Sampai Kapan Birokrasi Indonesia Harus Berbelit dan Sering Mempersulit?

Hayuning Ratri Hapsari | Ni Made Tasyarani
Sampai Kapan Birokrasi Indonesia Harus Berbelit dan Sering Mempersulit?
Ilustrasi birokrasi (Pexels.com)

Mengurusi perihal surat-menyurat menurut saya adalah salah satu kegiatan yang bikin mager duluan. Kegiatan itu mengharuskan kesiapan mental untuk dioper-oper, diberikan instruksi yang tidak jelas, hingga dimintai dokumen-dokumen yang harus ada fotocopy-nya, padahal konon negara ini sudah mulai menerapkan e-Government.

Tak jarang, masyarakat dibuat tidak bisa berkelit dari birokrasi yang dibuat berbelit-belit, kecuali kalau uang masuk ke dalam prosesnya. Seketika, semuanya jadi sat set sat set.

Meskipun saat ini kita sedang dalam proses reformasi birokrasi, tetapi hingga kini pula banyak praktik suap dalam pelayanan izin, pelayanan administrasi publik yang lamban, dan berbagai praktik yang kurang efisien dari birokrasi Indonesia.

BACA JUGA: Catatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember: Perempuan dan Anak Patut Menjadi Prioritas

Reformasi birokrasi sendiri merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai visi mewujudkan pemerintahan kelas dunia pada 2025.

Dalam misi untuk mencapai visi tersebut, meliputi penyempurnaan peraturan perundang-undangan, penataan dan penguatan sistem birokrasi, pengembangan mekanisme kontrol yang efektif, dan pengelolaan sengketa administratif secara efektif dan efisien. 

Tiga tahun lagi, atau bahkan kurang dari itu, visi dalam reformasi birokrasi seharusnya dicapai. Namun, perjalanan menuju terwujudnya cita-cita reformasi birokrasi yang mampu menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) itu akan menjadi sangat panjang jika di lapangan praktik-praktiknya tidak sesuai dengan fokus perubahan.

Salah satunya, yang bisa dikatakan lambat dan sulit berubah adalah aspek SDM karena mindset dan kultur kolusi korupsi nepotisme (KKN), pelayanan yang kurang baik, hingga kapasitas SDM yang kurang masih bisa ditemui di antara para birokrat. 

Birokrat sebagai penggerak juga digerakkan oleh mesin atau sistem yang mengatur tata pemerintahan itu sendiri. Jika faktornya bukan sebatas mental para birokrat yang perlu diubah, maka mesin atau sistemnya itu pula adalah sesuatu yang tidak efisien, sehingga mau tidak mau birokrat harus bergerak dalam ketidakefisienan sistem tersebut.

Kira-kira, apakah dalam tiga tahun kita benar-benar bisa berbenah atau tujuan itu hanya akan menjadi tujuan yang terus-menerus diperbarui deadline-nya?

Sebenarnya, mungkin kita masih punya harapan, setidaknya dengan adanya niatan pemerintah untuk mereformasi birokrasinya.

Selain itu, agar harapan kita semakin kuat, perlu disadari bahwa ada lho, negara berkembang yang berhasil menjalankan inovasi dalam reformasi birokrasinya.

Negara itu adalah Kenya. Dalam studi yang dilakukan oleh Commonwealth, dijelaskan tentang inovasi pelayanan publik di negara tersebut yang dinamai “the Huduma Kenya”. 

Dalam inovasinya, Kenya memprioritaskan pelayanan publik yang berkualitas dengan memudahkan akses informasi melalui pelayanan terpusat Huduma Center dengan teknologi informasi yang terintegrasi.

BACA JUGA: Paradoks Penyerapan Anggaran Akhir Tahun

Tingkat keberhasilan inovasi itu kemudian dilihat dari pelayanan satu atap, peningkatan kepatuhan warga, adanya penjembatanan kesenjangan pemerintah dan warga dalam pelayanan, layanan hemat dan ekonomis, persepsi warga yang membaik terhadap pemerintah, transparansi dan jumlah layanan publik meningkat, serta pertumbuhan pendapatan negara.

Capaian itu didukung oleh tingginya kemauan pemerintah Kenya, adanya upaya peningkatan kemampuan staf dalam pelaksanaan tugas pelayanan, dan inovasi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.  

Di Indonesia, reformasi birokrasi sedang bergerak ke arah yang membaik jika melihat angka indeks pelayanan publik Indonesia yang meningkat dari tahun 2021.

Berdasarkan data dari The Global Economy, indeks pelayanan publik Indonesia saat ini ada di angka 6.20 dengan angka terendah tujuh tahun terakhir terjadi pada 2020, yakni di angka 5.20. Data itu juga bisa menjadi secercah harapan lain untuk kita agar bisa sedikit lebih optimis pada tahun 2025 nanti.

Namun, tentunya kami akan lebih optimis jika melihat dan merasakan secara langsung birokrasi tidak berbelit, bersih dari pungli, dan cepat tanggap serta ramah terhadap yang seharusnya dilayani.

BACA JUGA: Transformasi Kota Serpong, Dulu Rawa Sekarang Pusat Digital

Dengan itu, sepertinya tujuan tiga tahun ke depan masih memerlukan inovasi yang lebih efektif untuk bisa menghasilkan perubahan signifikan dalam waktu yang relatif singkat. 

Kini, sudah saatnya Indonesia memaksimalkan harapan yang ada, tetapi tetap berkaca. Artinya, evaluasi secara konsisten dilakukan dan bukan sekadar formalitas, sehingga mampu menumbuhkan progres positif ke depannya.

Kemudian, inovasi terus dikembangkan dan trial and error masih bisa dilakukan, salah satunya dengan menjadikan keberhasilan negara berkembang lainnya dalam mereformasi sistem birokrasinya sebagai tolok ukur. Mungkin, kita bisa meniru negara yang “senasib” dan menyesuaikan implementasinya di negara ini. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak