Seperti yang kita ketahui jika gender di dunia tidak hanya ada dua seperti konsep seks. Namun, gender sendiri lebih dari jumlah tersebut misalnya ada istilah transgender, gay, lesbi, transpuan, dan lainnya. Keragaman gender tersebut tidak menjadi masalah yang serius untuk beberapa negara di dunia. Bahkan ada negara yang melegalkannya secara hukum seperti negara Belanda. Melansir dari Tirto.ID, Belanda menjadi negara pertama di kawasan Eropa yang melegalkan pernikahan sesama jenis sejak tahun 2001.
Berbeda dengan Indonesia, isu transpuan menjadi hal yang tabu untuk diperbicangkan di masyarakat. Misalnya dalam dunia profesional seperti industri media, tidak ada seorang transpuan yang bekerja sebagai pembawa berita atau news anchor di perusahaan media Indonesia. Paling sering transpuan hanya diundang sebagai bintang tamu. Itu merupakan salah satu masalah dari isu tersebut di mana seorang transpuan mengalami diskriminasi di dunia profesional. Saya memiliki ketertarikan melihat isu tersebut karena ingin mencari jawaban pertanyaan ini. Mengapa mereka mengambil keputusan yang bertentangan dengan budaya di Indonesia?
Pada satu kesempatan saya pernah menonton sebuah program dokumenter tentang kehidupan transpuan di channel Youtube Vice Indonesia. Dari program dokumenter tersebut saya mengamati para transpuan mengalami banyak tindakan diskriminasi sehingga kesulitan dalam menjalankan kehidupannya. Contohnya secara sosial mereka dipinggirkan oleh masyarakat, tidak mendapatkan akses layanan publik seperti kesehatan karena terhalang dalam pengurusan dokumen, dan sulit melakukan ibadah di tempat umum karena cara berpenampilan transpuan berbeda antara seks dan identitas gendernya.
Bayangkan jika di Indonesia sebanyak lebih dari satu juta transpuan yang ekonominya di bawah rata-rata dan tidak berpendidikan mengalami hal serupa. Itu menyebabkan para transpuan semakin terpuruk dan berakhir pada pekerjaan sebagai PSK dan pengamen di jalanan.
Jika ditelusuri, diskriminasi yang dialami oleh transpuan berawal dari lingkungan sosial. Di mana tak sedikit masyarakat yang masih berfikir patriarki dan agama sentris. Contohnya lingkungan sosial membuat sebuah norma tak tertulis tentang peran gender yang harus sesuai dengan jenis kelamin bawaan sejak lahir. Misalnya laki-laki harus kuat dan berperilaku tangguh seperti seorang pemimpin. Jika perilaku laki-laki justru berseberangan dengan norma tersebut maka orang itu akan dipinggirkan oleh lingkungan sosial bahkan keluarganya, seperti transpuan.
Lalu, apakah kita pernah mencoba berfikir dari perspektif seorang transpuan yang mengalami diskriminasi? Tak mudah memang untuk mengambil sikap tentang isu tersebut apalagi isu yang masih tabu di Indonesia. Namun, kita bisa mengupayakan agar diskriminasi tak terjadi pada transpuan yang ingin hidup layak di Bumi Pertiwi. Setidaknya lakukan tiga langkah ini dimulai dari diri sendiri.
1. Pahami dengan benar konsep gender dan seks
Pemahaman tentang kedua istilah tersebut penting sebagai dasar untuk berpendapat dan mengambil sikap tentang isu transpuan di Indonesia. Mengutip dari website kemenpppa.go.id, pemahaman tentang gender masih saja salah kaprah di masyarakat.
Gender seringkali dikaitkan dengan jenis kelamin atau seks. Padahal kedua istilah tersebut jelas berbeda, gender merupakan sebuah konsep tentang cara perempuan dan laki-laki harus berperilaku, bertanggung jawab, dan menjalankan perannya sesuai dengan kontruksi yang dibangun oleh masyarakat.
Menurut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), peran gender bisa berubah seiiring berjalannya waktu.
Sedangkan seks merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada aspek biologis. Contohnya laki-laki memiliki penis sedangkan perempuan memiliki vagina. Pemahaman yang tepat tentang dua konsep tersebut akan menghasilkan pemahaman baru bahwa tak selamanya seks dan gender berbanding lurus.
Dengan demikian, ketika di kehidupan nyata kita bertemu dengan transpuan maka tak ada perasaan kaget yang diekspresikan dengan memandangi mereka dengan tatapan aneh.
2. Terapkan pemikiran terbuka
Open minded atau berfikir terbuka merupakan sikap untuk siap menerima, memahami, dan toleransi terhadap perbedaan yang ada di sekitar kita. Tak mudah memang untuk menerapkannya karena terkadang konsep diri dan lingkungan mempengaruhi sebagian dari cara pandang kita melihat sebuah isu.
Melansir dari seminar TEDxZayed University, Maryam Fuad Bukhash seorang mahasiswa Psikologi di Zayed University, mengatakan "bahwa definisi menerima dalam open minded tidak berarti harus setuju pada mereka yang berbeda dari kita".
Dari pemaknaan tersebut, artinya kita tak harus mengatakan jika menjadi transpuan benar tetapi setidaknya kita bisa menghargai mereka yang memilih pilihan tersebut. Salah satu caranya yakni tidak memperlakukan seorang transpuan seperti badut yang bisa ditertawakan maupun penjahat yang harus dijauhi.
3. Utamakan HAM yang melekat pada diri seseorang
HAM merupakan hak yang melekat di dalam diri seseorang sejak dilahirkan sebagai anugerah pemberian Tuhan. Tidak sebatas anugerah dari Tuhan tetapi hak tersebut juga harus dilindungi dan dijamin oleh negara.
Itu tercantum dalam alinea pertama UUD 1945, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Jika diartikan, maka negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin dan melindungi hak tersebut sebagai warga negara.
Oleh karena itu, sesama makhluk Tuhan dan warga negara kita harus menghargai hak-hak transpuan tanpa syarat. Contohnya pejabat publik tidak mengabaikan transpuan untuk mengurus KTP dan akses layanan kesehatan.
Selama para transpuan tidak melanggar tanggung jawabnya untuk menjaga ketertiban bersama atau mengambil hak orang lain. Dengan tiga langkah tersebut diharapkan bisa mengurangi tindak diskriminasi yang terjadi pada transpuan sehingga menciptakan equality atau kesetaraan dalam gender dan kehidupan masyarakat.