pemerintah selama ini? Apakah pembangunan itu yang dibuat masih berfokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan mendukung pasar bebas? Ataukah pembangunan selama ini sudah membantu memberikan kesejahteraan pada manusia dalam artian lebih fokus pada manusianya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka bisa dilihat kembali mengenai problem-problem pembangunan seperti yang dicontohkan sebelumnya. Untuk melihat itu, beberapa pertanyaan dapat diberikan lagi di sini. Apakah semua proyek pembangunan itu lebih pada soal berkaitan dengan aspek ekonomi seperti modal berupa uang, regulasi dan soal pasar? Ataukah mangkraknya berbagai proyek pembangunan lebih berkaitan dengan masalah-masalah fundamental yang berkaitan dengan sisi sumberdaya manusia maupun masalah kemanusiaan pada aktor pembangunan atau juga masalah sosial budaya mereka yang menjadi sasaran pembangunan?
Apabila diberikan jawaban sederhana bisa dilihat bahwa masalah-masalah yang muncul ke permukaan berkaitan dengan pembangunan dari contoh-contoh di atas, kemungkinan besar muncul karena lemahnya kapasitas manusia yang mengurusi dan menjadi subjek pembangunan. Kebanyakan dari mereka yang menjalankan program atau proyek pembangunan, tidak mempunyai fokus yang jelas, untuk siapakah pembangunan itu diadakan dan dijalankan.
Untuk menguraikan masalah ini, maka hal pertama yang perlu diingat ialah mereka yang terlibat dalam pembangunan, entah itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat, mesti tahu bahwa setiap progres pembangunan yang dibuat tentu mempunyai tujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi manusia.
Sebagai upaya mencapai pembangunan dengan tujuan yang demikian, maka semua kerja pembangunan mestinya tidak mendatangkan kerugian atau bencana bagi manusia dalam hal ini masyarakat. Sebaliknya pembangunan haruslah bisa mengangkat dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi manusia.
Untuk itu, kerja pembangunan mesti diutamakan dan difokuskan pada pembangunan potensi dan kapasitas manusia. Setiap manusia mestinya bisa diberdayakan untuk menjadi fondasi dan elemen utama dalam gerak pembangunan bangsa dan negara. Mereka yang diberdayakan pun mestinya berasal dari kalangan akar rumput atau masyarakat lokal, sebab merekalah yang terutama akan merasakan efek pembangunan.
Hal kedua yang diperlukan adalah pendekatan pembangunan yang mesti lebih memperhatikan aspek sosial budaya. Hal ini penting sebab aspek sosial budaya dalam artian kehidupan masyarakat di suatu tempat beserta dinamikanya, baik itu tradisi, adat-istiadat dan kebudayaan mesti bisa diakomodasi dalam sebuah proyek pembangunan.
Akomodasi ini penting, sebab pembangunan merupakan proses untuk kemajuan yang ditawarkan kepada masyarakat. Penawaran untuk kemajuan ini hendaknya dilakukan sesuai dengan etika dan aturan hidup dan harmonis dengan alam dan masyarakat setempat. Dalam kaitan dengan ini, sikap main serobot atau sikap sewenang-wenang dari pemerintah tidak akan menjadi perilaku dan tindakan yang tampan, meskipun itu dibalut dengan janji mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal.
Hal ketiga yang patut diperhatikan adalah hendaknya pendekatan pembangunan mestinya cukup memperhatikan aktor atau agensi pembangunan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Patsy Healey dalam ulasannya mengenai Model of Development Proces yaitu pendekatan pembangunan Agensi. Pada pendekatan ini ditegaskan bahwa di dalam pembangunan terdapat peran agen-agen. Peran ini ditunjukan oleh relasi institusi atau lembaga di mana agen-agen itu bernaung (Healey, 2007).
Dalam kaitan dengan hal tadi, pembangunan hanya bisa berjalan dengan baik, jika ada relasi yang baik dalam sikap bersifat kolaboratif dan kooperatif yang baik dari agen-agen pembangunan mulai dari pemerintah sampai dengan masyarakat. Di sini, relasi yang demikian hanya bisa terjadi, mengandaikan semua pihak menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak saling mengintervensi atau menunjukkan siapa yang paling kuat atau berkuasa untuk mengeksekusi atau menjalankan program pembangunan. Sebab, pemerintah boleh merencanakan dan mengeksekusi sebuah proyek, tetapi hilir dari semua itu akan kembali pada masyarakat.
Jalan pembangunan itu merupakan jalan yang panjang. Jika pondasi dari pembangunan itu tidak kuat, baik dan seimbang, maka pembangunan itu akan pincang. Untuk kuat dan seimbang pembangunan sebaiknya tidak hanya memperhatikan aspek tertentu, seperti aspek ekonomi atau untuk keuntungan pihak tertentu. Pembangunan mesti menjadi sesuatu membawa kesejahteraan dan kebebasan hidup dan kesempatan untuk hidup yang lebih bagi seluruh masyarakat.
Pada prinsipnya, pasti semua orang ingin maju dan ingin menjadi sejahtera. Namun, jalan untuk mencapai itu tidak bisa diusahakan secara instan. Ada berbagai hal yang mesti dinegosiasikan. Selain itu, itu semua proses pembangunan mesti tetap berpegang pada prinsip untuk kesejahteraan bersama (bonum commune). Dengan jalan ini, kita optimis, bahwa baik itu pembangunan nasional dan terutama pembangunan di level lokal, benar-benar berpihak pada manusia terutama rakyat kecil.