Sistem Zonasi: Pada Siapa Mengimitasi?

Hernawan | Elea Rasti
Sistem Zonasi: Pada Siapa Mengimitasi?
Ilustrasi sekolah.[Unsplash.com/ @isengrapher]

Sekolah Dasar (SD) 197 di Jalan Sriwedari, Solo mendadak viral. Pasalnya, SD ini hanya mendapatkan 1 orang siswa pada PPDB tahun pelajaran 2022. Lima tahun berjalan, sistem zonasi masih menyisakan persoalan. Mendadak zonasi ini menyisakan pertanyaan, dari mana ide ini berasal? Bagaimana implementasi sistem ini di negera asalnya?

Ternyata, dunia mencatat ada 3 negara yang telah lama memberlakukan sistem zonasi, yaitu Jepang, Inggris, dan Australia. Ketiga negara tersebut telah bertahun-tahun melaksanakannya dan tidak ada kegaduhan yang menyertainya. Semua berjalan wajar dan tanpa gejolak.

Jepang merupakan salah satu negera terbaik yang menerapkan sistem zonasi. Di negara ini, seluruh kebijakan yang berjalan dan yang direncanakan telah teritegrasi dengan sistem kependudukan.

Terkait masalah pendidikan, setiap warga baik penduduk asli maupun imigran, otomatis tercatat dalam data kependudukan mereka. Jika mereka memiliki anak usia sekolah, maka pemerintah setempat akan menyurati keluarga itu untuk memberitahu sekolah terdekat. Ketika keluarga ini datang ke sekolah, pihak sekolah pun pasti menerima karena mereka telah mendapatkan data calon siswa dari pemerintah.

Penentuan sekolah bahkan sebelum orangtua mendaftar ini tanpa protes. Sekolah-sekolah di Jepang memiliki standar kualitas yang sama dengan Quality Control yang ketat. Tidak ada pembedaan kualitas antara di kota maupun di desa. Para guru sangat profesional dan bertanggung jawab. Dalam jangka waktu tertentu, para guru ini mengalami rotasi sekolah. Jadi, tidak ada kisah guru di sekolah A bagus sedangkan di sekolah B tidak. Dengan kondisi ini, tidak ada orang tua yang khawatir akan masa depan anak-anaknya.

Selain Jepang, Inggris dan Australia juga telah lama menerapkan sistem zonasi.  Sebagai negara persemakmuran, Australia mengadopsi  sistem zonasi ala Inggris. Jika di Jepang seluruh mutu sekolah sama bagusnya, di dua negara ini tidak. Tetap ada gradasi sekolah paling bagus (outstanding) hingga tidak layak (inadequate).

Pemerintah secara berkala meng-update mutu sekolah-sekolah dan domisili orangtua berpindah-pindah mengikuti pergerakan mutu sekolah ini sehingga aksi membeli rumah, sewa-menyewa apartemen di dekat sekolah, memakai alamat kerabat pun masih terjadi. Berhubung sistem kependudukannya terintegrasi dengan seluruh bidang, aksi-aksi seperti ini mudah ketahuan. Adakalanya, pemerintah secara mendadak mengecek keberadaan penghuni aparteman-aparteman ini demi melindungi hak anak-anak yang berdomisili asli di wilayah itu.

Keberadaan sekolah dengan kualitas outstanding dan inadequate ini akhirnya melahirkan pola penerimaan siswa yang berbeda. Selain zonasi, Australia menerapkan dua model pendaftaran lainnya, yaitu sistem zonasi-seleksi pada kelas 5 SD (primary school) dan seleksi (selective high school) atau sekolah-sekolah favorit. Sistem penerimaan model ketiga dilakukan ini diberlakukan bagi siswa di luar zona itu. Di Inggris, ada sekolah selevel SMP/SMA yang disebut Grammar School yang diisi anak-anak cerdas dan berprestasi. Pola pendaftarannya dengan seleksi.

Nah, bagaimana dengan Indonesia? Model negara manakah yang diimitasi?

Ternyata tidak satu pun yang ditiru secara penuh. Adanya adalah proses ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Itupun sebatas pendidikan saja. Keterpaduan dengan  Sistem zonasi negara manakah yang paling dekat modelnya? Australia. Jika Australia menerapkan jalur pendaftaran siswa baru dengan 3 jalur di 3 tipe sekolah yang berbeda, Indonesia menerapkan PPDB dengan 4 jalur di satu sekolah yang sama, yaitu jalur zonasi 50%, jalur afirmasi 15%, jalur perpindahan orangtua 5%, dan jalur prestasi 30% .

Apakah sistem zonasi ini akan berhasil menaikkan mutu pendidikan? Apakah telah ada kesetaraan mutu pendidikan? Entahlah, karena kebijakan ini baru memasuki tahun ke-5.

Satu hal yang dapat kita pelajari dari kegaduhan sistem zonasi bahwa perubahan kebijakan membutuhkan persiapan matang seiring dengan tujuan pendidikan yang ingin diraih. Sebuah sistem bagus dan berhasil diterapkan di negara lain, belum tentu berhasil diterapkan di Indonesia. Apalagi ketiga negara model merupakan negara-negara maju. Iktikad menyetarakan kualitas pendidikan sangat perlu diapresiasi, namun bukan zonasi satu-satunya solusi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak