Pernahkah Anda merasakan ini? Di suatu sore yang sedikit membosankan, Anda meraih ponsel, membuka aplikasi media sosial favorit untuk mencari sedikit hiburan atau koneksi. Niatnya hanya lima menit. Namun, tanpa sadar, satu jam telah berlalu dalam pusaran video, foto, dan status.
Anehnya, setelah menutup aplikasi, perasaan Anda tidak menjadi lebih baik. Alih-alih merasa terhibur atau terhubung, Anda justru merasa hampa, sedikit cemas, atau bahkan iri.
Jika pernah, Anda tidak sendirian. Inilah paradoks besar media sosial di zaman kita, sebuah alat yang dirancang untuk menghubungkan dan membahagiakan, namun secara sains dan pengalaman, justru sering kali meninggalkan kita dalam kondisi yang sebaliknya.
Mesin Slot Dopamin yang Tak Pernah Berhenti Berputar
Gagasan baru pertama untuk memahami ini adalah dengan melihat media sosial bukan sebagai album foto, melainkan sebagai sebuah mesin slot kasino raksasa yang kita bawa di saku. Setiap kali kita menarik layar ke bawah untuk menyegarkan linimasa, kita sebenarnya sedang menarik tuas mesin slot.
Apakah kita akan mendapatkan jackpot, berupa sebuah unggahan yang lucu, gosip yang menarik, atau notifikasi bahwa ada yang menyukai foto kita? Ketidakpastian inilah yang memicu pelepasan dopamin, hormon rasa senang di otak kita.
Masalahnya, ini adalah kesenangan dalam dosis kecil dan cepat yang membuat ketagihan. Kita menjadi pemburu dopamin, terus-menerus mencari hadiah kecil berikutnya. Ini membuat standar kebahagiaan kita menjadi kacau.
Kebahagiaan yang dalam dan bertahan lama, yang datang dari pencapaian nyata atau interaksi tulus, terasa kurang menarik dibandingkan dengan sensasi instan dari mesin slot digital ini.
Runtuhnya Diri Panggung dan Diri Belakang Panggung
Dalam ilmu sosial, ada konsep tentang diri panggung dan diri belakang panggung. Diri panggung adalah versi terbaik dari diri kita yang kita tampilkan kepada dunia, yang sudah dipoles, disensor, dan dikurasi dengan baik.
Diri belakang panggung adalah diri kita yang sesungguhnya, dengan segala kekacauan, kegelisahan, dan ketidaksempurnaannya. Sebelum era media sosial, kita bisa dengan mudah beristirahat di belakang panggung setelah seharian tampil di panggung sosial.
Media sosial meruntuhkan batas ini. Ia menuntut kita untuk selalu berada di atas panggung, dua puluh empat jam sehari. Kita harus terus-menerus menampilkan citra yang bahagia, sukses, dan menarik.
Performa tanpa henti ini sangat melelahkan secara mental. Kesenjangan antara siapa kita di dunia maya dan siapa kita sebenarnya menciptakan rasa cemas dan perasaan seperti seorang penipu dalam hidup kita sendiri.
Ekonomi Perbandingan: Rumput Tetangga Kini Seluas Alam Semesta
Pepatah lama mengatakan rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Media sosial mengambil pepatah ini dan menyuntikkan steroid dosis tinggi ke dalamnya.
Dulu, tetangga kita hanyalah orang di sebelah rumah atau teman sekelas. Kini, tetangga kita adalah seluruh dunia. Kita membandingkan pagi kita yang biasa saja dengan liburan mewah seorang travel blogger di Swiss. Kita membandingkan kemajuan karier kita yang perlahan dengan pengumuman promosi teman lama yang tiba-tiba menjadi manajer.
Kita membandingkan tubuh kita dengan para model dan selebritas yang memiliki tim ahli gizi dan pelatih pribadi. Ini adalah sebuah ekonomi perbandingan di mana kita dijamin akan selalu kalah.
Selalu akan ada orang yang lebih kaya, lebih pintar, lebih tampan, atau lebih bahagia dari kita di linimasa. Perbandingan tanpa henti ini adalah resep pasti untuk perasaan tidak cukup dan ketidakbahagiaan yang kronis.
Kehilangan Momen di Sini dan Saat Ini
Kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam kondisi larut atau flow, ketika kita begitu tenggelam dalam sebuah aktivitas sehingga kita lupa akan waktu. Entah itu saat mengobrol mendalam dengan seorang teman, menikmati indahnya matahari terbenam, atau asyik dengan hobi kita.
Media sosial secara aktif menghancurkan kemampuan kita untuk hadir sepenuhnya pada momen saat ini. Ketika kita melihat sesuatu yang indah, insting pertama kita bukanlah untuk menikmatinya, melainkan untuk merekamnya demi sebuah unggahan.
Kita tidak lagi mengalami sebuah peristiwa, kita hanya mendokumentasikannya. Kita menjadi penonton dari kehidupan kita sendiri, selalu memikirkan bagaimana momen ini akan terlihat di mata orang lain nanti.
Keterampilan untuk benar-benar hadir di sini dan saat ini adalah otot yang jika tidak dilatih akan melemah, dan media sosial adalah alat yang paling efektif untuk membuatnya lemah.
Pada akhirnya, paradoks ini bukanlah berarti kita harus meninggalkan media sosial sama sekali. Itu adalah langkah yang tidak realistis bagi kebanyakan dari kita. Kuncinya terletak pada kesadaran dan niat. Kita perlu sadar bahwa kita sedang berinteraksi dengan sebuah alat yang sangat kuat.
Kita perlu dengan sengaja membatasi waktu, memilih akun-akun yang memberikan inspirasi bukan iri hati, dan yang terpenting, secara sadar meletakkan ponsel kita untuk benar-benar hidup dalam momen nyata yang tidak terkurasi dan tidak terfilter.
Karena kebahagiaan yang sesungguhnya tidak ditemukan dalam guliran layar yang tak berujung, melainkan dalam kehidupan nyata yang kita jalani saat kita tidak sedang daring.