Seperti diketahui, setiap orang rentan terinfeksi HIV-AIDS. Namun, harus terpenuhi syarat penularannya. Ada empat cara penularan HIV, yaitu; Pertama, melalui hubungan seksual bergonta-ganti pasangan yang tidak menggunakan kondom. Kedua, melalui transfusi darah. Ketiga, penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian. Keempat, melalui proses pemberian ASI kepada bayi.
Adapun media penularannya melalui 4 cairan, yaitu: cairan alat kelamin, cairan darah, dan ASI perempuan HIV positif tanpa mengonsumsi ARV rutin.
HIV-AIDS semakin menjadi masalah ketika terjadi pelabelan negatif dan perlakuan diskriminatif, dalam hal ini terhadap perempuan yang hidup dengan HIV-AIDS (PDHA). Oleh karenanya, pemerintah melalui instansi terkait dari pusat hingga daerah perlu memfokuskan perhatian terhadap pencegahan dan penanganannya.
BACA JUGA: Stigma Masyarakat Terhadap Ruang Kehidupan Anak Penderita HIV
Menurut catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2017-2021, ada 229 kasus kekerasan terhadap PDHA di mana 89%-nya mengalami lebih dari 1 bentuk kekerasan.
Sementara 97% PDHA melaporkan kekerasan psikis, dalam bentuk stigma dan pengucilan, juga 12 kasus pengusiran dan 88% mengalami kekerasan seksual. PDHA juga melaporkan kekerasan fisik yang dialami dalam bentuk penganiayaan. Selain itu, mereka juga mengalami kekerasan ekonomi misalnya ditinggalkan dan ditelantarkan oleh pasangan.
Pelaku terjadinya kekerasan tersebut adalah anggota keluarga sebanyak 93% dengan mayoritas pelaku adalah suami (86%). Pada tatanan kesehatan, dengan memiliki pasangan seksual lebih dari satu, akan menyebabkan suami/isteri menjadi rentan terpapar infeksi menular seksual, atau HIV/AIDS.
Menurut data Kementerian Kesehatan (2021), dari total populasi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia, sebanyak 35% adalah perempuan dengan HIV dan 33% hidup dengan AIDS. Data juga menunjukkan bahwa 70% infeksi baru dialami oleh kelompok heteroseksual. Pada tahun 2018, jumlah infeksi baru pada Ibu Rumah Tangga adalah sebanyak 16,405 kasus.
Data tersebut sungguh menghawatirkan, karena menunjukkan tingginya kerentanan perempuan ibu rumah tangga tertular dari suaminya. Lebih jauh menurut laporan dari UNAIDS (2019), juga mengungkapkan jika perempuan korban kekerasan 1,5 kali lebih rentan tertular HIV dari pasangannya.
BACA JUGA: Kebijakan Penanganan HIV/AIDS dan Tantangannya di Masa Pandemi Covid-19
Sedangkan NACA (2019) menunjukkan bahwa perempuan positif lebih rentan 4 kali lipat mengalami kekerasan seksual dan kerentanan perempuan positif yang hamil terhadap kekerasan fisik di masa kehamilan tercatat 6 kali lipat lebih rentan.
Hemat saya keberadaan materi komunikasi, edukasi, dan informasi (KIE) yang didalamnya terdapat informasi pencegahan HI-AIDS melalui penggunaan kondom, hendaknya tidak dipandang secara emosional dan negative dengan menuduh sebagai melegalkan hubungan intim.
Sebagai anak bangsa yang peduli dengan masalah ini, setiap orang juga memiliki tanggung jawab moral supaya terlibat mencegah terjadinya kesalah pahaman informasi HIV - AIDS. Misalnya dengan mengikis mitos-mitos HIV yang kerap kali dianggap sebagai penyakit “kutukan” orang-orang nakal.
Tampaknya ini menjadi tantangan agar tidak “memperparah” stigma dan diskriminasi terhadap mereka ketika mengakses layanan. Akibatnya isu HIV - AIDS pada remaja kerap luput dari intervensi.
Sebagai catatan penutup, negara dalam hal ini pemerintah juga memiliki kewajiban memenuhi sarana dan prasarana Voluntary Counseling and testing (VCT) atau tes HIV secara sukarela. Agar ke depan semakin mudah aksesnya ramah melayani klien.
Negara juga memiliki kewajiban untuk memastikan ketersediaan AntiRetroviral (ARV) yang saat ini satu-satunya terapi bagi pendidap HIV-AIDS.